Ujian Polisi Mengungkap Korupsi Beasiswa di Aceh
Audit investigasi yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Aceh menemukan adanya kerugian negara hingga Rp 10 miliar dari adanya dugaan tindak pidana korupsi dana beasiswa di Aceh.
Pengusutan kasus dugaan korupsi beasiswa dana aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dimulai pada 2018, tetapi hingga 2022 belum tuntas. Kasus ini menjadi ujian komitmen bagi Kepolisian Daerah Aceh menuntaskan kasus korupsi di Tanah Rencong.
Penyelesaian dugaan korupsi beasiswa ini paling ditunggu publik. Selain karena sumber anggaran dari dana otonomi khusus, kasus itu diduga melibatkan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) periode 2014-2019.
Korupsi dana beasiswa diduga sudah direncanakan sejak penyusunan program. Seperti disampaikan Koordinator Gerakan Anti Korupsi (Gerak) Aceh Askalani, calon penerima dipilih oleh tim yang ditunjuk anggota DPRA sebagai pemilik dana aspirasi.
”Publik tahu bahwa adanya perbuatan korupsi terencana dalam kasus beasiswa murni dilakukan oleh anggota DPRA pemilik dana aspirasi,” kata Askalani, Sabtu (19/2/2022).
Pemilik dana aspirasi menunjuk koordinator atau penghubung yang bertugas mencari calon penerima beasiswa. Saat beasiswa ditransfer ke rekening penerima, penghubung meminta bagian sesuai dengan perjanjian awal.
”Penyelidikan perkara korupsi yang sedang ditangani, jika tidak tuntas, akan menurunkan kepercayaan publik kepada Polda Aceh,” kata Askalani.
Beasiswa tersebut merupakan bagian dari dana aspirasi DPRA. Dana aspirasi adalah sejumlah anggaran yang diberikan kepada setiap anggota Dewan untuk mengusulkan program saat penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA).
Karena tidak boleh mengelola anggaran, para anggota Dewan menitipkan program dana aspirasi kepada dinas atau badan. Meski tidak ada regulasi yang mengatur dana aspirasi, di Aceh dana aspirasi untuk Dewan dianggap hal biasa. Belakangan istilah dana aspirasi diganti dengan dana pokok pikir (pokir).
Dana aspirasi atau pokir menjadi bahan negoisasi antara eksekutif dan legislatif saat membahas rancangan qanun/Perda APBA.
Pada anggaran tahun 2017, beasiswa termasuk salah satu program yang diusulkan anggota DPRA melalui skema dana aspirasi. Program tersebut dititipkan kepada Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Aceh, sementara nama-nama calon penerima beasiswa diusulkan oleh anggota DPRA.
Saat itu, beasiswa diusulkan oleh 24 anggota Dewan untuk 852 penerima. Namun, yang diduga bermasalah yang diusulkan oleh sembilan anggota Dewan atau sekitar 400 penerima.
Proses perekrutan dilakukan tertutup. Penerima beasiswa mahasiswa diploma 3, diploma 4, srata 1, magister, doktor, dan calon dokter spesialis.
Belakangan, penyidik Polda Aceh menemukan banyak calon penerima sebenarnya tidak layak atau tidak memenuhi kriteria.
Dugaan korupsi
Kasus dugaan korupsi itu mulai mencuat ke publik pada 2018. Kala itu, Inspektorat Aceh melakukan audit internal dengan temuan adanya dugaan korupsi.
Berdasarkan hasil audit Inspektorat Aceh ditemukan penyaluran beasiswa tidak sesuai dengan aturan. Dari besaran yang diusulkan Rp 20 juta-Rp 30 juta, yang diterima oleh mahasiswa Rp 2,5 juta-Rp 7 juta.
Temuan tersebut kemudian diserahkan kepada Polda Aceh. Kasus ini ditangani oleh Direktorat Kriminal Khusus.
