Doa dan ”Doi” Menyatu dalam Kumpul Keluarga di NTT
Kumpul keluarga merupakan bentuk solidaritas paripurna masyarakat. Tradisi ini masih bisa bertahan di tengah merebaknya individualistis.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Tradisi kumpul keluarga untuk pernikahan seperti menegaskan kodrat manusia yang tak bisa hidup tanpa orang lain kendati ia nyaris memiliki segalanya. Dukungan materi dan moril tak bisa dilepaskan bagi mereka yang hendak berumah tangga. Langkah calon pengantin pun semakin ringan dan lapang.
Suatu malam pada awal Februari 2022, Yublina Amfoni (60) mengutarakan rencana pernikahan anaknya, Peter Son Toasu (30). Pria asal Kota Kupang itu telah mengikat hatinya dengan seorang gadis asal Kabupaten Ngada. Kupang di Pulau Timor dan Ngada di Pulau Flores, sama-sama berada di Nusa Tenggara Timur.
Di hadapan anggota keluarga kandung, sepupu, dan kerabat dekat, Yul juga menyampaikan kesiapan mereka, khususnya dari sisi materi. Anggaran untuk upacara adat, pemberkatan di gereja, hingga resepsi, sudah mereka siapkan. Mereka menyanggupinya. ”Jadi bagaimana?” ujar Yul meminta pandangan keluarga.
Sesuai dengan tradisi Timor, Yul seorang ibu, boleh hadir dalam pertemuan semacam itu, tetapi lebih banyak sebagai pendengar. Ia bisa bicara jika diminta. Namun, ia mengambil alih tugas ini setelah suaminya meninggal beberapa tahun lalu. ”Son ini anak pertama, dan ini pengalaman pertama urus anak nikah. Saat ini tinggal saya sendiri,” ujarnya menggugah.
Stefanus Toasu (63), pria bersarung yang duduk di hadapan Yul dan Son belum merespons. Ia terus menguyah sirih pinang sambil menyapu pandangan ke sekeliling, menatap beberapa anggota keluarga yang berusia jauh lebih muda darinya. Namun, mereka hanya terdiam sambil kompak melihat ke arah Stefanus. Sorot mata mereka seperti meminta Stefanus berbicara lebih dulu.
Stefanus lalu berbicara dalam bahasa daerah. Ia mengusulkan agar segera dilakukan acara kumpul keluarga sebelum pernikahan Son yang dijadwalkan pada akhir Februari 2022. ”Meski kita sudah persiapan, kita ini punya keluarga, kerabat, dan tetangga yang tiap hari hidup dengan kita. Kita harus beri tahu mereka,” ujarnya.
Mereka memutuskan melangsungkan acara kumpul keluarga sebelum pernikahan. Setelah berembuk menentukan tanggal acara, undangan segera disebarkan. Pihak yang diundang adalah keluarga dari ayah dan ibu Son, kerabat dekat, tetangga kompleks, dan orang yang pernah mengundang mereka dalam acara serupa.
Sabtu (19/2/2022), di halaman rumah Son berdiri tujuh tenda. Satu per satu tamu yang datang menyalami Son dan keluarga, kemudian menuju meja pendaftaran. Mereka menulis nama, alamat, dan besaran uang yang dibawa. Setelah itu, mereka dipersilakan makan dan minuman, berjoget, berdansa, lalu pulang.
"Buku berisi nama-nama dan doi (uang) yang mereka berikan. Nanti ketika mereka melakukan acara kumpul keluarga, Son akan datang dan membalas. Ada juga yang memang datang membalas setelah dulu Son atau orangtua Son menghadiri undangan kumpul keluarga yang mereka selenggarakan,” ujar Gregorius Takene, keluarga yang ikut mengatur acara itu.
Serasa Utang
Margareta Dina (45), salah seorang undangan mengatakan, almarhum Ferdinan Toasu, ayah Son, pernah datang ke acara kumpul keluarga yang mereka selenggarakan sekitar delapan tahun lalu. Kali ini dia datang untuk membalasnya. ”Nama mereka tertulis di dalam buku kami. Selama kami belum datang, kami merasa punya utang dengan mereka,” ujarnya.
Menurut kebiasaan warga setempat, setiap undangan yang datang membawa paling sedikit Rp 50.000 hingga di atas Rp 2 juta. Untuk satu kali acara masuk minta dengan jumlah undangan hingga 1.000 orang, total uang terkumpul bisa mencapai Rp 100 juta. Sementara pengeluaran dari pihak keluarga untuk acara itu sekitar Rp 30 juta.
Acara kumpul keluarga diibaratkan, seperti arisan. Mereka saling membantu ketika ada yang membutuhkan. Bedanya, ini arisan yang tidak terjadwal. Kumpul keluarga merupakan tradisi masyarakat Kota Kupang dan sejumlah daerah di NTT. Tradisi ini sudah berlangsung beberapa generasi.
Sosiolog dari Universitas Nusa Cendana, Lasarus Jehamat, menjelaskan, secara kultural, kumpul keluarga memberi tanda persatuan dan persaudaraan. Di sana kumpul keluarga menunjukkan kapasitas kultural masyarakat dalam budaya tertentu. Kapasitas budaya berhubungan dengan kekuatan masyarakat dalam menghadapi berbagai soal dan masalah hidup.
Menurut dia, kumpul keluarga masih bisa bertahan di tengah merebaknya individualitas, terutama lantaran pendukung budaya itu masih diikat oleh nilai yang sama. Kekuatan nilai yang sama itu menjadikan kumpul keluarga semakin penting dilestarikan. ”Kumpul keluarga bisa juga dibaca sebagai bentuk solidaritas paripurna masyarakat. Kumpul keluarga menjadi jaminan sosial berbasis masyarakat,” ujarnya.
Ia mengatakan, kelebihan kumpul keluarga terletak pada kemampuannya menyelesaikan persoalan anggota keluarga tertentu dan pemeliharaan nilai persatuan dan kekeluargaan. ”Kekurangannya, kumpul keluarga cenderung melanggengkan ketergantungan sosial. Juga dalam batas tertentu bersifat ’memaksa’ meski keluarga lain masih belum memiliki uang. Utang menjadi pilihan akhirnya,” ujarnya.
Beberapa waktu lalu, Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat mengimbau masyarakat agar acara kumpul keluarga tidak hanya untuk acara pernikahan saja, tetapi juga untuk pendidikan anak. ”Saya kalau diundang untuk kumpul keluarga buat anak sekolah, saya akan datang,” kata Viktor.
Di sejumlah daerah di NTT, acara yang dimaksud Viktor sudah sering dilakukan. Di Manggarai, misalnya, dikenal dengan pesta sekolah. Keluarga yang hendak menyekolahkan anaknya menggelar pesta. Undangan yang datang membawa uang untuk anak tersebut. Banyak anak miskin di kampung terbantu dengan pesta sekolah.
Viktor juga mengkritisi masih banyak warga di NTT yang belum memiliki skala prioritas yang tepat. Mereka tidak terlalu berusaha keras untuk menyekolahkan anak. Mereka selalu beralasan tak punya biaya. Sementara untuk upacara lain, seperti pernikahan, mereka bahkan sampai berutang.
Acara kumpul keluarga yang masih hidup dalam masyarakat adalah kekuatan sosial yang perlu dirawat. Di tengah perilaku individualis yang mewabah dalam arus globalisasi, masih ada komunitas masyarakat yang mempertahankan nilai kebersamaan. Sesuatu yang tidak mudah. Apalagi pada masa pandemi Covid-19 yang mensyaratkan jaga jarak dan menghindari kontak lama.