Pengawasan Rantai Distribusi Minyak Goreng di Kalbar Perlu Diperkuat
Produksi minyak goreng di Kalimantan Barat surplus, tetapi warga masih kesulitan mendapatkan barang tersebut. Distribusi menjadi masalahnya.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·5 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Operasi pasar minyak goreng murah digelar di sejumlah lokasi di Kalimantan Barat dalam beberapa hari ke depan untuk meredam kenaikan harga dan kelangkaan. Selain operasi pasar, pemerintah diharapkan memperkuat pengawasan rantai distribusi minyak goreng di pasaran. Sebab, produksi minyak goreng sebenarnya jauh lebih tinggi dari estimasi kebutuhan pasar di Kalbar.
Pasar murah minyak goreng pada Selasa (8/3/2022) dilakukan oleh salah satu produsen minyak goreng yang terletak di Pontianak Utara, Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Harga jual di pasar tersebut Rp 12.000 per 900 mililiter.
Dalam pasar itu, warga setempat wajib membawa fotokopi kartu keluarga dan kartu tanda penduduk untuk menyatakan bahwa pembeli memang warga setempat. Masing-masing hanya boleh membeli dua bungkus dengan total sekitar 1,8 liter. Bazar disambut antusias warga. Mereka mengantre untuk membeli minyak goreng.
Beberapa ibu rumah tangga mengungkapkan, minyak goreng di pasar langka dan harganya tinggi. Oleh sebab itu, mereka mengikuti pasar minyak goreng murah. Jumiati (30), salah satu warga Pontianak Utara, mengatakan, minyak goreng curah di toko-toko berharga Rp 19.000 per liter.
”Harga minyak goreng di sini Rp 12.000, kalau di pasar ukuran seperti ini Rp 17.000. Kalaupun ada di pasar, harganya mahal, Rp 40.000-Rp 48.000, ukuran 2 liter di pasar,” ujar Jumiati.
Hal senada dikemukakan Santi (38). Ia mencari minyak goreng di mal dan minimarket. Untuk yang ukuran 1 liter ada yang Rp 19.000 per liter. Padahal normalnya sekitar Rp 12.000 per liter di pasar.
”Sebagai ibu rumah tangga saya mengeluh karena barangnya tidak ada di pasar. Kalaupun ada, harganya mahal,” ungkapnya.
Pantauan di sejumlah minimarket di Pontianak minyak goreng dengan harga eceran tertinggi kosong. Bahkan, menurut salah seorang pramuniaga minimarket, jika ada pasokan datang, dalam dua hari sudah habis. Di beberapa pusat perbelanjaan yang tersedia hanya jenis minyak goreng di atas harga eceran tertinggi (HET).
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Energi, dan Sumber Daya Mineral (DPPESDM) Provinsi Kalbar Syarif Kamaruzaman menuturkan, pihaknya terus berkoordinasi dengan para pemangku kebijakan dari distributor, pedagang, hingga di masyarakat. Pemantauan dan evaluasi terus dilakukan. Satgas Pangan juga terus bekerja.
Dalam waktu dekat, pemerintah juga akan menggelar pasar murah minyak goreng curah Rp 11.500 per liter. Pasar murah dilaksanakan di enam lokasi di Pontianak. Pada 10 Maret pasar murah minyak goreng dilaksanakan di Pasar Flamboyan, tanggal 14 Maret di Pasar Kemuning, tanggal 15 Maret di Pasar Dahlia, tanggal 16 Maret di Pasar Teratai, tanggal 17 Maret di Pasar Puring, dan di Pasar Kenanga tanggal 19 Maret.
”Total minyak goreng yang ada di pasar murah nanti per lokasi 7-8 ton,” ujarnya.
Dari pengamatan DPPESDM yang terjadi adalah kepanikan masyarakat (panic buying) karena beredar gambar-gambar antrean minyak goreng di provinsi lainnya. Selain itu, ada fanatisme masyarakat terhadap merek tertentu. Sementara suplai merek tertentu itu berasal dari luar Kalimantan Barat.
