Membumikan Sains dari Laboratorium Sekolah
Hari praktikum menjadi yang paling ditunggu-tunggu. Di sanalah segala keingintahuan untuk menyingkap dan mencipta dapat terwujud. Sang guru sains dengan telaten membimbing.
Wajah Laboratorium SMPN 11 Batanghari kini semarak oleh beragam hasil riset dan karya praktikum siswa. Setiap hari, diskusi sains mengalir deras. Menjadi napas yang membukakan kesadaran baru yang melebur dalam keseharian.
”Jangan lupa untuk diamati setiap tiga hari sekali. Seperti apa perkembangannya, lalu catat hasil pengamatannya,” pesan Titien Suprihatien (44) kepada siswanya di sela praktikum membuat eko-enzim dan kompos, Senin (14/2/2022).
Hari praktikum menjadi yang paling ditunggu-tunggu. Sebab, di sanalah segala keingintahuan untuk menyingkap dan mencipta dapat terwujud. Sang guru sains merangkap kepala laboratorium, Titien, dengan telaten membimbing siswanya.
Sejak tingkatan dasar sekolah menengah, mereka telah diantar mengenal sains menyatu dalam keseharian. Jadwal praktikum sains di laboratorium atau biasa disebut lab yang hanya dua kali sepekan dimanfaatkan sepadat mungkin. Menjelang praktikum, sang guru menyampaikan latar belakang hingga manfaat dari praktikum nanti. Siswa pun mulai merancang desain percobaan, membuat sketsa modelnya, dan mencatat bahan-bahan yang akan dibawa ke lab. Persiapan yang matang itu berlanjut dengan praktik bersama.
Senin lalu, Titien memandu siswanya membuat eko-enzim dan pupuk kompos. Sisa-sisa bahan makanan dari dapur rumah mereka kumpulkan. Setelah dicacah dan dicampur dengan sedikit bio-aktivator, bahan-bahan itu lalu dimasukkan ke dalam wadah botol. Pada bagian atasnya ditutup lapisan tanah untuk meredam bau selama proses fermentasi berlangsung.
Botol besar berisi sisa makanan itu disambungkan dengan botol yang lebih kecil di bagian bawahnya. Sekitar dua pekan, kata Titien, proses fermentasi akan menghasilkan cairan yang mengalir ke botol bawahnya. ”Hasilnya inilah yang kita sebut kompos cair, sedangkan yang di atasnya kompos padat,” kata Titien.
Selesai membuat kompos, mereka lanjut membuat eko-enzim. Sisa buah-buahan dicampurkan ke dalam air dan irisan gula merah, lalu ditambahkan bioaktivator. Proses fermentasi akan berlangsung hingga tiga bulan. Meskipun lama, lanjut Tititen, siswa perlu rutin mengecek perubahan-perubahan yang terjadi pada proyek eksperimennya. Tiga hari sekali, mereka mengamati dan mencatat. Seperti apa perubahan bentuk, warna, dan aromanya.
Baca Juga: Praktikum Seru Membahagiakan Tanaman dari Lab Sekolah
Reni (13), salah satu praktikan, antusias menjalani kegiatan itu bersama tiga rekan dalam satu kelompok, yakni Izza, Meiza, dan Syifa. Tak jarang mereka mendekati bu guru yang tengah membantu di meja kelompok lain. ”Umi, seperti ini sudah benar, kan?” ujarnya. Sang guru pun dengan sabar mengecek dan memberi sejumlah masukan.
Tak terasa hampir dua jam berlalu. Seluruh kelompok menyelesaikan eksperimennya. Menjelang pulang, mereka sempatkan membuat catatan kecil mengenai hasil kerja hari itu.
Sebelum pulang, Titien menitipkan pesan kepada siswanya untuk membuat eksperimen serupa di rumah masing-masing. Sampah makanan agar tak lagi terbuang, tetapi termanfaatkan untuk tanaman. ”Orang yang baik kalau mampu mengolah limbahnya sendiri dan bisa memberi manfaat untuk bumi,” ajaknya.
Baca Juga: Keringat Guru Ciptakan Beragam Konten Belajar Digital demi Siswa
Praktikum sains, ujar Meiza, siswa Kelas VII, merupakan kegiatan belajar paling mengasikkan. ”Seru karena bisa eksperimen berbagai hal. Yang tadinya tidak tahu, jadi tahu,” katanya.
Meiza ingat sejumlah praktikum seru yang mereka ikuti. Salah satunya mengkristalkan garam yang mencair. Hasil praktikum itu lalu ia uji cobakan di rumah. Ibunya terkejut mengetahui anaknya bisa mengkristalkan garam.
