Wastafel Ratusan Sekolah di Aceh Berbau Korupsi
Pembangunan tempat cuci tangan atau wastafel di 390 sekolah di Aceh oleh Dinas Pendidikan Aceh sedang diselidiki oleh Kepolisian Daerah Aceh. Sebagian wastafel kini tidak berfungsi.
Pembangunan tempat cuci tangan atau wastafel di 390 sekolah di Aceh oleh Dinas Pendidikan Aceh tengah diselidiki oleh Kepolisian Daerah Aceh. Berbagai pihak mendorong pengusutan itu hingga tuntas. Penyalahgunaan anggaran penanganan Covid-19 bukan kriminal biasa.
Enam wastafel berdiri di Sekolah Menengah Pertama (SMA) Negeri 1 Krueng Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Wastafel berwarna putih itu dibangun di depan kelas, tetapi menghadap ke halaman. Jika mau mencuci tangan, penghuni sekolah harus melangkahi taman terlebih dahulu.
”Seharusnya menghadap ke kelas. Kalau seperti ini agak susah (aksesnya),” kata Muhammad Daud, penanggung jawab sarana-prasarana SMAN 1 Krueng Barona Jaya, saat ditemui, Rabu (9/3/2022).
Dari enam wastafel yang dibangun di sekolah itu, satu unit rusak. Pipa penampung air wastafel telah jatuh. Mesin pompa air juga dalam keadaan rusak. Daud menuturkan, sejak mesin pompa rusak, instalasi air disambung ke mesin milik sekolah.
Wastafel itu dibangun pada 2020 menggunakan dana otonomi khusus yang di-
refocusing
untuk penanganan Covid-19. Pembangunan dilakukan di 390 sekolah di seluruh Aceh. Setiap sekolah rata-rata mendapatkan jatah 6 wastafel, 2 tandon air, dan 1 sumur bor senilai Rp 120 juta. Total anggaran yang dihabiskan untuk pembangunan mencapai Rp 44 miliar. Pembangunan dilakukan sepenuhnya oleh perusahaan. Sekolah hanya menjadi penerima manfaat. Baca juga:
Pengadaan Tempat Cuci Tangan Sekolah di Aceh Diduga Dikorupsi
Wastafel itu terlihat sederhana. Sebuah tempat penampung air dilengkapi keran besi direkatkan pada dinding beton dengan tinggi 1 meter, lebar 50 sentimeter, dan dilapisi keramik berwarna putih.
Di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Penerbangan, Aceh Besar, pantauan Kompas, juga terdapat enam wastafel serupa. Satu unit di antaranya tidak terhubung ke instalasi air. Selang pembuangan air dua wastafel lainnya telah copot.
Sementara di SMA Negeri 3 Banda Aceh, keenam wastafel yang dibangun tidak berfungsi. Saat keran dibuka, air tidak keluar. Sebagian selang air telah terlepas dari tempatnya.
Kepala SMA Negeri 3 Banda Aceh Muhibbul Khibri mengatakan, tempat cuci tangan yang dibangun dengan dana penanganan Covid-19 itu awalnya berfungsi, tetapi belakangan beberapa keran dan mesin pompa rusak. ”Terakhir dipakai sebulan yang lalu,” kata Muhibbul.
Semua tempat cuci tangan di sekolah itu saat ini tidak berfungsi. Padahal, tempat cuci tangan tangan yang dibangun sekolah hingga kini tetap berfungsi.
Pada Juli 2021, Komite Pemantau Pengadaan Barang dan Jasa juga melakukan survei wastafel di SMAN 3 Banda Aceh. Hasil yang mereka dapatkan tidak satu pun wastafel berfungsi. ”Bahkan, ada yang dijadikan tempat menaruh pot bunga,” kata Ketua Komite Pemantau Pengadaan Barang dan Jasa Irmasari.
Bahkan, ada yang dijadikan tempat menaruh pot bunga.
Persoalan wastafel muncul ke publik pada awal tahun 2021.Saat itu, Syakya Merizal, koordinator Pengawasan Otsus Aceh, menemukan beberapa wastafel tidak berfungsi. ”Saya menduga pembangunan tidak sesuai dengan anggaran,” kata Syakya yang dihubungi pada Selasa (8/3/2022).
.Pada Maret 2021, Syakya melaporkan kasus itu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain pengadaan wastafel, dia juga melaporkan dugaan korupsi pengadaan sapi, pembangunan jembatan di Aceh Singkil, dan pembangunan gedung onkologi di Rumah Sakit Daerah Zainal Abidin.
Baca juga: Ketua KPK: Jangan Ada Lagi Korupsi di Aceh
Syakya berpendapat, anggaran pengadaan wastafel terlalu besar. Menurut dia, jika dibangun sendiri, mungkin hanya butuh biaya separuh dari yang dianggarkan.
Berdasarkan penelusuran Kompas, jumlahsekolah yang mendapatkan wastafel sebanyak 390 sekolah. Bila setiap sekolah mendapatkan 6 unit, jumlah wastafel yang dibangun mencapai 2.340 unit. Dengan total anggaran Rp 44 miliar, maka harga rata-rata per unit Rp 18,8 juta.
