Guru SMP negeri di Purbalingga cabuli tujuh siswinya sejak 2013 hingga 2021. Pengawasan dan pembinaan di sekolah perlu ditingkatkan agar kejadian serupa tidak berulang.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
Arsip Humas Polres Purbalingga
Jajaran Kepolisian Resor Purbalingga memberikan keterangan pers terkait pencabulan oleh guru SMP negeri di Purbalingga, Jawa Tengah, Rabu (9/3/2022).
PURBALINGGA, KOMPAS — Guru SMP negeri di Purbalingga berinisial AS (32) ditangkap jajaran Kepolisian Resor Purbalingga, Jumat (4/3/2022). Guru laki-laki itu diduga melakukan tindakan asusila terhadap tujuh siswi di sekolah tempatnya mengajar. Pelaku harus dihukum maksimal dan pengawasan di sekolah ditingkatkan agar kasus serupa tidak berulang.
Kepala Kepolisian Resor Purbalingga Ajun Komisaris Besar Era Johny Kurniawan dalam siaran pers yang diterima Kompas, Rabu (9/3/2022), menyampaikan, kasus tersebut terungkap dari informasi masyarakat yang mencurigai adanya tindakan asusila yang dilakukan oleh seorang guru dari salah satu sekolah di Purbalingga terhadap muridnya.
”Setelah melakukan pendalaman dan penyelidikan, kami mengamankan seorang tersangka berinisial AS (32). Sementara jumlah korban diketahui mencapai tujuh orang,” kata Era Johny.
Tindakan tersangka sudah dilakukan sejak 2013 hingga 2021. Dari tujuh korban, lima siswi telah dipaksa melakukan persetubuhan, satu siswi diperlakukan cabul, satu siswi lainnya dipaksa menonton video porno.
”Modus yang dilakukan tersangka ialah mengancam korban apabila tidak mau memenuhi keinginannya. Korban diancam akan diberi nilai jelek ataupun diancam akan menyebarkan video asusila bagi korban yang sudah pernah disetubuhi,” katanya.
Arsip Humas Polres Purbalingga
Jajaran Kepolisian Resor Purbalingga memberikan keterangan pers terkait pencabulan oleh guru SMP negeri di Purbalingga, Jawa Tengah, Rabu (9/3/2022).
Barang bukti yang disita, antara lain, 1 buah handphone, 1 buah flashdisk merek V-Gen warna hitam, 1 buah flashdisk merek Lexar warna putih, 1 laptop merek Dell warna hitam, dan 1 buah kasur motif bunga.
Era Johny menyebutkan, tersangka dijerat dengan Pasal 81 Ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang penetapan Perpu No 1/2016 tentang perubahan kedua atas UU RI No 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 32 UU No 44/2008 tentang Pornografi.
”Ancaman hukuman minimal lima tahun penjara, maksimal 15 tahun penjara. Hukuman ditambah sepertiga dari ancaman pidana karena dilakukan oleh tenaga pendidikan dan denda sebanyak Rp 5 miliar,” ujarnya.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Purbalingga Ajun Komisaris Gurbacov menambahkan, para korban disetubuhi minimal dua kali oleh tersangka. Setelah persetubuhan pertama, pelaku mengancam akan menyebarkan video tindakan asusila yang pertama dilakukan korban. Akhirnya korban pun kembali disetubuhi oleh tersangka.
”Dari hasil pemeriksaan, tersangka memiliki banyak koleksi video pornografi kartun,” ujarnya. Video tersebut diakui tersangka diperoleh dari mengunduh di internet.
Relasi kuasa
Pengajar Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Tri Wuryaningsih mengatakan, pelaku harus dihukum maksimal karena melakukan persetubuhan disertai ancaman pada anak. ”Itu pidana berat dan harus dihukum maksimal,” kata Tri.
Anak dan remaja secara sosial ekonomi juga psikologi masih lemah, apalagi jika ada hubungan subordinat antara guru dan murid. Di sana ada relasi kuasa dan kondisi yang timpang. ”Di sana ada kuasa atas nilai. Anak akan takut, dan posisi tidak setara ini kemudian menjadi modus bagi pelaku untuk melancarkan aksinya,” ujar Tri.
Tri mengatakan, jika aksi itu dilakukan di sekolah dan di waktu pelajaran, tentu pengawasan di sekolah itu sangat lemah. Apalagi jika ini sudah terjadi bertahun-tahun, dimungkinkan pula anak tidak memiliki hubungan yang dekat dengan orangtuanya. ”Kalau anak dekat dengan orangtua, kan, akan cerita. Apalagi ini, kan, pengalaman yang tidak diinginkan oleh anak. Oleh karena itu, perlu dibangun relasi komunikasi anak dengan orangtua yang baik dan terbuka,” ujarnya.
Status menjadi guru itu, kan, ”digugu ” dan ditiru, harusnya memberikan contoh atau teladan.
Menurut Tri, jika guru ini menyandang status pegawai negeri sipil (PNS), seharusnya dia menjalankan kode etik yang baik karena ada sumpah PNS. Di samping itu, guru adalah orang yang patut diteladani. Jika justru menodai muridnya, hal itu jauh dari impian atau gambaran masyarakat.
”Status menjadi guru itu, kan, digugu dan ditiru, harusnya memberikan contoh atau teladan. Omongannya bisa dilaksanakan dengan baik, perilakunya jadi teladan. Mestinya guru, kan, menjaga nilai-nilai itu dengan baik, bisa melindungi murid-muridnya,” katanya.
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Pengajar Sosiologi FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Tri Wuryaningsih, di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (12/9/2019).
Tri mengingatkan, setiap orang, apa pun profesinya, berpotensi menjadi pelaku kekerasan seksual. Dalam sejumlah kasus kekerasan terhadap anak yang didampinginya, selain guru, pelaku juga bisa sebagai ustaz, pemilik pondok, mahasiswa, atau bahkan orangtua sendiri. Kuncinya ialah bagaimana seseorang bisa mengendalikan dirinya dan menjaga perilakunya. Antara otak dan perilaku harus sejalan.
Untuk itu, lanjut Tri, ke depan, dibutuhkan edukasi terus-menerus terkait nilai-nilai moralitas serta penyadaran terhadap anak-anak untuk berani berbicara jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Ia juga mengingatkan agar pembinaan guru dilakukan secara rutin. Para guru perlu selalu diingatkan kembali akan nilai-nilai moralitas. Selain itu kekerasan terhadap anak di sekolah perlu didengungkan bahwa itu adalah tindakan pidana jika sekolah itu mau bebas dari kekerasan.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Purbalingga Tri Gunawan bungkam saat dihubungi Kompas untuk menanggapi kasus ini. Pesan singkat dan telepon Kompas tidak direspons hingga pukul 14.47.