Belajar dari Kampung Tinggam, Permukiman Kuno yang Bertahan dari Gempa Pasaman Barat
Rumah tradisional di perkampungan adat bertahan dari gempa bermagnitudo 6,1 di Pasaman Barat, Sumatera Barat. Padahal, tak jauh dari sana, hampir semua rumah beton rusak parah, bahkan roboh.
Oleh
PANDU WIYOGA, YOLA SASTRA
·3 menit baca
Warga Kampung Tinggam. Jorong Lubuak Sariak, Nagari Kajai, Kecamatan Talamau, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, mewarisi kearifan lokal leluhur yang turut melindungi mereka dari bencana gempa. Saat kebanyakan rumah di kampung lain rusak parah, hunian tradisional warga Kampung Tinggam tak mengalami kerusakan berarti pascagempa 25 Februari. Rumah-rumah gadang berstruktur kayu tersebut masih utuh.
Kartini (52), warga Kampung Tinggam, penuh semangat menunjukkan salah satu tiang kayu rumah gadang milik keluarganya, Rabu (2/3/2022). Gempa bermagnitudo 6,1 pada 25 Februari di Pasaman dan Pasaman Barat hanya mengakibatkan tiang kayu rumah gadang itu bergeser sedikit dari tumpuan batu di bawahnya. Padahal, rumah itu sudah berumur ratusan tahun dan dihuni sedikitnya enam keturunan.
”Hampir enggak ada yang rusak sama sekali. Cuma goyang-goyang saja waktu gempa kemarin,” ucap Kartini.
Padahal, hanya sekitar 4 kilometer dari Kampung Tinggam, hampir semua rumah beton di sekitar Kantor Wali Nagari Kajai rusak parah. Sebagian di antaranya bahkan roboh.
Menyusuri Kampung Tinggam, terdapat 6 rumah gadang dan sekitar 50 rumah panggung dari bahan kayu. Perkampungan tradisional itu dihuni sekitar 100 keluarga. Rumah-rumah itu terbukti mampu bertahan dari guncangan gempa.
Rumah tradisional Minang, seperti di Kampung Tinggam, menggunakan konstruksi kayu, dinding papan, sambungan pasak, dan tiang yang ditumpukkan di atas batu atau fondasi umpak. Gaya lateral gempa diserap fondasi rumah yang bersendi dinamis (Kompas, 21/11/2019).
Kepala Pusat Seismologi Teknik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Rahmat Triyono, Selasa (1/3/2022), mengatakan, banyak bangunan roboh di Pasaman Barat ternyata tidak punya kolom atau struktur memadai. Ia menyarankan pemerintah daerah segera memetakan lalu memperbaiki bangunan tidak memenuhi syarat sehingga bangunan bisa lebih tahan gempa.
Sementara ahli geologi Ade Edward, Senin (29/2/2022), mengatakan, rumah beton di Pasaman Barat dan sekitarnya bermutu buruk. Hal itulah yang menjadi sumber petaka. Gempa seharusnya dimitigasi dengan bangunan tahan guncangan. Menurut dia, untuk kali ini, alam masih bermurah hati kepada warga di Pasaman Barat dan sekitarnya. Gempa M 6,1 yang menghancurkan sebagian besar rumah warga datang empat menit setelah gempa pertama M 5,2.
”Warga diperingatkan gempa pertama sehingga bisa menyelamatkan diri sebelum datang gempa kedua yang lebih kuat. Kalau tidak ada gempa pertama, mungkin jumlah korban akan jauh lebih banyak,” ujar Ade yang pernah menjabat ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumbar.
Dia menilai, pemerintah kabupaten dan kota yang dilalui segmen-segmen Patahan Sumatera seharusnya memperkuat mitigasi bencana secara menyeluruh. Penguatan standar bangunan tahan gempa dan pembentukan kelompok warga siaga bencana sudah menjadi keharusan.
Adapun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, hingga 1 Maret, 11 orang meninggal akibat gempa. Dua kabupaten paling terdampak adalah Pasaman Barat dan Pasaman.
Di Pasaman Barat, sebanyak lima orang meninggal. Selain itu, 22 warga luka berat, 42 orang luka ringan, dan sekitar 8.000 orang mengungsi. Tercatat sebanyak 1.346 rumah dan sejumlah fasilitas umum rusak.
Pemerintah kabupaten dan kota yang dilalui segmen-segmen Patahan Sumatera seharusnya memperkuat mitigasi bencana secara menyeluruh. Penguatan standar bangunan tahan gempa dan pembentukan kelompok warga siaga bencana sudah menjadi keharusan. (Ade Edward)
Adapun di Pasaman, jumlah korban meninggal tercatat enam orang. Selain itu, 6 warga mengalami luka berat, 36 orang luka ringan, dan lebih kurang 6.785 orang mengungsi. Sebanyak 1.000 rumah rusak dan beberapa fasilitas umum rusak.
Dari gempa di Pasaman Barat dan Pasaman, warga kembali diingatkan bahwa para leluhur bukan tanpa alasan mewariskan kearifan lokal, termasuk berupa desain bangunan. Rumah ramah gempa bisa menjadi langkah mitigasi masyarakat yang hidup di kawasan rentan terdampak pergerakan tektonik lempeng bumi.