Di tengah masalah pengelolaan sampah di DI Yogyakarta, muncul sejumlah gerakan yang mendorong masyarakat lebih bijak mengelola sampah. Semangat gerakan itu untuk memberi kesempatan kedua bagi sampah agar bernilai guna.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
Kesadaran mengelola sampah dari rumah terus dikampanyekan menjadi gaya hidup warga urban, termasuk di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Selain bernilai rupiah, setiap orang diajak memberi kesempatan kedua bagi sampah karena mungkin masih bermanfaat.
Lisa (48) memboncengkan putranya membawa sejumlah kantong plastik berisi aneka sampah anorganik dengan sepeda motor dari rumah mereka di Kecamatan Banguntapan, Bantul, Rabu (16/2/2022). Isi kantong mulai dari bekas minuman saset, baju bekas, hingga tas usang. Sampah pilahan itu dibawa ke markas Daur Resik di kawasan Timoho, Kota Yogyakarta, untuk dijual.
”Ini pertama kali saya setor sampah ke Daur Resik. Sebelumnya tahu Daur Resik dari Instagram,” kata Lisa. Daur Resik adalah komunitas yang mengampanyekan pemilahan sampah kepada warga di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Lisa mengaku cukup lama punya kebiasaan memilah sampah di rumah. Sebagian biasa dijual ke tukang rongsok keliling. Namun, dia beralih ke Daur Resik karena tukang rongsok keliling hanya mau membeli sampah anorganik jenis tertentu.
Dengan menyetor sampah ke Daur Resik, Lisa berharap lebih banyak sampah bisa didaur ulang sehingga tidak harus dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Untuk itu, dia tak keberatan meski uang hasil penjualan sampah di Daur Resik tidak banyak. ”Saya inginnya sampah-sampah itu enggak dibuang begitu saja,” katanya.
Salah seorang pendiri Daur Resik, Maria Sucianingsih, menuturkan, aktivitas Daur Resik dimulai 2017. Salah satu fokusnya mengedukasi masyarakat agar mau memilah sampah agar volume yang dibuang ke TPA bisa dikurangi.
Hal ini karena banyak jenis sampah sebenarnya bisa didaur ulang atau dimanfaatkan sehingga tidak perlu dibuang ke TPA. Dengan memilah sampah, warga juga bisa dapat penghasilan tambahan. ”Kami berharap memilah sampah itu bisa jadi gaya hidup,” tutur Maria.
Salah satu aktivitas Daur Resik adalah layanan pembelian sampah anorganik, di antaranya plastik, kertas, logam, kaca, barang elektronik, dan pakaian. Pembelian dijalankan dengan sistem drop point atau titik pengambilan.
Dengan sistem itu, pegiat Daur Resik cukup datang ke satu lokasi pada waktu tertentu, lalu warga yang ingin menyetor sampah bisa datang ke lokasi tersebut. Jadwal dan lokasi titik pengambilan diinformasikan melalui Instagram Daur Resik beberapa hari sebelumnya.
Selain membeli sampah anorganik dari warga, Daur Resik juga menjalin kerja sama dengan sejumlah bank sampah, bahkan perusahaan. Sampah-sampah yang dibeli lalu dijual ke sejumlah pihak untuk didaur ulang. ”Kami ingin memberi kesempatan kedua untuk sampah. Kalau sampah kita masih punya kesempatan untuk ’hidup’ dan dipakai orang lain, ya, biarkanlah,” tutur Maria.
Kami ingin memberi kesempatan kedua untuk sampah. Kalau sampah kita masih punya kesempatan untuk ’hidup’ dan dipakai orang lain, ya, biarkanlah.
Daur Resik juga berupaya mengampanyekan bahwa kegiatan memilah sampah itu menyenangkan dan keren sehingga layak dipamerkan di media sosial. Itulah kenapa gerakan ini banyak menyasar anak muda yang aktif di media sosial. ”Ini hal menyenangkan, bukan menjijikkan. Jadi, ada rasa kebanggaan ketika memilah sampah dan bisa dapat like (notifikasi disukai) di Instagram,” kata Maria.
