Menegakkan Kedaulatan, Meneguhkan Kebersamaan
Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Daerah Istimewa Yogyakarta, diperingati sebagai hari besar nasional. Momen itu menjadi perayaan kebersamaan rakyat dalam meneguhkan kedaulatan. Semangat yang terus relevan dijaga.
Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, di Daerah Istimewa Yogyakarta, diperingati sebagai hari besar nasional sekaligus penegasan atas kebersamaan rakyat. Perjuangan meneguhkan kedaulatan dilakukan seluruh lapisan rakyat yang bergerak bersama demi pengakuan atas republik ini.
Dua pemuda berbadan ceking berdiri tegap menenteng senjata replika. Baju yang mereka kenakan berwarna coklat krim dan agak kedodoran. Sejenak berlalu, nampak ibu-ibu berkebaya menggendong bakul dan menghampiri kedua pemuda tersebut. Mereka ditawari makan. Kedua pemuda tersebut itu pun lahap nasi berbungkus daun yang diberikan.
Setelah suapan terakhir, kedua pemuda itu berpamitan. Mereka mengaku akan ikut berperang melawan tentara Belanda. Ucapan terima kasih yang kental dengan logat Makassar, Sulawesi Selatan, disampaikan kepada para ibu. Para ibu membalasnya dengan ucapan doa agar mereka diberi keselamatan di medan perang.
Adegan itu merupakan potongan drama teaterikal “Serangan Umum 1 Maret 1949” yang ditampilkan Komunitas Penggiat Sejarah Djokjakarta 1945, di Benteng Vredeburg, Kota Yogyakarta, Selasa (1/3/2022). Penampilan diakhiri dengan serangan tentara republik yang terdiri dari berbagai suku bangsa memukul mundur tentara Belanda. Pekik merdeka pun diteriakkan para pejuang.
“Tahun ini, kami mengangkat tema kebinekaan dalam penegakan kedaulatan negara. Untuk itu, ada pasukan-pasukan bernama ‘Laskar Sabrang’ yang kami tampilkan. Kami mengangkat peran pejuang yang berasal dari wilayah Timur Indonesia seperti Sulawesi, Maluku, Ambon, dan lain-lain, dalam peringatan Serangan Umum 1 Maret ini,” ucap Ketua Komunitas Penggiat Sejarah Djokjakarta 1945 Eko Isdiyanto.
Lewat aksi teaterikal, kata Eko, pihaknya ingin menggugah keinginan para pemuda dan pemudi terhadap sejarah. Cara itu dinilainya lebih menyenangkan bagi banyak orang. Untuk itu, secara konsisten, aksi serupa digelar sejak 2014. Tema yang diusung setiap tahun berbeda. Namun, garis besarnya ialah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.
Yang membuat peringatan kali ini semakin spesial, jelas Eko, ditetapkannya tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Ia menyadari, tak mudah mempertahankan kedaulatan negara kala itu. Ia menginginkan agar segenap masyarakat bisa senantiasa mengingat perjuangan pahlawan yang dilakukan selama ini.
“Ini menjadi PR (pekerjaan rumah) besar bagi kita. Momen ini harus selalu dipertahankan ke depan. Metode-metodenya supaya masyarakat gemar sejarah dan tak melupakan bagaimana perjuangan para pahlawan. Apalagi tahun ini sudah ditetapkan sebagai hari nasional,” kata Eko.
Penetapan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Surat keputusan tersebut ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 24 Februari 2022.
Dalam surat itu disebutkan, Serangan Umum 1 Maret 1949 digagas oleh Sultan Hamengku Buwono IX dan diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman. Penggeraknya ialah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dengan dukungan TNI, Polri, laskar perjuangan rakyat, dan komponen bangsa lainnya. Penyerangan bertujuan untuk menegakkan kembali eksistensi dan kedaulatan Indonesia di mata internasional.
Seluruh rakyat
Dihubungi terpisah, Djoko Suryo, sejarawan asal Yogyakarta, menyampaikan, tahun-tahun pertama kemerdekaan RI, Belanda terus mencoba mengganggu kedaulatan Indonesia meski proklamasi kemerdekaan sudah dilakukan sejak 17 Agustus 1945. Untuk itu, Serangan Umum 1 Maret tersebut menjadi penanda penting untuk menunjukkan ke publik dunia bahwa negara ini berdaulat.
“Itu peristiwa sangat penting untuk pengakuan dunia terhadap keberadaan Republik Indonesia agar akhirnya negara-negara berunding dan memaksa Belanda melakukan gencatan senjata,” kata Djoko.