Namun, proses pembangunan tidak melalui pelelangan, tetapi melalui penunjukan langsung (PL). Agar dapat dilakukan PL, proyek tersebut dipecah menjadi 390 paket dengan pagu maksimal Rp 135 juta dan minimal Rp 94 juta. Secara regulasi, PL hanya dapat dilakukan untuk nilai proyek di bawah Rp 200 juta.
Adapun jumlah perusahaan yang mengerjakan proyek tersebut sekitar 190. Umumnya setiap perusahaan mengerjakan dua paket atau dua lokasi.
Koordinator Gerakan Anti Korupsi (Gerak) Aceh, Askalani, berpendapat, PL dilakukan agar proyek mudah dibagi-bagikan kepada orang tertentu. Mekanisme PL atas 390 paket pembangunan tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Gerak Aceh melakukan penelusuran dan menemukan adanya kekurangan volume pada setiap wastafel. Temuan Gerak Aceh berbanding lurus dengan uji petik pada lima sekolah yang dilakukan oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI Provinsi Aceh.
Baca juga: Presiden Minta Tata Kelola Dana Otsus di Aceh Tepat Sasaran
Lima sekolah yang diperiksa oleh BPK RI adalah SMK Penerbangan Aceh Besar, SMK 4 Takengon Aceh Tengah, SMK 1 Simpang Kiri Kota Subulussalam, SLB Negeri Al-fansury, Kabupaten Aceh Singkil, dan SMK Negeri 5 Aceh Barat Daya.
”BPK menemukan rata-rata setiap unit kekurangan volume pembangunan Rp 6 juta. Dengan demikian, kerugian negara mencapai Rp 2,3 miliar,” ujar Askalani.
Askalani menuturkan, korupsi dana penanganan Covid-19 merupakan kejahatan luar biasa. Dia mendesak kepolisian mengusut tuntas kasus itu.
Saat kasus Covid-19 di Aceh melonjak, Pemprov Aceh melakukan penyesuaian anggaran. Pengadaan wastafel dianggap penting untuk penerapan protokol kesehatan di sekolah meski pada akhirnya sekolah lebih banyak daring.
Juru Bicara Satgas Covid-19 Aceh Saifullah Abdulgani menolak untuk memberi tanggakan terkait pembangunan wastafel. ”Ada baiknya (wawancara) dengan Kepala Dinas Pendidikan, Dinas Keuangan, atau Badan Perencanaan Pembangunan karena terkait teknis refocusing pengangaran untuk penanganan Covid-19 ada di sana,” kata Saifullah.
Kompas telah mendatangi Kantor Dinas Pendidikan Aceh, Rabu (9/3/2022), untuk mengonfirmasi terkait pengadaan wastafel tersebut. Namun, kepala dinas, sekretaris dinas, dan pejabat pelaksana teknis kegiatan sedang tidak berada di kantor. Pada saat pelaksanaan proyek tersebut, Sekretaris Dinas Pendidikan Aceh Teuku Nara menjabat sebagai kuasa pengguna anggaran dan Zulfahmi sebagai pejabat pelaksana teknis kegiatan.
Kompas juga mengirimkan permintaan wawancara melalui pesan tertulis dan menghubungi lewat panggilan suara, tetapi keduanya tidak merespons.
Namun, juru bicara Pemprov Aceh, Muhammad Mta, menuturkan, terkait kasus pengadaan wastafel yang sedang ditangani Kepolisian Daerah Aceh, dia meyakini pejabat yang terlibat akan terbuka kepada aparat penegak hukum. Muhammad mengajak semua pihak menghargai proses hukum yang sedang berjalan di kepolisian.
Baca juga: Kejati Aceh Tetapkan Lima Tersangka Baru Korupsi Dana Otsus
Menurut Muhammad, perencanaan penggunaan anggaran daerah disusun sesuai aturan. Namun, jika pada pelaksanaan terjadi penyelewengan, pengguna anggaran akan berhadapan dengan hukum. ”Kami berharap semua pejabat Aceh patuh pada aturan,” katanya.
Kepala Bidang Humas Polda Aceh Komisaris Besar Winardy menuturkan, kasus dugaan korupsi pembangunan tempat cuci tangan tersebut kini sudah masuk penyidikan. Belasan orang telah diperiksa. Mereka yang diperiksa terdiri dari kepala dinas pendidikan, rekanan, hingga pihak sekolah. Namun, belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka.
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh, Alfian, menuturkan, penyalahgunaan dana penanganan Covid-19 sangat melukai rasa kemanusiaan warga Aceh. Saat warga terpuruk karena dampak Covid-19, ada pihak yang justru menikmati anggaran daerah.
”Ini anggaran untuk bencana, tetapi tega dikorupsi. Pelaku harus dihukum berat, penjara seumur hidup atau hukuman mati,” kata Alfian.
Baca juga: Aceh dalam Pasung Korupsi