Di Sumatera Barat terdapat tujuh segmen Patahan Sumatera. Mitigasi berupa pembentukan kelompok warga siaga bencana dan penguatan standar bangunan tahan gempa menjadi keharusan.
Oleh
PANDU WIYOGA, YOLA SASTRA
·3 menit baca
Tas punggung siswa masih tergantung di kursi, buku tulis terbuka, dan pensil tergeletak di atas meja. Semua membeku dibalut debu dan puing bangunan Madrasah Islam Swasta (MIS) Al-Wahid, Nagari Kajai, Kecamatan Talamau, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat.
Rivaldo (11) dan 182 siswa lain di madrasah setingkat sekolah dasar itu berada di dalam kelas ketika gempa pertama bermagnitudo (M) 5,2 mengguncang Pasaman Barat dan sekitarnya pada 25 Februari 2022. Semua siswa dan guru menghambur ke halaman untuk menyelamatkan diri.
”Habis gempa berhenti, Rifka masuk lagi ke kelas. Kayaknya waktu itu dia mau ambil tas,” kata Rivaldo, Senin (28/2/2022).
Saat itulah gempa kedua M 6,1 datang dan menghancurkan sebagian besar bangunan MIS Al-Wahid. Rifka, yang duduk di kelas III, mengalami luka di kepala bagian belakang.
Yang belum tinggal Segmen Suliti di Solok Selatan. Gempa terakhir di lokasi itu terjadi pada 1943. Apabila siklus gempa berkisar 40-100 tahun, ancaman gempa di Solok Selatan itu sudah di depan mata
Salah satu warga Jorong Pasa Lamo, Nagari Kajai, Gusti (45), mengatakan, Rifka dalam kondisi kritis. Kini, ia dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) M Jamil, Kota Padang, yang berjarak sekitar 240 kilometer dari rumahnya.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, hingga Senin sore, korban meninggal akibat gempa ada 11 orang. Selain itu, sebanyak 42 warga mengalami luka berat dan 346 orang mengalami luka ringan.
Dua kabupaten terdampak gempa adalah Pasaman Barat dan Pasaman. Gempa mengakibatkan lebih kurang 1.400 bangunan rusak.
Ahli geologi, Ade Edward, mengatakan, alam bermurah hati kepada warga di Pasaman Barat dan sekitarnya. Gempa M 6,1 yang menghancurkan sebagian besar rumah warga datang empat menit setelah gempa pertama M 5,2.
”Warga diperingatkan gempa pertama sehingga bisa menyelamatkan diri sebelum datang gempa kedua yang lebih kuat. Kalau tidak ada gempa pertama, mungkin jumlah korban akan jauh lebih banyak,” ujar Ade yang pernah menjabat Kepala BPBD Sumbar.
Ade menilai, Pemerintah Sumbar sudah memiliki mitigasi yang terbilang memadai terhadap ancaman gempa dan tsunami dari megathrust Mentawai. Sayangnya, pemerintah provinsi itu masih abai terhadap ancaman gempa darat dari Patahan Sumatera.
Patahan Sumatera dibagi menjadi 19 segmen utama mulai dari Aceh sampai Lampung. Di Sumbar terdapat tujuh segmen Patahan Sumatera. Empat segmen di antaranya adalah Segmen Angkola di Pasaman, Sianok di Bukittinggi, Sumani di Solok, dan Suliti di Solok Selatan.
Patahan-patahan itu berpotensi menjadi sumber gempa daratan mulai M 6,8 hingga M 7,8. Menurut Ade, empat segmen dari Patahan Sumatera di Sumbar itu memiliki siklus gempa kuat 40-100 tahun sekali.
Segmen Sianok dan Sumani sudah melepas gempa M 6,4 pada 2007 dan M 7 pada 2009. Adapun Segmen Angkola mengakibatkan gempa M 6,1 di Pasaman Barat dan sekitarnya pada 25 Februari lalu.
”Yang belum tinggal Segmen Suliti di Solok Selatan. Gempa terakhir di lokasi itu terjadi pada 1943. Apabila siklus gempa antara 40-100 tahun, maka ancaman gempa di Solok Selatan itu sudah di depan mata," ucap Ade yang pernah menjabat Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumbar.
Ia menilai, pemerintah kabupaten/kota yang dilalui segmen-segmen Patahan Sumatera seharusnya memperkuat mitigasi bencana. Pembentukan kelompok warga siaga bencana dan penguatan standar bangunan tahan gempa menjadi keharusan.