Meski Dijamin Stoknya Melimpah di Jambi, Minyak Goreng Nihil di Pasaran
Masyarakat masih mengeluh kesulitan mendapatkan minyak goreng di pasaran. Padahal, satgas pangan telah mewanti-wanti bahwa stok terbaru sudah masuk 2 juta liter di Jambi.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Meski telah dijamin stoknya lebih dari 2 juta liter di Jambi, minyak goreng masih saja langka di pasaran. Masyarakat mendesak penegak hukum menelusuri indikasi penimbunan minyak goreng di daerah.
Warga Jambi Selatan, Kota Jambi, Rahayu, mengeluh minyak goreng langka. Ia telah mencari di gerai-gerai minimarket waralaba dan juga supermarket lokal, pasokan minyak goreng tidak ada di mana-mana. ”Padahal, hanya butuh 1 liter buat kebutuhan di dapur, tapi mencari minyak goreng sulit sekali sekarang ini,” katanya, Minggu (6/3/2022).
Hal senada dikemukakan Ardian, warga lainnya. Ia pun mendesak agar penegak hukum menelusuri kemungkinan adanya penimbunan minyak goreng di daerah. ”Ini benar-benar aneh. Pemerintah bilang stok (minyak goreng) melimpah, tetapi kok di pasar tetap langka?” katanya.
Sebelumnya, Satgas Pangan di Jambi telah mewanti-wanti agar masyarakat jangan panik. Stok minyak goreng dipastikan melimpah.
Menurut Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jambi Komisaris Besar Christian Tory, total ada 2 juta liter stok baru minyak goreng untuk memenuhi kebutuhan di Jambi. Pihaknya mengawal distribusi minyak ke daerah-daerah untuk menghindari penimbunan.
Ia pun mengimbau masyarakat agar melaporkan lewat nomor aduan khusus 0853 60-555-222 jika menemukan kelangkaan minyak goreng di supermarket atau toko tertentu yang patut dicurigai terkait upaya penumpukan. Pihaknya akan menelusuri dan mengeceknya.
Sebagian besar hanya mengolahnya jadi CPO karena lebih mudah diolah, lebih cepat hasilnya. Uang yang didapat otomatis lebih cepat. (Usman Ermulan)
Penasihat Ikatan Sarjana Ekonomi Jambi, Usman Ermulan, menyebut ironi jika terjadi kelangkaan minyak goreng di tengah lumbung minyak sawit. ”Padahal, daerah kita ini produsen sawit, tetapi minyak goreng saja bisa langka,” katanya.
Ia menyebut, persoalannya adalah kebanyakan industri pengolahan sawit mengejar hasil cepat dengan menjual minyak mentah. Mereka memanfaatkan momentum tingginya harga minyak sawit dunia.
Hasil pengolahan minyak sawit di Jambi sebagian besar mengalir untuk diekspor dalam bentuk minyak sawit mentah (CPO), bukan untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi masyarakat, misalnya menjadi minyak goreng. Dari puluhan pabrik pengolahan sawit di Jambi, hanya satu atau dua pabrik yang memproduksi hingga minyak goreng.
”Sebagian besar hanya mengolahnya menjadi CPO karena lebih mudah diolah, lebih cepat hasilnya. Uang yang didapat otomatis lebih cepat,” katanya.
Ia pun mendorong agar pemerintah daerah dapat mendukung tumbuhnya industri hilir sawit sehingga nilai tambahnya bisa dinikmati lebih banyak orang. Selama ini, katanya, ekspor CPO dilakukan lewat Dumai karena Jambi belum memiliki pelabuhan samudera sendiri.
Ketergantungan mengekspor lewat pelabuhan provinsi tetangga, katanya, menyebabkan lebih besarnya ongkos angkut yang dikeluarkan pengusaha. Ongkos berlebih itu ditanggung para petani lewat pemotongan harga panen. ”Akhirnya buah sawit petani di Jambi, lebih murah Rp 200 hingga Rp 300 per kilogram dibandingkan harga buah sawit di Riau,” imbuhnya.