Kabupaten/kota juga diminta terus memantau kondisi lapangan. Jika terjadi kendala akan dikoordinasikan. Sebab, pabrik minyak goreng ada di Pontianak untuk terus mendukung distributor di kabupaten/kota.
Terkait mekanisme harga diatur harga eceran tertinggi (HET). Selama ini ada tiga kategori minyak goreng dengan harga yang berbeda-beda, yaitu premium Rp 14.000 per liter, sederhana (bantalan) Rp 13.500 per liter, dan curah Rp 11.500 per liter.
Produksi mencukupi
Sementara itu dari sisi produksi minyak goreng, Kalbar surplus. Berdasarkan data DPPESDM, produksi minyak goreng pabrik yang berada di Pontianak 15.000 metrik ton per bulan. Kemudian, dari data bongkar bulan Januari ada 608 ton minyak goreng masuk ke Kalbar. Sementara kebutuhan Kalbar berdasarkan pola konsumsi hanya 4.151 ton per bulan.
Kalbar merupakan salah satu daerah penghasil kelapa sawit. Berdasarkan data Kalbar dalam Angka 2021, luas perkebunan sawit menurut kabupaten/kota di Kalbar tahun 2020 seluas 1,9 juta ha. Sementara produksinya 4,1 juta ton pada tahun 2020. Berdasarkan catatan Kompas, perkebunan di Kalbar terbesar kedua di Indonesia.
Gubernur Kalbar Sutarmidji mengatakan, produksi minyak goreng di Kalbar mencukupi. ”Produksi melebihi kebutuhan Kalbar. Kalau dikatakan langka, tidak. Hanya ada masalah kepanikan. Selain itu, konsumen ada fanatik dengan merek tertentu. Padahal, bahan bakunya sama dengan minyak goreng yang diproduksi di Kalbar,” ungkapnya.
Ke depan minyak goreng yang disubsidi diperbanyak dan yang tidak disubsidi juga harus tetap ada di pasar. Jangan sampai kedua jenis minyak goreng itu tidak ada. Selain itu akan selalu melakukan razia, memantau produksi dan kebutuhan masyarakat.
Kepala Kepolisian Daerah Kalbar Inspektur Jenderal Suryanbodo Asmoro, mengatakan, Satgas Pangan Polda Kalbar terus bekerja dengan mengawasi rantai distribusi, misalnya di industri dan termasuk ke distributor yang besar. Semuanya telah dipetakan.
”Hasil sementara masyarakat banyak yang panic buying, membeli dalam jumlah banyak sehingga terjadi kelangkaan serta ada warga yang memilih merek tertentu. Menjelang Ramadhan Satgas Pangan terus bekerja,” katanya.
Tata niaga
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak Eddy Suratman menilai, dari data produksi minyak goreng di pabrik Kalbar menunjukkan produksi melampaui kebutuhan.
”Berarti ada rantai distribusi yang macet. Hal itu terjadi bisa jadi karena terlalu panjang sehingga sulit dikontrol atau bisa jadi ada yang ’nakal’,” ujar Eddy.
Kalau bisa distribusi hanya dari pabrik kepada agen kemudian pengecer. Kalau ada tahapan lain di antara itu perlu dihapuskan sehingga mudah diawasi.
Pemangku kebijakan ke depan hendaknya aktif dan memiliki data terkait suplai, posisi barang di mana, sampai di kabupaten/kota pada tanggal berapa dan berapa jumlahnya. Pengawasan distribusi yang perlu diperkuat saat ini.
Masalahnya bukan pada produksi, melainkan di rantai distribusi. Untuk memperbaiki rantai distribusi perlu waktu panjang. ”Perlu dikaji, mulai dari pabrik hingga kepada pengecer tahapannya ke mana saja. Kalau bisa distribusi hanya dari pabrik kepada agen kemudian pengecer. Kalau ada tahapan lain di antara itu perlu dihapuskan sehingga mudah diawasi,” ujar Eddy.