Pemerintah pusat dan daerah perlu terus membuka ruang diskusi agar kebijakan penanganan krisis berskala nasional bisa lebih efektif. Sinkronisasi kebijakan, peran, dan data dari daerah hingga pusat jadi keniscayaan.
Oleh
RADEN GREGORIUS MAGNUS FINESSO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sinkronisasi peran pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci penanganan krisis berskala nasional, termasuk pandemi Covid-19. Selain itu, berkaca dari kegagapan di awal masa pandemi, perlu penguatan lembaga penanganan krisis dan penyakit menular secara terpusat untuk memudahkan pengendalian wabah.
Diskusi Terbatas ”Afternoon Coffee” Kompas Collaboration Forum City Leaders Community#APEKSInergi kerja sama harian Kompas dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi), secara daring, Jumat (25/2/2022), menguak persoalan itu. Webinar dihadiri Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa, Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri Safrizal, dan Ketua Apeksi Bima Arya Sugiarto. Hadir pula sejumlah kepala daerah tingkat kota dari seluruh Indonesia.
Suharso Monoarfa mengatakan, pandemi Covid-19 dua tahun terakhir mengajarkan bangsa Indonesia tentang lemahnya sistem kesehatan nasional. Kondisi itu mesti dihadapi dengan bersinergi. Apalagi, ia menilai, masih ada sekat ego sektoral di lingkup institusi pemerintah daerah sehingga menyulitkan intervensi kebijakan dari pusat.
”Akhirnya, dilibatkanlah lembaga-lembaga di luar ranah kesehatan, seperti TNI, Polri, dan BNPB, agar beban kerja terdistribusi dan kebijakan ke daerah lebih cepat,” ungkapnya.
Meski demikian, menurut Safrizal, situasi ini juga dialami negara-negara lain yang sejak dilanda pandemi masih terus belajar menangani krisis kesehatan berskala besar. Hal itu yang membuat kebijakan penanganan terus dimodifikasi mulai dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga kini berupa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berjenjang yang dievaluasi berkala.
Terlebih, dengan sistem desentralisasi, lanjut Safrizal, pemerintah daerah punya peran besar karena paling memahami kondisi masyarakat di wilayah masing-masing. Kepala daerah pun terus berinovasi melahirkan kebijakan yang menjaga keseimbangan penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi. Hanya, tetap dibutuhkan sinkronisasi kebijakan dengan pemerintah provinsi dan pusat agar setiap kebijakan bisa lebih efektif.
Ruang diskusi antara pemerintah pusat dan daerah harus makin diperbanyak. Selain memecah kebuntuan komunikasi, hal ini diharapkan mampu menyinergikan program pusat dan daerah. Hal ini tak berlaku khusus dalam penanganan pandemi, tetapi juga pembangunan daerah. (Bima Arya)
Untuk itu, Bima Arya yang juga Wali Kota Bogor menyarankan ruang diskusi antara pemerintah pusat dan daerah makin diperbanyak. Selain memecah kebuntuan komunikasi, hal ini diharapkan mampu menyinergikan program pusat dan daerah. Hal ini tak berlaku khusus dalam penanganan pandemi, tetapi juga pembangunan daerah.
”Di satu sisi, daerah lebih tersosialisasikan kebijakan dan arahan dari pusat, sedangkan di sisi lain pemerintah pusat juga bisa menyerap aspirasi dari teman-teman kepala daerah,” jelas Bima.
Dalam sesi diskusi, Wali Kota Tarakan, Kalimantan Utara, H Khairul menuturkan, selama pandemi, pihaknya kerap kewalahan berbagi peran dengan pemerintah provinsi ataupun pusat. Ada sejumlah kebijakan yang dipegang pemerintah provinsi ataupun pusat, tetapi berdampak pada situasi pandemi di daerah. Salah satunya pembukaan akses-akses masuk wilayah melalui bandara.
Selain itu, pemerintah daerah juga kewalahan karena harus terus melakukan penataan atau refocusing anggaran. Hal ini berdampak pada mandeknya sejumlah rencana pembangunan di daerah. Dampaknya, pemulihan ekonomi bakal lebih lambat.
Khairul juga menyarankan pentingnya penguatan penanganan penyakit menular melalui sebuah lembaga khusus yang terpusat. Lembaga ini di sejumlah negara lain dikenal sebagai Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Menurut Khairul, lembaga krisis semacam ini vital saat penularan wabah berskala nasional. Perlu lembaga terpusat yang kebijakannya bisa menjangkau setiap daerah. Pengendaliannya pun lebih mudah karena dipegang langsung pemerintah pusat, termasuk di sisi penganggaran.
Integrasi data
Kondisi lain yang mempersulit penanganan pandemi adalah lemahnya integrasi data mulai dari tingkat RT, RW, kelurahan/desa, kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat. Kerap ditemukan perbedaan data setiap lembaga, seperti jumlah pasien, keterisian tempat tidur, dan jangkauan vaksinasi.
Hal ini salah satunya diungkapkan Wali Kota Tangerang Arief Wismansyah. ”Data pemerintah pusat dan daerah soal jumlah warga yang divaksin saja sudah berbeda. Ini jadi masalah di lapangan,” ujarnya.
Dia mencontohkan, data peserta program vaksinasi yang diselenggarakan sejumlah lembaga seperti TNI dan Polri kerap tak tercatat di dinas kesehatan setempat. Kondisi ini menyulitkan pemerintah daerah saat membuat target sasaran vaksinasi.
Safrizal, yang juga wakil ketua Satgas Nasional Penanganan Covid-19, mengakui, integrasi data masih menjadi salah satu kendala utama penanganan pandemi. Hingga kini, masih ada selisih 2-3 persen antara data Covid-19 yang diunggah ke sistem dan yang diumumkan ke publik. Namun, ketidaksinkronan data ini sudah jauh menurun dibandingkan saat awal pandemi yang berkisar 10-11 persen.
Suharso Monoarfa pun mengakui, persoalan data terus ditemukan, termasuk dalam rangka pemulihan ekonomi lewat bantuan sosial. Untuk itu, ke depan, pemerintah pusat akan terus berupaya menyederhanakan pendataan warga. Salah satu langkahnya melalui data tunggal social registry.
Sementara itu, Bima Arya juga mengingatkan dampak lain pandemi, yakni soal kesehatan mental masyarakat. Ia mengamati kecenderungan warga, terutama di perkotaan, yang mudah stres akibat dampak pandemi yang berujung maraknya pemutusan hubungan kerja hingga bangkrutnya usaha. Dia mendorong layanan-layanan khusus penanganan kesehatan mental di perkotaan untuk mencegah dampak sosial yang lebih besar.
Fenomena masyarakat urban ini dibenarkan Wali Kota Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung, Maulan Aklil yang mengatakan, banyak warga saat ini mulai dilanda ketidakpercayaan dan keputusasaan akibat pandemi yang tidak kunjung usai. Maraknya ujaran ketidakpercayaan pada program pemerintah juga bisa jadi makin meluas akibat kondisi mental warga yang makin jengah. ”Ini aspek sosial yang mesti diperhatikan karena jika dibiarkan, bisa berdampak pada ketidakpercayaan warga kepada pemerintah,” ungkapnya.
Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra yang memandu diskusi menyampaikan, sinergi antara pemerintah pusat dan daerah perlu terus ditingkatkan. Untuk menjembatani hal itu, media menyediakan ruang komunikasi supaya kebijakan-kebijakan tersebut lebih mudah tersosialisasikan ke masyarakat luas.