Menanti Cerita dari Surga yang Tersembunyi
Pembangunan infrastruktur di Likupang tengah dikebut. Investor pun diundang agar masuk berduyun-duyun. Namun, tanpa cerita-cerita yang mengandung kearifan lokal, Likupang selamanya akan menjadi surga yang tersembunyi.
Alkisah di suatu tempat bernama Airmadidi, hidup seorang petani bernama Mamanua. Lelaki muda itu dikenal sebagai sosok pekerja keras yang ulet dalam menggarap lahan dan kebun. Tanah Minahasa di kaki Gunung Klabat yang begitu subur pun membalasnya dengan hasil bumi yang melimpah.
Syahdan ia menemukan sebuah telaga yang begitu indah tak jauh dari Airmadidi, lalu mulai menggarap lahannya. Suatu ketika, sekonyong-konyong secercah cahaya muncul dari langit. Mamanua terperanjat menyaksikan sembilan bidadari dari kayangan turun ke Bumi untuk mandi di telaga itu.
Akan tetapi, kesimanya berubah menjadi gusar ketika ia melihat mereka mengambil hasil kebunnya tanpa izin. Maka timbullah niat Mamanua untuk mencuri selendang salah satu bidadari. Akibatnya, bidadari bernama Lamalundung tak dapat kembali ke kayangan bersama yang lainnya.
Pertemuan Mamanua dengan Lamalundung pun tak terhindarkan. Dalam tatapan pertama, si petani langsung jatuh cinta. Ia pun meminta bidadari itu menikahinya. Lumalundung menerima pinangan tersebut.
Kalau enggak ada cerita, enggak akan ada awareness (pengetahuan) soal Likupang. Kalau orang enggak aware, mereka enggak akan datang karena enggak tahu ada obyek wisata.
Sekelompok penari muda menampilkan tari Tumatenden dari Airmadidi, Minahasa Utara, di sela-sela konferensi internasional bertajuk ”Likupang-North Sulawesi: Discover the Hidden Paradise” yang digelar Kemenparekraf dan harian Kompas di Manado, Selasa (8/3/2022).
Pasangan itu dikarunia seorang anak, tetapi akhirnya harus berpisah karena sang bidadari harus kembali ke kayangan. Maka, Mamanua membuat sembilan saluran mata air di kolam itu sebagai wujud ingatan akan pertemuannya dengan para bidadari.
Kini kolam itu dikenal dengan nama Tumatenden. Legenda Mamanua dan Lumalundung pun masih disimpan dalam ingatan kolektif warga Minahasa dalam wujud tari tumatenden, tarian tradisional daerah Airmadidi yang secara administratif kini berada di Minahasa Utara.
Baca juga: Jejak Awal KEK Pariwisata Likupang
Tarian itu pun mengundang decak kagum ketika sekelompok penari muda menampilkannya di depan 100 peserta konferensi internasional bertajuk ”Likupang, North Sulawesi: Discover the Hidden Paradise” di Manado, Sulawesi Utara, Selasa (8/3/2022). Namun, tak sekadar legenda, tarian itu seolah mengundang para hadirin untuk langsung melancong.
Kolam dan mata air Tumatenden pun kini menjadi satu dari sekian destinasi wisata di Airmadidi. Namun, bukan daerah itu yang kini sedang dipromosikan pemerintah sebagai destinasi pariwisata superprioritas (DPSP), melainkan Likupang yang jaraknya sekitar 40 kilometer dari sana, atau sekitar 1 jam 15 menit perjalanan darat.
Setidaknya baru pada Agustus 2019 warga di Tanah Air mendengar nama Likupang, tepatnya ketika ia ditetapkan menjadi satu dari lima DPSP. Padahal, masih banyak yang tak tahu di mana letaknya. Hal ini tentu mengundang tanya: Mengapa harus ke Likupang? Memang ada apa di sana? Ada cerita apa di Likupang?
Kebingungan
Pemerintah menetapkan, sebuah kawasan ekonomi khusus (KEK) pariwisata akan dibangun di Likupang. PT Minahasa Permai Resort Development (MPRD), perusahaan pengelola hotel Sintesa, memiliki lahan seluas 197,4 hektar di wilayah Likupang Timur. Perusahaan itu pun akan menjadi pengelola KEK.
Ketika menginjakkan kaki di Likupang, Paquita Widjaja Rustandi, Project Development Manager PT MPRD, mengaku harus memutar otak. Alamnya memang indah, dengan pantai yang jernih dan berpasir putih, serta padang rumput yang memesona. Namun, ia kesusahan menemukan cerita ataupun narasi soal Likupang.
“Konten adalah kunci. Semua kawasan pariwisata harus punya cerita agar orang-orang mau berkunjung. Kalau enggak ada cerita, enggak akan ada awareness (pengetahuan) soal Likupang. Kalau orang enggak aware, mereka enggak akan datang karena enggak tahu ada obyek wisata,” kata Paquita dalam konferensi internasional itu.
Menurut Paquita, kesulitan ini dikarenakan tak banyak literatur cerita rakyat ataupun sejarah soal Sulut, apalagi Likupang. Namun, salah satu catatan yang sudah eksis adalah catatan naturalis asal Inggris, Alfred Russel Wallace, dalam bukunya The Malay Archipelago yang terbit pada 1869.
Wallace memulai perjalanan di Sulut pada 10 Juni 1859, ketika ia merapat di pesisir Likupang. Dalam perjalanannya ke arah Selat Lembeh, ia melihat banyak sekali satwa endemik yang hanya ada di Sulawesi, seperti maleo, anoa, dan babirusa.