Tim penyidik Krimsus Polda Aceh memeriksa ratusan saksi secara maraton. Saksi yang diperiksa terdiri dari anggota Dewan pemilik dana aspirasi, mahasiswa penerima beasiswa, dan pegawai Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Aceh.
Modus operandi dimulai dari proses penjaringan calon penerima beasiswa. Jika biasanya program beasiswa dibuka ke publik, saat itu calon penerima langsung dicari oleh tim penghubung yang ditunjuk oleh anggota Dewan. Semua berkas calon diambil oleh tim penghubung untuk diajukan ke BPSDM Aceh.
Sebagian penerima beasiswa, kartu anjungan tunai mandiri (ATM) mereka disimpan oleh tim penghubung. Saat beasiswa sudah cair dapat langsung diambil oleh tim penghubung. Bahkan, ada dugaan dana yang dipotong itu mengalir kepada anggota Dewan sebagai pemilik dana aspirasi.
Indikasi adanya praktik korupsi semakin kuat setelah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh melakukan audit investigasi. BPKP Aceh menemukan kerugian negara sebesar Rp 10 miliar.
Kepala BPKP Aceh Indra Khairan mengatakan, nilai kerugian Rp 10 miliar mencapai 47,50 persen dari total anggaran Rp 21,7 miliar.
”Tujuan program beasiswa ini sangat mulia. Akan tetapi, karena ada dugaan korupsi, program ini tidak tepat sasaran,” kata Indra.
Kepala Bidang Humas Polda Aceh Komisaris Besar Winardy beberapa kali mengatakan kepada media, akan segera dilakukan gelar perkara kasus ini. Namun, hingga kini belum ada titik terang kapan akan ditetapkan tersangka.
Belakangan, Winardy justru mengatakan, sebanyak 400 mahasiswa yang menerima beasiswa berpotensi menjadi tersangka. Mereka dianggap menjadi bagian dari praktik korupsi.
”Mereka dinilai memiliki niat untuk melakukan pidana. Sebab, pada dasarnya mereka tahu kalau syaratnya tidak terpenuhi, tetapi tetap memaksakan diri dengan cara memberikan sejumlah potongan agar bisa memenuhi syarat sebagai penerima beasiswa,” tutur Winardy dalam siaran pers, Kamis (17/2/2022).
Disebut tidak memenuhi syarat karena beasiswa itu tidak melalui proses seleksi oleh tim independen yang dibentuk oleh pemerintah. Biasanya, Pemprov Aceh menyalurkan beasiswa untuk mahasiswa kurang mampu, berprestasi, atau umum dengan seleksi administrasi dan ujian akademik yang ketat.
Winardy menuturkan, sebelum gelar perkara dilakukan pihaknya memberikan kesempatan bagi para mahasiswa untuk mengembalikan uang kepada negara. Polda Aceh membuka posko pengembalian beasiswa.
”Penyidik lebih mengutamakan agar kerugian negara dikembalikan daripada menghukum para mahasiswa yang menerima beasiswa tidak sesuai persyaratan,” kata Winardy.
Sementara para pelaku utama akan ditetapkan sebagai tersangka setelah semua kajian dilakukan. ”Kita komitmen untuk tetap proses kasus ini dan akan menetapkan tersangka dalam waktu dekat apabila alat bukti sudah cukup,” tutur Winardy.
Koordinator Masyarakat Transparansi Anggaran (Mata) Alfian mengatakan, tidak ada alasan bagi penyidik menunda penetapan tersangka korupsi. Audit BPKP Aceh yang menyatakan negara rugi Rp 10 miliar, serta pengakuan para mahasiswa, menjadi bukti kuat adanya dugaan tindak pidana korupsi.
Ia menilai penyidikan kasus ini berjalan lambat karena telah berganti tiga direktur Direktorat Kriminal Khusus dan dua kepala Kepolisian Daerah Aceh. Ia pun berharap kasus ini segera dituntaskan. Selain karena publik menunggu, penyelesaian kasus juga menjadi ujian komitmen Polda Aceh menindak kasus korupsi.