Nelayan Aceh Sepekan Hilang di Laut, Keamanan dan Asuransi Dibutuhkan
Selain persoalan keamanan, nelayan tradisional Aceh juga tidak memiliki asuransi. Saat mengalami kecelakaan di laut, mereka tidak mendapatkan santunan ataupun klaim asuransi. Padahal asuransi perlu sebagai modal hidup.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
JANTHO, KOMPAS — Seorang nelayan tradisional Nasrol Hamni (37), warga Desa Lambada Lhok, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, hilang saat melaut. Penerapan keamanan saat melaut masih sering diabaikan. Selain itu nelayan perlu difasilitasi mendapatkan asuransi.
Nasrol Hamni berangkat melaut dari dermaga Lambada Lhok pada Kamis, 3 Maret 2022 pagi dengan menggunakan kapal berbobot 2 gros ton bermesin tempel. Dia biasa memancing ikan di sekitar Pulau Aceh dan Pulau Weh.
Namun, pada Jumat (4/3/2022) perahu Nasrol ditemukan terombang-ambing di laut di kawasan Pulau Aceh tanpa Nasrol. Barang yang ada di perahu hanya sehelai celana, ikan, dan alat pancing.
Nelayan lain menarik perahu itu ke dermaga, kemudian menyusuri samudra untuk mencari keberadaan Nasrol, tetapi hingga Kamis (10/3/2022) ia belum ditemukan.
Di rumah, Halimatul Sadiah (25), istri Nasrol, dan kedua anaknya menanti gelisah. ”Kadang anak-anak tanya kapan ayah pulang,” kata Halimah pelan saat ditemui di rumahnya, Kamis.
Meski telah sepekan keberadaan suaminya tidak diketahui, Halimah tetap berharap Nasrol ditemukan dalam keadaan hidup. Halimah kehilangan pelindung sekaligus pencari nafkah utama.
Sekretaris Panglima Laot/Lembaga Adat Nelayan Aceh Miftah Cut Adek mengatakan, kecelakaan di laut masih sering terjadi. Selama Maret 2022 terjadi tiga kasus, dua nelayan masih hilang.
Miftah menuturkan, pengabaian keamanan saat melaut masih kerap dilakukan oleh nelayan. Padahal, cuaca di laut sulit diprediksi. ”Meski nyawa di tangan Tuhan, safety (keamanan) tetap harus diperhatikan,” kata Miftah.
Miftah mengatakan, pihaknya sering melakukan penyuluhan kepada nelayan agar selalu membawa baju pelampung atau alat lain. Beberapa kali program penyaluran baju pelampung dilakukan.
Nelayan kecil tidak sanggup bayar, pendapatan harian hanya cukup buat makan.
Selain persoalan keamanan, nelayan tradisional Aceh tidak memiliki asuransi. Saat mengalami kecelakaan di laut, mereka tidak mendapatkan santunan atau klaim asuransi. Padahal asuransi perlu sebagai modal bagi mereka untuk bertahan hidup selama tidak bisa melaut atau modal bagi keluarga yang ditinggalkan.
Miftah mengatakan, di Aceh terdapat sebanyak 40.000 nelayan tradisional, semuanya tidak memiliki asuransi. Biaya premi Rp 140.000 per tahun. ”Nelayan kecil tidak sanggup bayar, pendapatan harian hanya cukup buat makan,” kata Miftah.
Dia berharap ada bantuan premi untuk nelayan tradisional Aceh agar ada perlindungan terhadap mereka. Miftah menilai perhatian pemerintah daerah terhadap nelayan kecil masih lemah. ”Keluarga Nasrol belum mendapatkan santunan dari pemerintah daerah, padahal mereka sangat butuh,” kata Miftah.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Aliman Selian menuturkan, seharusnya keamanan saat melaut harus benar-benar diterapkan. Pemerintah Provinsi Aceh telah mendistribusikan baju pelampung bagi para nelayan demi keamanan mereka saat melaut.
Sementara itu, Pemprov Aceh tidak memiliki program pemberian santunan bagi nelayan yang mengalami kecelakaan saat melaut. Aliman justru mendorong nelayan untuk secara mandiri mendaftar sebagai peserta asuransi nelayan.