Kini, satwa-satwa endemik itu masih dapat dijumpai di sepanjang pesisir utara Sulut. Paquita pun bertekad membentuk kawasan konservasi Wallace di hutan yang terletak di dalam area KEK untuk mengundang wisatawan minat khusus. Hanya saja, ia masih ragu untuk mengangkat eksistensi hewan-hewan tertentu, seperti anoa, yang kini sulit ditemui di Sulut. Hutan di area KEK itu pun butuh perawatan jika ingin dijadikan rumah bagi satwa liar.
Baca juga: Potensi Likupang Digali lewat Konferensi Internasional
Di sisi lain, ia yakin, Minahasa Utara memiliki beragam keunikan kultural. Ada sembilan subsuku Minahasa yang pada zaman dahulu kala adalah pemburu dan petarung. ”Ada kekayaan budaya yang luar biasa dan layak dijadikan cerita. Elemen budaya ini yang ingin kami angkat,” kata Paquita, terlepas dari fakta mayoritas penduduk Likupang adalah etnis Sangihe.
Dalam keadaan inilah, pendekatan storynomics tourism yang dirumuskan Kemenparekraf menjadi sangat penting bagi Likupang. Dengan pendekatan ini, warga destinasi pariwisata dan pemerintah setempat didorong untuk menonjolkan kekuatan narasi kearifan lokal sebagai magnet wisatawan.
Aris Prasetyo, wartawan harian Kompas yang berpengalaman berekspedisi di kawasan biogeografis Wallacea, termasuk Sulut, menyebut cerita-cerita seperti itu tak bisa dianggap remeh. ”Obyek wisata semenarik apa pun kalau tidak dikemas dengan cerita-cerita dan dipromosikan, selamanya akan menjadi hidden paradise (surga yang tersembunyi),” katanya.
Kasus batu bacan dari Pulau Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, bisa menjadi contoh. Aris mengatakan, ribuan orang tiba-tiba berbondong-bondong mengunjungi Bacan untuk mencari batu itu setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiahkannya kepada Presiden ke-44 Amerika Serikat, Barack Obama.
Konon, batu itu dijadikan hadiah bagi kepala negara karena dipercaya menyimpan wibawa yang bisa bikin pemakainya sukses atau cepat naik pangkat. Padahal, bagi sebagian warga di Bacan, batu itu tak lebih dari sekadar pengganjal pintu.
”Namun, saat ribuan orang datang mencari batu bacan, tentu mereka butuh kamar untuk menginap, mereka butuh makan juga. Inilah kekuatan narasi,” katanya.
Jadi, Likupang bukan cuma soal pantai. Kalau dinarasikan dengan tepat, orang pasti ingin datang melihat satwa endemik.
Karena itu, ia mendorong para pegiat wisata di Likupang untuk mulai menggali cerita-cerita di daerahnya untuk mendorong pariwisata. Berdasarkan data Dinas Kebudayaan Sulut pada 2020, ada 170 situs bersejarah yang tersebar di 15 kabupaten/kota di Sulut. Terdapat pula 33 makam bersejarah, 82 situs purbakala, dan enam museum.
Cerita dari perjalanan Wallace pun ia yakini dapat menjadi daya tarik. Apalagi, hewan-hewan endemik di Sulut masih dapat ditemui saat ini tak jauh dari Likupang, tepatnya di Taman Wisata Alam Batuputih, Bitung. ”Jadi, Likupang bukan cuma soal pantai. Kalau dinarasikan dengan tepat, orang pasti ingin datang melihat satwa endemik,” kata Aris.
Meski demikian, cerita tidak melulu soal budaya. Hal lain yang dapat menarik wisatawan untuk datang adalah wisata kuliner. Koki sekaligus pegiat gastronomi Indonesia, chef Ragil Imam Wibowo mengatakan, kekayaan gastronomi di Sulut tak diragukan lagi. Berbagai kudapan lezat tersedia di sana, dari klappertaart hingga olahan ikan laut.
Menurut dia, makanan akan bisa mengundang wisatawan jika lima langkah disiapkan dengan baik. Pertama, pemetaan makanan, yang kemudian disusul dengan pembentukan operator tur dan pengalaman makan. Jadi, setidaknya ada tiga sampai lima makanan yang bisa dinikmati dalam sehari dengan jarak tempuh maksimal satu jam,” katanya.
Suatu daerah wisata juga harus memiliki setidaknya lima makanan dan minuman yang wajib dicoba wisatawan agar mereka ”sah” pernah berkunjung. Daerah wisata pun harus menyiapkan toko oleh-oleh yang baik.
Selain itu, yang tidak kalah penting adalah penciptaan buku resep unggulan. Jadi, wisatawan akan bisa mencoba membuat sendiri makanan yang ia santap ketika berwisata, kemudian menceritakannya ke orang-orang di sekitarnya.
Menurut Ragil, Sulut telah siap soal makanan. Namun, Likupang pun harus punya kuliner unggulan yang siap ditawarkan kepada wisatawan. Pengalaman makan pun akan lebih menarik jika dilaksanakan di lokasi-lokasi yang memiliki cerita. Nilai tambah akan semakin besar jika wisatawan berkesempatan mencari bahan atau memasak bersama warga setempat.
Kini, pembangunan infrastruktur di Likupang tengah dikebut. Investor pun diundang agar masuk berduyun-duyun. Namun, tanpa cerita-cerita yang mengandung kearifan lokal, Likupang selamanya akan menjadi surga yang tersembunyi.