Pandemi Melandai, Peluang Ekspor Produk Pertanian Lampung Kian Terbuka
Meningkatnya permintaan pasar dunia terhadap komoditas pangan membuka peluang ekspor berbagai komoditas pertanian asal Lampung. Petani dan eksportir dibina untuk bisa meningkatkan volume ekspor.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS – Ekspor komoditas pertanian asal Lampung kian terbuka di tengah situasi pandemi Covid-19 yang semakin terkendali. Peluang ekspor ini dikelola guna menggenjot perekonomian daerah.
Berdasarkan data Indonesia Quarantine Full Automation System yang dihimpun dari Badan Karantina Pertanian Lampung, selama periode Januari-Desember 2021, nilai ekspor komoditas pertanian di Lampung tercatat Rp 14,1 triliun. Komoditas yang paling banyak diekspor adalah tanaman perkebunan, antara lain kopi, lada, dan sawit. Selain itu, komoditas unggulan lain adalah buah-buahan, seperti nanas dan manggis.
Pada 2021, nilai ekspor produk pertanian Lampung mengalami peningkatan sebesar Rp 3,7 triliun. Kenaikan nilai ekspor itu setara dengan 36,61 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Kapala Balai Karantina Pertanian Kelas I Bandar Lampung Muh Jumadh, Selasa (8/3/2022), menuturkan, komoditas pertanian Lampung berupa produk hasil perkebunan dan hortikultura semakin berpeluang menembus pasar ekspor. Selain kualitas, tren permintaan pasar dunia terhadap komoditas pangan asal Indonesia juga meningkat.
Peluang ekspor komoditas pertanian semakin lebar karena Lampung memiliki Pelabuhan Internasional Panjang. Kapal dari sejumlah negara tujuan ekspor bisa langsung mengangkut produk dari Lampung.
Menurut dia, Balai Karantina Pertanian Lampung terus melakukan pendampingan pada petani agar semakin banyak komoditas pertanian yang bisa diekspor. Pendampingan kepada petani harus terus dilakukan agar mereka dapat mempertahankan kualitas produk sesuai dengan persyaratan dan permintaan negara tujuan.
Ia mengungkapkan, eksportir produk pertanian di Lampung masih menghadapi beberapa kendala dalam memenuhi persyaratan ekspor. Produk yang diekspor harus dipastikan bebas dari hama penyakit dan cemaran bahan kimia. Jika produk pertanian yang dikirim tidak memenuhi standar di negara tujuan, produk pertanian ini akan dikembalikan sehingga eksportir merugi.
”Tahun lalu ada beberapa produk pertanian Lampung yang dikembalikan oleh negara tujuan. Dari notifikasi atau catatan yang diberikan, ternyata saat sampai di negara tujuan, produk tersebut tidak memenuhi persyaratan sehingga harus dipulangkan. Namun, jumlahnya tidak begitu banyak,” kata Jumadh.
Ia menambahkan, eksportir harus lebih teliti terhadap dokumen persyaratan ekspor dari negara tujuan. Petugas karantina juga secara berkala memberikan bimbingan teknis kepada petani perkebunan dan hortikultura di Lampung. Selain itu, pendampingan untuk sistem karantina, seperti penyiapan rumah pengemasan, juga dilakukan.
Selama pandemi Covid-19, Balai Karantina Pertanian juga mencatat tren peningkatan ekspor produk rempah. Komoditas rempah ekspor itu, antara lain, cengkeh, cabai jamu, lada hitam, dan asam kandis.
Selain lada, komoditas lain yang belum menjadi prioritas harus mulai dikembangkan serius.
Negara tujuan ekspor juga meluas. Selain Asia dan Amerika, produk pertanian asal Lampung juga diekspor ke sejumlah negara lain, seperti Jerman, Pakistan, Uni Emirat Arab, dan Inggris.
Secara terpisah, Ketua Dewan Rempah Lampung Untung Sugiatno menyebutkan, pemerintah daerah harus responsif terhadap peluang ekspor yang semakin terbuka setelah situasi pandemi melandai. Selain lada, komoditas lain yang belum menjadi prioritas harus mulai dikembangkan serius.
Menurut dia, pandemi Covid-19 membuat tren permintaan rempah dunia meningkat. Selain untuk keperluan pembuatan obat herbal, rempah juga diperlukan untuk bahan baku pembuatan produk kecantikan.
Sayangnya, peningkatan ekspor rempah itu tidak dibarengi dengan kenaikan harga jual rempah di tingkat petani. Saat ini, Untung mengatakan, harga lada hitam berkisar Rp 40.000-Rp 50.000 per kilogram, sedangkan cengkeh sekitar Rp 60.000 per kilogram. Harga itu tidak lebih baik dibandingkan harga jual lima tahun lalu yang bisa mencapai Rp 100.000 per kilogram.