Sepanjang 2021, lanjut Maria, Daur Resik berhasil mengelola sebanyak 46.614 kilogram sampah. Adapun warga yang menyetor sampah sekitar 1.400 orang dan 80 persen di antaranya perempuan. Selain DIY, Daur Resik memperluas kegiatan pembelian sampah anorganik ke Kota Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Lewat aplikasi
Upaya mengajak warga memilah sampah juga dilakukan PT Wahana Anugerah Energi melalui usaha rintisan dengan aplikasi bernama Rapel atau Rakyat Peduli Lingkungan. Rapel adalah aplikasi ponsel untuk menjual sampah anorganik yang telah dipilah.
Head Area Rapel Yogyakarta Yudho Indardjo menjelaskan, aplikasi Rapel diluncurkan pada April 2019 di Yogyakarta. Melalui aplikasi itu, warga bisa menjual sampah anorganik dengan mudah. Setelah mengunduh Rapel di ponsel, warga tinggal memasukkan jenis sampah dan beratnya ke dalam aplikasi tersebut.
Sesudah itu, sampah akan diambil kolektor atau pengumpul sampah yang menjadi mitra Rapel. ”Sampah itu akan dibeli kolektor, bukan diambil cuma-cuma,” ujar Yudho.
Sampah-sampah yang dikumpulkan kolektor kemudian dibeli Rapel dengan harga lebih tinggi sehingga kolektor dapat untung. Sampah-sampah itu dibawa ke gudang Rapel untuk dipilah lagi, lalu dijual ke industri daur ulang. Selain membeli sampah dari warga, Rapel juga mengambil sampah dari perusahaan, sekolah, dan tempat ibadah.
Rapel memiliki puluhan kolektor dan ribuan pengguna di DIY dengan volume sampah yang dikelola sekitar 26 ton dalam sebulan. Selain DIY, Rapel juga beroperasi di sejumlah daerah lain, seperti Banyumas, Surakarta, Semarang, dan Tangerang.
Salah seorang kolektor Rapel, Florentina Ina Rimawati (50), mengaku bergabung karena resah melihat minimnya minat warga kampungnya di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Sleman, untuk mengelola sampah dengan baik. Sebelum jadi kolektor, Ina sempat mengajak sejumlah tetangganya mendirikan bank sampah, tetapi gagal karena sedikit yang mendukung.
”Akhirnya saya jadi kolektor di Rapel dan mengajak orang-orang di sini untuk memilah sampah, lalu sampahnya saya beli. Sekarang banyak tetangga yang jual sampah ke saya,” tutur Ina.
Dalam sebulan, Ina bisa menyetorkan ratusan kilogram (kg) sampah anorganik ke Rapel. Pada Kamis (17/2/2022), misalnya, sejumlah karyawan Rapel mengambil puluhan jenis sampah anorganik di rumah Ina, termasuk 69 kg kardus, 60 kg kertas arsip, dan 55 kg dupleks. Namun, Ina tak risau soal keuntungan.
”Saya enggak terlalu mikir (keuntungan) karena tujuan pertamanya untuk membantu masyarakat mengelola sampah,” ujar perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai guru pendidikan anak usia dini itu.
Ketua Jejaring Pengelola Sampah Mandiri DIY Bambang Suwerda menyatakan, aktivitas memilah sampah di DIY harus terus didorong untuk mengurangi sampah yang dibuang ke TPA. Apalagi, beberapa tahun terakhir, DIY berada dalam bayang-bayang darurat sampah karena Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan di Kabupaten Bantul sudah overload atau kelebihan beban.
Padahal, TPST Piyungan menjadi tempat pembuangan sebagian besar sampah di DIY. “Masyarakat harus terus didorong memilah sampah. Jangan sampai semua sampah dibawa ke TPA,” ujar Bambang.
Terlebih, sebagai kota wisata, beban sampah di Yogyakarta kian berat. Tumbuhnya gerakan swadaya kelola sampah rumah tangga setidaknya bisa mengurangi persoalan sampah kota.