Jurus Inovasi Menepis Bayang-bayang Darurat Sampah
Inovasi jadi ikhtiar sejumlah warga dan pemerintah di DI Yogyakarta untuk mengelola sampah. Selain lewat manajemen bisnis sampah, teknologi dihadirkan untuk menyiasati produksi sampah dari hulu hingga hilir.
Inovasi menjadi jurus pamungkas masyarakat hingga pemerintah di Daerah Istimewa Yogyakarta menepis ancaman darurat sampah. Kala tempat pembuangan akhir di Piyungan, Bantul, sudah melebihi kapasitas, jangan sampai sudut-sudut jalanan kota penuh gunungan sampah.
Ngatini (52) mendatangi kantor Kelompok Usaha Pengelolaan Sampah (KUPAS) Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Bantul, Kamis (17/2/2022) siang, sembari menenteng botol-botol berisi minyak jelantah. Minyak goreng bekas pakai itu sengaja dikumpulkan untuk dijual. ”Ini minyak jelantah dari rumah. Sengaja saya kumpulkan,” ucap warga Pedukuhan Sawit, Desa Panggungharjo.
Minyak jelantah yang dibawa Ngatini disetorkan ke KUPAS untuk dibeli. Dari hasil penjualan 8,5 liter jelantah, Ngatini menerima Rp 25.500. ”Saya sudah beberapa kali jual minyak jelantah di sini. Lumayan dapat uang, daripada dibuang,” katanya.
Pembelian minyak jelantah merupakan salah satu inovasi usaha KUPAS. Setelah terkumpul banyak, minyak jelantah akan dijual ke pengepul untuk diekspor sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. ”Minyak jelantah diekspor untuk diolah menjadi bahan bakar pengganti solar,” kata Direktur Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Panggung Lestari Ahmad Arief Rohman.
Baca Juga: BEM UGM Kritik Pengelolaan Sampah di DIY dengan Lagu Hiphop
BUMDes Panggung Lestari merupakan BUMDes yang didirikan Pemerintah Desa Panggungharjo. Salah satu unit usaha BUMDes tersebut adalah KUPAS yang terbentuk sejak 2013. Arief menjelaskan, pembentukan KUPAS berawal dari adanya tempat penampungan sampah sementara yang tak terurus di Desa Panggungharjo.
”Dulu ada tempat penampungan sampah sementara, tetapi tidak dikelola. Suatu saat, pemerintah desa membersihkan sampah di tempat itu, tetapi dua minggu kemudian sudah penuh sampah lagi. Lalu dibuatlah kelompok usaha pengelolaan sampah atau KUPAS,” ujar Arief.
Baca Juga: Atasi Masalah di TPST Piyungan, Pemprov DIY Cari Investor untuk Olah Sampah
KUPAS melayani pengambilan sampah sekitar 1.500 pelanggan. Sebagian besar rumah tangga, tetapi ada juga badan usaha dan lembaga. Mereka membayar retribusi ke KUPAS sebagai imbal jasa pengambilan sampah.
Tak langsung dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA), KUPAS berinovasi dengan memilah dan mengolah terlebih dulu di tempat penampungan sampah milik mereka. Setelah dibawa ke tempat penampungan, sampah dimasukkan ke mesin konveyor untuk dipilah. Sampah bernilai jual akan disendirikan. ”Ada empat jenis sampah yang diambil, yakni plastik, logam, kertas, dan kaca. Sampah itu lalu dijual ke pengepul untuk dijual lagi ke industri daur ulang,” kata Arief.
Mesin kucapil
Setelah pemilahan, masih ada sisa sampah organik dan plastik. Sisa sampah plastik itu antara lain kantong plastik. Sampah organik dan kantong plastik lalu dimasukkan ke mesin kucapil, atau kupas, cacah, dan pilah.
”Mesin kucapil itu bisa memisahkan sampah organik dengan anorganik sekaligus mencacah sampah organiknya,” ucap Arief. Mesin akan menghasilkan dua bentuk keluaran, yakni bubur sampah organik serta sampah kantong plastik.
Bubur sampah organik itu akan dikirim ke pihak lain yang melakukan budidaya magot. Magot sendiri adalah larva lalat black soldier fly (BSF) yang bisa digunakan untuk alternatif pakan ikan. Dalam budidaya magot, bubur sampah organik bisa dipakai sebagai pakan. Sementara sampah plastik dijual ke sebuah perusahaan untuk diolah.
Dengan upaya pengolahan itu, KUPAS berhasil mengurangi volume sampah ke TPA. Dari total 4,5 ton sampah per hari, hanya 46 persen dibuang ke TPA. Dari usaha ini, KUPAS juga memperoleh pendapatan sekitar Rp 60 juta sebulan. Sekitar Rp 46 juta dari retribusi, sedangkan sisanya hasil menjual sampah.
Inovasi pengelolaan sampah juga dirintis Bambang Suwerda (51) dengan mendirikan bank sampah di Dusun Badegan, Desa Bantul, Kabupaten Bantul. Bank sampah itu diberi nama Gemah Ripah dan berdiri sejak 2008. Berdasar sejumlah referensi, Gemah Ripah kerap disebut sebagai bank sampah pertama di Indonesia.
Awalnya, Gemah Ripah hanya melayani warga RT 012 Dusun Badegan. Namun, kini meluas hingga luar Bantul. Gemah Ripah menggunakan sistem seperti bank pada umumnya. Warga yang menyetor sampah disebut nasabah dan dibuatkan buku rekening.
