Nasib Megabiodiversitas Minim Sentuhan Sains dan Pengembangan
Meski berlabel negara ”megabiodiversitas”, Indonesia belum mengelola keanekaragaman hayatinya dalam riset dan pengembangan. Banyak spesies non-ikonik dibayangi kepunahan senyap.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
Keragaman hayati melimpah yang membawa Indonesia berlabel negara ”megabiodiversitas” masih belum dibarengi kekayaan riset dan pengembangannya. Minimnya sentuhan itu menempatkan banyak spesies non-ikonik dibayangi kepunahan senyap.
Ahli Ilmu Konservasi dan Biodiversitas Indonesia dari Universitas Indonesia, Jatna Supriatna, mengatakan, Indonesia boleh jadi bangga memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Sampai-sampai dunia menyebutnya sebagai negara megabiodiversitas.
Setidaknya, 25 persen spesies ikan di dunia ada di perairan Indonesia, 17 persen keragaman spesies burung, 16 persen amfibi dan reptil, 15 persen serangga, 12 persen mamalia, dan 10 persen tanaman berbunga di dunia ada di negeri ini. Belum lagi aneka jenis terumbu karang yang menghiasi perairan laut Tanah Air.
”Itulah mengapa Indonesia disebut negara megabiodiversitas,” katanya dalam Webinar Meliput Ragam Biodiversitas Non-Ikonik Indonesia yang diselenggarakan Masyarakat Jurnalis Sains Indonesia (SISJ) dan Earth Journalism Network (EJN), Sabtu (5/3/2022).
Begitu kayanya spesies di Indonesia dipengaruhi kondisi sejarah geologi, iklim, dan biogeografi. Semuanya itu jika mendapatkan sentuhan riset dan pengembangan secara memadai dan terpadu, akan mencukupkan kehidupan masyarakat secara berkelanjutan. Indonesia mestinya tak perlu bergantung pada impor beragam jenis pangan.
Ia mencontohkan, masyarakat suku Mentawai di Sumatera Barat menjadikan 150 jenis serangga sebagai sumber pangan lokal. Di Bengkulu, Jambi, dan Riau, ada jenis katak (Rana blythii) yang berbobot 1 kilogram untuk dikonsumsi.
Ada lagi ikan-ikan berbobot besar yang juga menjadi sumber pangan di Kalimantan dan Sumatera. Namun, karena minimnya riset dan pengembangan budidayanya, kekayaan sumber pangan ini sulit dipastikan keberlanjutannya malahan dibayangi oleh kepunahan.
”Kita juga punya anoa, rusa, tapi cuma diburu (tanpa dikembangkan budidayanya),” ujarnya lagi. Apalagi spesies ayam di Indonesia ada 31 rumpun, di sisi lain Indonesia menjadi pengimpor daging.
Semuanya itu, jika mendapatkan sentuhan riset dan pengembangan secara memadai dan terpadu, akan mencukupkan kehidupan masyarakat secara berkelanjutan. (Jatna Supriyatna)
Biota di hutan Indonesia juga berpotensi besar. Ia menyebutkan, potensinya ada 40.000 spesies yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan obat, 400 tanaman penghasil buah dan 370 spesies sayuran. Selain itu, ada 60 spesies tanaman penyegar, 55 spesies tanaman rempah, dan 2.500 jenis tanaman obat.
Realitas minimnya riset menyebabkan banyak spesies non-ikonik tidak diketahui kondisi konservasinya. Bisa jadi telah terjadi kepunahan di alam tanpa disadari.
Kurator Herbarium Bandungense Sekolah Tinggi Ilmu Hayati, Arifin Surya Dwipa Irsyam, menambahkan, banyak jenis tumbuhan yang memberi manfaat besar tetapi kini tak lagi dapat ditemukan di habitatnya. Ia mencontohkan jenis jahe liar yang di Jawa Barat disebut tongtak, air daunnya bermanfaat untuk perawatan rambut dan buahnya dapat dimakan. Alih fungsi lahan yang tinggi menyebabkan jenis tanaman itu kini sulit ditemukan lagi.
Begitu pula tumbuhan obat kamandin saebo di Pulau Madura kini diperkirakan telah punah. Hasil penjelajahan dalam Ekspedisi Madura 2019, tim Herbarium Bandungense tidak lagi menemukan tanaman ini. Jauh sebelumnya, tahun 2000, peneliti LIPI bahkan telah lebih dulu memperkirakannya punah akibat eksploitasi berlebih serta penambangan kapur.
Jurnalis Sains Independen, Brigitta Isworo Laksmi, mengingatkan, siapa saja biasa mengupayakan kesadaran pentingnya konservasi, apalagi jurnalis. Untuk itu, jurnalis dalam mengangkat isu sains dan biodiversitas agar menghindari istilah jargon yang teknis.
Tujuannya agar tulisan yang dirangkai bisa mudah dipahami masyarakat awam. Jurnalis perlu terus memperjuangkan keberlanjutan biodiversitas lewat bahasa yang naratif sehingga enak dibaca dipahami. Dengan demikian, jurnalis turut mendorong masyarakat menjaga biodiversitas.