Warga Nahdliyin Diminta Luwes dan Ulet Hadapi Disrupsi
Warga nahdliyin diimbau mampu bersikap luwes dan ulet dalam menghadapi era disrupsi yang begitu cepat seperti sekarang ini. Namun, sikap tersebut harus dibarengi dengan komitmen untuk menjaga alam agar tetap lestari.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Warga nahdliyin diimbau selalu luwes dan ulet menghadapi era disrupsi saat ini. Sikap itu hendaknya selalu dibarengi komitmen banyak pihak menjaga alam agar semuanya tetap bermuara pada kemakmuran masyarakat.
Hal ini disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf dalam acara puncak hari lahir PBNU ke-99 tahun di Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (4/3/2022) malam. Hadir dalam acara itu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Gubernur Sumsel Herman Deru.
Kesempatan ini juga disaksikan ratusan warga Nahdliyin perwakilan dari 10 Pimpinan Wilayah NU. Sebanyak 99 Pimpinan Cabang NU dari sepuluh provinsi di Sumatera memeriahkan acara ini.
Yahya menyebut sikap luwes dan ulet ini bisa dipetik dari cara hidup masyarakat Kedatuan Sriwijaya membangun peradaban. Salah satunya dalam adaptasi wilayah.
Meski tidak berbatasan langsung dengan laut, Sriwijaya bisa mengukuhkan diri sebagai kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara, Bahkan, kedatuan dapat bertahan hingga tujuh abad. ”Itu salah satu alasan mengapa kita menggelar harlah di Palembang,” kata Yahya.
Namun, ujar Yahya, Sriwijaya juga mendapat tantangan besar dalam pelestarian alam. Sedimentasi Sungai Musi membuat kapal-kapal kesulitan berlayar ke laut. Kondisi ini ikut memicu Sriwijaya tertutup dari dunia luar sebelum akhirnya runtuh pada abad ke-14.
Ke depan, pelajaran dari adaptasi Sriwijaya tetap bisa dipetik bangsa Indonesia saat menghadapi disrupsi yang kini berjalan sangat cepat, mulai dari pandemi yang mengubah cara hidup manusia hingga merespons peperangan antara Rusia dan Ukraina.
”Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya,” ujar Yahya.
Oleh karena itu, Yahya mengingatkan, sikap menghadapi perkembangan zaman itu harus terus dibarengi dengan penjagaan lingkungan oleh semua kalangan, baik warga, pemerintah, maupun swasta. Bila dikelola dengan baik, semuanya akan memberi kemakmuran.
”Dengan kekayaan alam yang luar biasa, tidak wajar jika warganya tidak makmur,” kata Yahya.
Sementara itu, Rais ’Aam PBNU Kiai Haji Miftachul Akhyar mengingatkan, usia 99 tahun adalah usia yang matang. Hal ini harus dibarengi sikap kedewasaan NU bersikap jujur dan adil. Warga NU juga diminta berkomitmen terus merawat jagat dan melestarikan lingkungan karena itu adalah ketetapan Tuhan yang tertinggi.
”Tidak hanya besar secara jumlah, NU juga harus besar dalam memberikan teladan dan menghasilkan manfaat yang berdampak pada kesejahteraan umat,” kata Miftachul.
Airlangga menyebut, NU memiliki berperan besar bagi kehidupan berbangsa karena warganya tersebar di berbagai sektor. Hal ini terlihat ketika NU turut membantu pemerintah dalam menyukseskan vaksinasi, salah satunya meyakinkan masyarakat bahwa vaksin itu halal dan aman.
Kini, vaksinasi berjalan baik. Hal itu berkontribusi meredakan pandemi sehingga perekonomian nasional mulai membaik.
Airlangga menjelaskan, pada krisis tahun 1998, setidaknya butuh waktu lima tahun memulihkan perekonomian. Sementara di tahun 2008, Indonesia butuh dua tahun untuk bangkit kembali. Di masa pandemi, Indonesia butuh waktu lima kuartal atau kurang dari dua tahun untuk bisa kembali pulih.
Namun, tantangan belum usai. Sekarang, ujar Airlangga, Indonesia dihadapkan pada permasalahan global, seperti perubahan iklim global, inflasi di sejumlah negara, serta peningkatan komoditas akibat peperangan antara Rusia dan Ukraina.
Hal ini harus diantisipasi dengan membangun kemandirian warga. Salah satunya adalah mulai menggalakan pertanian pangan, seperti padi, jagung, dan kedelai. ”Di sinilah peran NU juga sangat dibutuhkan untuk menggerakkan masyarakat mewujudkan visi tersebut,” kata Airlangga.