Lain waktu, mereka juga bereksperiman membedah dan mengidentifikasi organ tubuh ikan hingga meneliti sel-sel pada daun dan jamur. Meskipun getol dalam eksperimen, Titien selalu mengingatkan mereka untuk mencatat, mulai dari rancangan, proses, hingga hasil, serta evaluasinya.
Awalnya, ada siswa yang mengeluh dan bertanya mengapa semuanya harus dicatatkan? ”Agar kita dapat mengukur keberhasilan ataupun kekurangan dari eksperimen kita. Kita pun jadi bertanggung jawab menuntaskan rancangan yang telah dibuat,” jawab sang guru.
Pernah satu kali Titien menyisipkan tantangan baru untuk siswanya. Laporan hasil penelitian bedah ikan dibuat dalam bentuk karya sastra. Tantangan itu sempat membuatnya siswanya kebingungan. ”Cobalah dituangkan menjadi cerita pendek alias cerpen,” ujar Titien menunjukkan jalan.
Agar kita dapat mengukur keberhasilan ataupun kekurangan dari eksperimen kita. Kita pun jadi bertanggung jawab menuntaskan rancangan yang telah dibuat.
Belakangan, tantangan itu malah membuat anak-anak jadi makin getol menulis. Sains kini turut melebur dalam sastra. Menambah semarak ruangan lab tak lagi angker, tetapi berwajah ”nyeni”.
Selain cerpen sains, sebagian siswa telah menghasilkan majalah dinding sains, komik sains, jurnal sains, hingga berbagai karya 3D sains.
Baca Juga:
Ketika Sains Hadir dalam Sastra
Bukan kerja instan
Tentu saja suasana semarak sains itu tak begitu saja hadir. Hampir 20 tahun yang lalu, Laboratorium SMPN 11 Batanghari terbengkalai. Puluhan mikroskop dan berbagai alat kerja lab menganggur di balik kardus. Ruangan itu dipenuhi debu dan sawang.
Titien yang memulai kariernya sebagai guru IPA di sekolah itu mulai membenahinya. Setelah ruangan lab dibersihkan, dimulailah kegiatan praktikum. Kegiatan itu rupanya menuai antusiasme siswa. Belakangan ia pun mendapatkan bimbingan pembelajaran kreatif dari Tanoto Foundation. Sejumlah karya sains siswa dipublikasikan lewat e-book, e-jurnal, dan podcast.
Kepala Sekolah SMPN 11 Batanghari Emilarni turut mendukung berkembangnya minat siswa lewat sains. Salah satunya lewat alokasi dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk alat peraga dan perlengkapan lab. Memang, jumlahnya masih terbatas. ”Dari dana itu, Rp 500.000 yang kami alokasikan untuk mendukung alat peraga dan perlengkapan praktikum di lab,” ujarnya.
Ia pun tetap mengingatkan bahwa keterbatasan dana jangan jadi penghalang siswa maju. Sebisa mungkin dapat memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di sekitar. Semisal, wadah pupuk kompos menggunakan botol bekas.
Diperkirakan baru 50 hingga 60 persen lab sekolah di daerah yang optimal dimanfaatkan sebagai ruang pembelajaran.
Pengawas Pendidikan dari Dinas Pendidikan Kabupaten Batanghari, Rusmijah, juga mengapresiasi semaraknya sains di sekolah itu. Tampak berbeda dibandingkan dengan sekolah-sekolah lainnya. Sekolah di daerah pada umumnya masih menerapkan pembelajaran konvensional. Guru menerangkan, lalu siswa mengerjakan tugas. Adapun ruang lab kebanyakan belum optimal menjadi ajang bereksperimen, meriset, dan mencipta.
Pihaknya merekomendasikan pemerintah daerah lebih mendukung pengembangan sains yang melebur dengan berbagai bidang pendidikan lainnya.
Konsultan Pendidikan dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi, Sofnidar, juga menilai banyak sekolah belum mengoptimalkan fungsi labnya, bisa jadi karena guru mata pelajaran malas membawa siswanya ke sana. Apalagi, untuk menjalankan rangkaian praktikum, dibutuhkan usaha lebih keras dan panjang. Tak banyak guru mau repot untuk itu. ”Diperkirakan baru 50 hingga 60 persen lab sekolah di daerah yang optimal dimanfaatkan sebagai ruang pembelajaran,” katanya.
Kehadiran guru-guru yang berhasil menghidupkan lab sekolah diharapkan memberi motivasi untuk guru-guru lainnya. Dengan demikian, semangat sains yang melebur dalam keseharian akan semakin meluas.