Tiga Tewas dan Enam Terluka Akibat Amukan Warga di Kediri
Polisi belum mengetahui motif yang melatarbelakangi perbuatan pelaku. Korban masih kerabat dan tetangga.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
KEDIRI, KOMPAS – Tiga orang meninggal dan enam lainnya terluka setelah seorang warga Dusun Bangunmulyo, Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, mengamuk dan membacok orang-orang di sekitarnya, Senin (7/3/2022), sekitar pukul 13.00. Rianto (35), warga itu, diringkus polisi, bersama barang bukti sebuah celurit. Sejauh ini belum diketahui kondisi kejiwaan pelaku.
Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Kepolisian Resor Kediri Ajun Komisaris Rizkika Atmadha, ketika dikonfirmasi dari Malang, Senin petang, mengungkapkan, sebagian korban merupakan keluarga pelaku dan sebagian lainnya adalah tetangga.
“Total korban ada sembilan orang, yang meninggal sementara ini ada tiga orang. Sisanya enam orang luka. Dari enam orang yang terluka, satu di antaranya kondisinya kritis,” ujarnya.
Mengenai motif yang mendasari perbuatan Rianto, Rizkika mengatakan sejauh ini belum diketahui. Pelaku masih bungkam. Polisi sendiri masih mengumpulkan keterangan dari saksi-saksi yang melihat peristiwa tersebut.
Pembunuhan dengan korban lebih dari satu di Kediri tidak hanya kali ini saja terjadi. Sebelumnya, pertengahan Januari lalu seorang warga Desa Tambakrejo, Kecamatan Gurah, mengamuk secara membabi-buta. Akibatnya, dua orang tewas dan seorang lainnya terluka.
Pelaku diketahui bernama Muhammad Naim (32), sedangkan korban adalah Muslimah (65) dan pamannya, Marjuki (80). Pelaku kemudian dikirim ke Rumah Sakit Jiwa Dr Radjiman Wediodiningrat guna menjalani observasi kejiwaan karena berdasarkan keterangan dari keluarga dan warga lain, pelaku mengalami gangguan kejiwaan.
Kriminolog Universitas Brawijaya Malang Dr Prija Djatmika mengatakan, dari kasus yang terjadi secara umum, pembunuhan yang menyebabkan korban lebih dari satu orang bisa disebabkan kelainan jiwa atau depresi sosial.
“Jadi yang dibunuh acak tidak? Kalau acak mungkin akibat depresi sosial. Kalau yang dibunuh keluarga atau orang yang dia kenal, yang ada story sebelumnya, mungkin akibat dendam,” ujarnya.
Untuk memastikan itu, menurut Prija, bisa dilacak dari kehidupan ekonomi dan keluarganya. Membunuh secara membabi-buta dalam konsep kriminologi dikenal dengan istilah anomi atau kehilangan nilai (degradasi nilai).
“Benar salah dia tidak mikir yang penting sudah melampiaskan. Dia tidak punya keterikatan sosial, dia mengalami anomi,” ucapnya.
Ditarik dari konteks yang terjadi saat ini apakah depresi sosial mudah muncul karena kondisi yang terjadi akhir-akhir ini, terutama himpitan ekonomi, Prija menjelaskan karena ada faktor yang menumpuk pada diri pelaku.
Ada depresi, tekanan psikologis yang kuat, sedangkan yang bersangkutan tidak memiliki jalan keluar yang tepat. Maka hal itu akan menjadi pemicu (trigger) yang bersangkutan melakukan tindakan membabi buta.
“Kecuali gangguan jiwa. Kalau gila di luar kontrol. Jadi polisi tinggal melacak back groundnya bagaimana, kesehariannya bagaimana. Lalu triggernya, pemicunya apa,” ucapnya.
Kalau pelaku terbukti mengalami gangguan jiwa, mereka tidak bisa dipidana. Namun, tetap pengadilan yang memutuskan. Hal itu ada di Pasal 44 Ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
“Meski pelaku tisak bisa menjawab tetap diproses saksi-saksinya. Habis itu ke psikater dan dinyatakan gila. Setelah itu hakim yang memutuskan untuk dirawat di rumah sakit jiwa,” jelas Prija.