Harga Minyak Goreng di Pasar Tradisional di Papua Melambung Tinggi
Penetapan harga eceran tertinggi minyak goreng di Papua belum dilaksanakan secara merata di pasar tradisional. Kondisi ini sangat membebani masyarakat setempat.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Harga minyak goreng kemasan di pasar tradisional di Papua melambung tinggi, di atas Rp 14.000 per liter. Kondisi ini membuat pedagang enggan berjualan minyak goreng.
Marthen Tangalele, pedagang di Distrik Elelim, Kabupaten Yalimo, mengatakan tidak lagi berjualan minyak goreng karena harganya mencapai Rp 45.000 per liter. Tingginya harga minyak goreng karena terbatasnya pasokan di daerah yang bertetangga dengan Kabupaten Jayawijaya itu.
”Banyak warga mengeluhkan tingginya harga minyak goreng. Saya memutuskan untuk sementara tidak lagi berjualan minyak goreng di kios,” kata Marthen, Senin (7/3/2022).
Kondisi itu di atas aturan pemerintah. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022, harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng sawit ditetapkan Rp 11.500 per liter untuk minyak goreng curah. Sementara minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter dan Rp 14.000 per liter untuk minyak goreng kemasan premium.
Kepala Seksi Bahan Pokok dan Barang Strategis Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil Menengah, dan Tenaga Kerja Provinsi Papua Baji Idrus di Kota Jayapura mengatakan, harga minyak goreng di pasar tradisional di kawasan pesisir, seperti Jayapura, berkisar Rp 20.000 hingga Rp 21.000 per liter. Harganya mencapai Rp 25.000 per liter atau lebih jika dijual di wilayah pegunungan seperti Wamena.
”Harga minyak goreng di sejumlah ritel modern yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia atau Aprindo masih sesuai HET. Di sejumlah pusat perbelanjaan modern di Kota Jayapura, minyak goreng kemasan premium dijual sesuai HET Rp 14.000 liter. Sementara para pedagang yang tidak tergabung di Aprindo masih menjual dengan kisaran di atas Rp 20.000 per liter,” tutur Baji.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil Menengah, dan Tenaga Kerja Provinsi Papua Eko Irianto Laksono mengungkapkan, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan harga minyak goreng di pasar tradisional belum sesuai HET. Faktor ini antara lain stok minyak goreng subsidi yang terbatas dan mayoritas pedagang membeli minyak goreng sebelum penetapan HET.
”Faktor berikutnya adalah prosedur pengajuan penyesuaian harga untuk mendapatkan subsidi belum berjalan maksimal. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit belum merespons pengajuan dari pedagang terkait penyesuaian harga,” ujar Eko.
Ia pun menambahkan, sejumlah ritel modern bisa menjual minyak goreng sesuai dengan HET karena masih mendapatkan keuntungan dari menjual banyak komoditas lainnya. Kondisi ini berbeda dengan pedagang di pasar tradisional yang tidak menjual banyak komoditas.
Yuliana Pigay, pedagang di Pasar Mama-mama Papua, mengatakan tidak ada pedagang yang berjualan minyak goreng di pasar itu karena harganya yang mahal.
”Kami berharap pemerintah segera menstabilkan harga minyak goreng. Kami sebagai masyarakat kecil yang tidak memiliki penghasilan tetap sangat terbebani ketika harga barang kebutuhan pokok melonjak,” ujar wanita asal Kabupaten Paniai ini.