Buruh di Batam Desak Pemenuhan Hak dan Perlindungan Perempuan
Ratusan buruh perempuan berunjuk rasa di Batam, Kepulauan Riau. Mereka menuntut pemenuhan hak maternitas bagi pekerja dan mendesak percepatan proses legislasi sejumlah peraturan untuk menjamin perlindungan perempuan.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Memperingati Hari Perempuan Sedunia, ratusan buruh berunjuk rasa di depan Kantor DPRD Kota Batam, Kepulauan Riau, Selasa (8/3/2022). Para buruh menuntut pemenuhan hak maternitas bagi pekerja serta mendesak percepatan proses legislasi sejumlah peraturan untuk menjamin perlindungan perempuan.
Sedikitnya 300 orang berunjuk rasa di depan Kantor DPRD Kota Batam. Sebagian besar adalah perempuan dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Batam. Selain berorasi dan menemui anggota DPRD, mereka juga membagikan bunga kepada pengguna jalan.
Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan FSPMI Batam, Asih, Selasa, meminta semua perusahaan di Batam memenuhi hak maternitas kepada buruh perempuan. Masih banyak perusahaan di Batam belum memberikan hak cuti haid dan cuti melahirkan kepada pekerjanya.
”Masih ada perusahaan yang mengharuskan kami periksa ke dokter saat meminta cuti haid. Ini tentu salah satu bentuk kekerasan terhadap buruh perempuan,” kata Asih.
Pada 2020, Komnas Perempuan mencatat setidaknya ada 64 pengaduan langsung kekerasan terhadap perempuan pekerja, yakni pelanggaran hak maternitas, keselamatan dan kesehatan kerja, pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap perempuan buruh yang hamil, serta buruh migran dipulangkan tanpa mendapat layanan optimal dari negara (Kompas, 20/12/2021).
Padahal, pemenuhan hak maternitas ini dijamin dalam Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) 183 tentang Perlindungan Maternitas. Konvensi ILO 183 juga menyatakan bahwa waktu minimal cuti melahirkan adalah 14 minggu. Namun, pemerintah belum juga meratifikasi kovensi tersebut.
Oleh karena itu, Asih menambahkan, buruh juga mendesak pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO 183 dan Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. Dua konvensi itu sangat mendesak untuk melindungi perempuan pekerja dari praktik kekerasan dan pelecehan.
Sekretaris Komisi IV DPRD Kota Batam Nina Mellanie mendorong buruh berani mengadukan perusahaan yang melanggar hak perempuan. ”Nanti kami akan panggil semua pihak, di situ akan didengar langsung keterangan pihak-pihak terkait,” ucapnya.
Selain mendesak pemenuhan hak maternitas, buruh perempuan di Batam juga mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Menurut Asih, kedua RUU itu tidak saja penting, tetapi genting untuk segera disahkan.
Pembahasan RUU TPKS sudah berlangsung sejak 2016. Asih mengatakan, buruh ingin mengawal pembahasan RUU TPKS itu agar pembahasannya cepat terlaksana. RUU ini diharapkan dapat menjadi payung hukum memadai untuk memberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020 menyebut ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2019. Angka ini naik dari tahun 2018 sejumlah 406.178 kasus dan 2017 sebanyak 348.446 kasus.
Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor mendesak agar RUU TPKS segera disahkan. RUU TPKS penting karena dapat mengatur pemulihan korban sebelum, selama, hingga setelah masa peradilan (Kompas, 5/3/2022).
Selain RUU TPKS, buruh juga meminta pemerintah segera mengesahkan RUU PPRT yang pembahasannya terkatung-katung sejak 2004. Asih menilai, keberlanjutan pembahasan RUU tersebut penting untuk menjamin hak-hak PRT. RUU PPRT diharapkan melindungi PRT dari eksploitasi dan kerentanan lainnya.
PRT rentan mengalami bias perlakuan, baik itu terkait jender, kelas, feodalisme, maupun ras. Bukan hanya itu, mereka juga rentan menjadi korban pelecehan seksual dan kekerasan. Dari data yang dihimpun Litbang Kompas, tercatat 842 kasus kekerasan terhadap PRT pada 2020, melonjak dari sebelumnya 467 kasus pada 2019 dan 434 pada 2018.
Sementara itu, Konsorsium delapan organisasi perempuan di Sumatera atau Permampu memperingati hari perempuan sedunia dengan mengajak para perempuan untuk lebih menyadari kesehatan jiwa. Koordinator Konsorsium Permampu Dina Lumbantobing menilai, perempuan akar rumput rentan mengalami tekanan mental akibat situasi sulit pandemi Covid-19.