Lihat juga : Pameran Seni Rupa Berdasarkan Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949
Djoko menyatakan, serangan tersebut melibatkan seluruh rakyat dengan porsinya masing-masing. Mulai dari tentara, pemuda, pelajar, hingga para ibu. Pelajar meninggalkan sementara bukunya untuk ikut berjuang. Para ibu ikut berperang dengan menyediakan logistik yang menjadi tenaga utama penyerangan para pejuang.
“Di sini, peran Sultan Hamengku Buwono IX cukup besar. Saat itu, ia menjabat sebagai Menteri Koordinator Keamanan. Jadi ikut bertanggung jawab membincangkan dengan pejabat militer. Di sisi lain, beliau juga pemimpin kultural jadi membuat banyak warga terlibat,” tutur Djoko.
Peran segenap rakyat dalam perjuangan kedaulatan tersebut ditampilkan pada pameran seni rupa bertajuk “Daulat dan Ikhtiar”. Pameran itu melibatkan lima seniman muda dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Terdapat 11 judul karya yang dipamerkan pada ajang tersebut.
Mikke Susanto, kurator pameran, menyampaikan, inspirasi pameran tersebut ialah sosok yang terdapat pada Monumen Serangan Umum 1 Maret, di Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Di monumen tersebut, ada lima patung yang terdiri dari petani, kaum perempuan, pelajar, pemuda, dan tentara. Kelimanya mengambil peran masing-masing dalam penyerangan tersebut.
“Kemudian para seniman melakukan riset dan sampailah ke ruang pamer ini menjadi karya seni. Para seniman melihat peristiwa ini dalam konteks sejarah perjuangan. Ini merupakan bagian penting dari upaya kita untuk menjaga kedaulatan terus penting dalam kebangsaan kita,” kata Mikke.
Salah satu instalasi berjudul “Jaga Nyala Jiwa”, buatan kolektif oleh sekelompok seniman yang menamakan diri mereka Tempa, menampilkan susunan tungku tembikar. Tungku tersebut menyerupai wajah perempuan yang membuka mulutnya. Di tengahnya, terdapat kayu bakar dan ditancapi tiga bendera. Karya itu berdiri di tengah-tengah ruang pamer laiknya monumen. Ini menunjukkan pentingnya peran perempuan dalam pertempuran. Seperti halnya, tungku yang jadi menjadi benda krusial untuk menyuplai logistik para pejuang.
Itu peristiwa sangat penting untuk pengakuan dunia terhadap keberadaan Republik Indonesia agar akhirnya negara-negara berunding dan memaksa Belanda melakukan gencatan senjata.
Lorong waktu
Ada juga pameran yang menyuguhkan pengalaman “augmented reality”. Hal itu terdapat pada karya berjudul “Autentik Domestik”, yang juga diciptakan kolektif Tempa. Karyanya berupa gambar-gambar berbagai sosok seperti perempuan, tentara, gunung, hingga hasil bumi. Karya tersebut bisa dimainkan lewat kamera ponsel. Ini menjadi interpretasi kelompok muda terhadap peristiwa masa lalu. Unsur kekinian dibawa dengan teknologi yang dimanfaatkan pada ruang pamer.
“Pertemuan ini menjadi lorong waktu. Peristiwa sejarah masa lalu bisa dilihat sebagai peristiwa hari ini. Sejarah menjadi aktual karena pameran. Lewat pameran ini, ingatan publik coba dibangkitkan kembali,” kata Mikke.
Lihat juga : Aksi Drama Teatrikal Serangan Umum 1 Maret Merayakan Pencanangan Hari Penegakan Kedaulatan Negara
Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X mengungkapkan, penetapan “Serangan Umum 1 Maret 1949” sebagai hari Penegakan Kedaulatan Nasional menjadi hal penting. Pasalnya, momentum tersebut menandakan keteguhan kedaulatan Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan. Sebab, Belanda tak mau mengakui Indonesia yang sudah merdeka dan mengusik kedaulatan lewat agresi yang dilakukan.
“Ini mengingatkan bahwa komitmen kita adalah 17 Agustus 1945 dengan bendera merah putihnya dan Pancasila. Kita jangan mudah diombang ambingkan dengan kepentingan-kepentingan lain. Jangan mengingkari kesepakatan di awal,” kata Sultan.
Lewat Serangan Umum 1 Maret, para pemimpin awal republik ini telah mencontohkan bagaimana persatuan bangsa berada di atas kepentingan golongan. Lebih dari tujuh dasawarsa berlalu, api nasionalisme harus selalu dikobarkan, terlebih di tengah ancaman paham-paham intoleransi dan berpotensi mengikis kesatuan.