Bank Sampah Gemah Ripah juga bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bantul untuk mengelola sampah dedaunan dari jalanan. Sampah diolah menjadi kompos lalu dijual sebagai pupuk, yang sebagian dibeli langsung DLH Bantul.
Hingga Januari 2022, Gemah Ripah memiliki 1.794 nasabah dengan pengelolaan sampah anorganik sekitar 1 ton per bulan. Bambang menyebut, Gemah Ripah membuka pelayanan Senin hingga Sabtu dari pukul 09.00-16.00. Mereka juga menyiapkan petugas teller.
”Kami punya lima karyawan penuh waktu, tetapi kadang ada juga karyawan paruh waktu. Semuanya digaji dari pendapatan bank sampah,” kata Bambang, yang juga dosen Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta.
Gemah Ripah juga menjalin kerja sama dengan sebuah perusahaan produsen makanan hewan. Perusahaan itu menyuplai plastik bekas kemasan makanan kucing dan anjing untuk dibuat tas oleh para perajin yang dihimpun Bank Sampah Gemah Ripah. Produk tas lalu dibeli perusahaan tersebut.
Bank Sampah Gemah Ripah juga bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bantul untuk mengelola sampah dedaunan dari jalanan. Sampah diolah menjadi kompos lalu dijual sebagai pupuk, yang sebagian dibeli langsung DLH Bantul.
Baca Juga: Yogyakarta dalam Bayang-bayang Darurat Sampah
Teknologi
Sejumlah usaha swadaya warga itu menjadi ikhtiar bersama mengurangi volume sampah di DI Yogyakarta. Terlebih, beberapa tahun terakhir, daerah itu terancam darurat sampah seiring kondisi Tempat Penampungan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan yang melebihi kapasitas daya tampung. TPST Piyungan sejak 1996 menjadi pusat pembuangan sampah tiga daerah di DIY, yakni Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Sleman.
Setiap hari, sekitar 600 ton sampah dibuang ke Piyungan. Kalkulasi awal, TPST Piyungan hanya mampu bertahan hingga 2020. Belakangan, warga sekitar TPST Piyungan juga kerap memblokade pengiriman sampah karena kondisinya sudah mengganggu, bahkan dinilai mengancam permukiman. Longsor sampah di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, tahun 2005 yang merenggut sekitar 150 korban jiwa jadi salah satu kekhawatiran.
Menyikapi itu, pemerintah setempat tak berpangku tangan. Selain menyiapkan area baru untuk pembuangan sampah, Pemda DIY telah berencana menerapkan intervensi teknologi menyiasati keterbatasan tempat pembuangan seluas 12,5 hektar itu.
Beberapa alternatif teknologi muncul, salah satunya menutupi sampah dengan membran tertentu untuk menangkap gas metana. Zat ringan itu nantinya akan dimanfaatkan sebagai energi alternatif, baik pengganti gas elpiji ataupun pembangkit listrik. Namun, cara tersebut dinilai memiliki kekurangan. Sebab, masih menyisakan sampah seusai gas metana diambil. Adapun listrik yang dijual ke PLN juga mesti dipertimbangkan nilai keekonomiannya.
Teknologi terakhir yang dipertimbangkan adalah refused derived fuel (RDF). Teknologi ini mampu mengubah sampah baru dan lama tanpa sisa menjadi briket, seperti batubara. Hasilnya bisa menjadi energi pengganti bahan bakar fosil untuk pembakaran.
Meski demikian, Sekretaris Daerah DI Yogyakarta Kadarmanta Baskara Aji menyatakan, pihaknya belum menetapkan teknologi apa yang akan dipilih. Yang pasti, pengadaan teknologi akan dilakukan melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) karena butuh biaya besar. Melalui skema itu, Pemda DIY mencari teknologi pengolahan sampah yang bisa mengurangi minimal 80 persen volume sampah ke TPST Piyungan.
Pada 30 November 2020 telah digelar penjajakan minat pasar sebagai bagian pelaksanaan skema KPBU untuk TPST Piyungan. Namun, hingga Januari 2022, Pemda DIY masih menunggu penawaran investor. Kadarmanta menyebut, dalam kondisi pandemi Covid-19 tak mudah mencari investor yang mau mengucurkan dana untuk proyek tersebut.
Menurut Kadarmanta, proses KPBU TPST Piyungan ditargetkan selesai pada 2023. Setelah itu, teknologi pengolahan sampah diharapkan bisa segera dibangun dan beroperasi. ”KPBU harus selesai akhir 2023. Kalau enggak, sampah kita mau ditaruh di mana?” ujarnya.
Baca Juga: Warga Sekitar TPST Piyungan Minta Kompensasi dan Perbaikan Infrastruktur
Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Pramono Hadi mengatakan, teknologi pengolahan vital menyelesaikan persoalan sampah di DIY. Dia juga mengusulkan penerapan sistem sampah berbayar. Warga diharuskan membayar biaya sesuai sampah yang dibuang. Makin banyak sampah, makin besar pula biayanya. Diharapkan, warga terdorong memilah dan mengolah sampah sejak rumah.
Manajemen pengelolaan sampah mesti dilakukan sinergis, mulai dari warga hingga pemerintah. Jika pemerintah bertanggung jawab menyelesaikan persoalan di hilir, warga juga mesti berperan mengurangi sampah di hulu. Kala bumi semakin tua, gaya hidup prolingkungan tak bisa lagi ditunda.