Kolaborasi perguruan tinggi, pengusaha, pelajar sekolah, serta pemerintah daerah dibutuhkan untuk melestarikan batik Banjarnegara.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·5 menit baca
Mengenakan sarung tangan karet berwarna hitam, Amirul Muttaqin (16) tampak canggung ketika membentangkan kain mori yang baru saja selesai diberi perintang malam bermotif dedaunan. Pelan-pelan siswa kelas X dari SMA PGRI Purwareja, Klampok, Banjarnegara, ini mencelupkan kain putih ke dalam bak pewarna sambil terus membolak-baliknya. Selanjutnya, Amirul berhati-hati meniriskan kain yang kini telah berwarna kuning kecoklatan itu ke gantungan bambu di atas bak.
”Ini pengalaman pertama membuat batik,” kata Amirul yang bercita-cita menjadi pemain sepak bola profesional saat ditemui di rumah produksi Batik Wardah di Desa Panerusan Wetan, Susukan, Banjarnegara, Jawa Tengah, Minggu (13/2/2022).
Amirul mengaku bingung karena dia tidak punya pengetahuan juga pengalaman bagaimana membuat batik. Meski demikian, dia mengaku senang bisa belajar mengenal dan membuat batik. Apalagi, dirinya suka memakai batik karena motifnya yang bagus.
”Tadi pertama kali pegang canting itu grogi,” ucap Amirul sambil tersenyum.
Amirul bersama sejumlah pelajar lain dari berbagai sekolah, yaitu dari SMA Negeri 1 Purwareja, Klampok; SMK HKTI 2 Purwareja, Klampok; dan SMK Negeri 1 Susukan tengah mengikuti rangkaian pelatihan membatik yang digelar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto. Lewat Program Riset Keilmuan bertema ”Model Pemberdayaan Kewirausahaaan Sosial Perajin Batik Berbasis Kearifan Lokal dan Teknologi Digital bagi Generasi Muda” ini, mereka diajak mengenal dan membuat batik.
Tidak hanya itu, program yang dibuat oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unsoed serta didanai oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Tahun 2022 ini juga nantinya memberi pelatihan bagi pelajar untuk mendesain batik secara digital. Mereka juga diajari cara memasarkannya secara digital.
Cindi Muslihah (17), siswi SMKN 1 Susukan, juga mengaku senang mengikuti pelatihan ini meski ia pernah mendapatkan pelajaran membuat batik di sekolahnya. ”Yang baru di sini diajari membuat motif batik pakai komputer,” kata Cindi yang bercita-cita menjadi penjahit.
Pelatihan batik ini didampingi langsung oleh Budi Triyono (60) sebagai pemilik Batik Wardah. Dengan sabar dan perlahan, Budi memberi penjelasan mengenali langkah-langkah membuat batik, menakar pewarna, memproses pewarnaan di dalam bak warna, hingga melarutkan malam atau proses melorot dengan merebus batik.
”Salah satu kekhasan batik di Banjarnegara yang dibuat di sini adalah adanya motif kuliner khas, seperti dawet ayu serta buah carica Dieng,” tuturnya.
Menurut Budi, salah satu tantangan pelesatarian batik adalah minimnya minat anak muda untuk belajar bahkan menjadi pembatik. ”Kadang-kadang anak muda kurang tertarik dengan ini. Memang kalau sudah kepepet, ternyata saya tidak punya penghasilan, tetapi dengan membatik bisa mendapatkan penghasilan. Kebanyakan pembatik itu, kan, waktu senggang atau membatik di sisa waktu. Pekerjaan rumah selesai, di sawah selesai, daripada menganggur, ya, membatik,” papar Budi.
Budi menyampaikan, upah membatik bervariasi tergantung dari kerumitannya. Dengan sistem borongan, upah membatik ada yang mulai dari Rp 15.000-Rp 20.000 per lembar batik tulis kombinasi dan ada pula yang mencapai Rp 40.000-Rp 100.000 per lembar untuk batik tulis murni. Kini, dengan kapasitas produksi 100-200 lembar batik per bulan, Budi memberdayakan 25 pembatik di desanya yang sebagian besar sudah senior.
”Usianya sudah di atas 50 tahun semua. Butuh regenerasi. Paling sepuh usia 65 tahun,” ujarnya.
Batik Wardah banyak dipesan oleh karyawan dan guru sekolah serta rumah sakit dari wilayah Banyumas. Ada sekitar sembilan sekolah yang memesan kain batik bagi seragam guru dan karyawannya. Pesanan dari wilayah Banjarnegara ada, tetapi tidak sebanyak dari wilayah Banyumas.
Ritem (58), salah satu pembatik di sana, sudah membatik selama 20 tahun. Ibu dua anak dan tiga cucu ini mengisahkan bahwa tersiram malam cair panas atau tersengat api menjadi risiko pembatik. Dia melakoni pekerjaan ini untuk menopang penghasilan suaminya yang sehari-hari bekerja sebagai tukang.
”Jumlah kain yang dibatik tidak menentu, tergantung pesanan. Penghasilannya yang dicukup-cukupkan,” kata Ritem sambil tersenyum.
Ritem berharap kerajinan membatik bisa diteruskan generasi muda. Sayangnya, kedua putranya tidak ada yang tertarik membatik. Jika ada anak-anak muda yang mau belajar membatik, dirinya merasa senang.
”Dari membatik, kita belajar sabar. Kalau ga sabar, ya, tidak bisa,” ujarnya.
Dukungan pemda
Ketua Tim Riset Keilmuan Universitas Jenderal Soedirman Adhi Iman Sulaiman mengatakan, berdasarkan riset yang telah dilakukannya sejak 2018, UMKM batik ini perlu dukungan kebijakan dari pemerintah daerah khususnya dalam hal pemasaran. ”Contohnya, jika pemasaran batik ini didukung kebijakan untuk seragam sekolah, seragam karyawan, ataupun seragam pegawai birokrasi, baik tingkat desa, kecamatan, maupun kabupaten, itu tidak akan kesulitan. Kalau batik untuk sekolah-sekolah dan pegawai pemerintahan, pasti usaha batik akan hidup sekali,” tuturnya.
Adhi menyampaikan, pelatihan batik selama lima hari ini yang juga melibatkan tim dari Unsoed diharapkan bisa membangkitkan produksi batik di Banjarnegara. ”Harapannya 30 orang ini nanti akan menjadi pengelola akun Instagram, Facebook, dan kita bikin website gratis untuk memasarkan batik,” kata Adhi.
Ketika dikonfirmasi bagaimana pemerintah mendukung pelestarian batik, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banjarnegara Agung Yusianto mengatakan, pihaknya sebenarnya telah menganggarkan program pelatihan batik. Namun, pelatihan tertunda akibat pandemi Covid-19.
”Tahun kemarin sudah kami anggarkan untuk pelatihan, tetapi kena Covid-19 jadi di-cancel,” kata Agung yang juga menjabat sebagai Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Banjarnegara.
Lewat inovasi pelatihan yang digelar Universitas Jenderal Soedirman, serta kolaborasi pendampingan langsung dari pembuat batik, diharapkan muncul benih-benih ketertarikan, bahkan kecintaan, dalam diri anak muda untuk melestarikan batik. Seperti halnya dibutuhkan proses yang panjang serta dibutuhkan banyak tangan untuk menyelesaikan sebuah batik, demikian pula jalan panjang upaya pelesatarian batik. Kiranya pemerintah pun bisa kian berkelanjutan mendukung ekosistem batik di Banjarnegara.