Sumbatan Komunikasi Warga dengan Pemerintah Jadi Soal Mendasar di Wadas
Pemerintah diminta memperbaiki pola komunikasi dan pendekatan untuk menyelesaikan konflik di Desa Wadas, Purworejo, Jateng. Hal itu disebut sebagai persoalan mendasar konflik.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Sumbatan komunikasi antara masyarakat dan pemerintah disebut sebagai persoalan dasar yang memicu konflik di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purwokerto, Jawa Tengah. Pemerintah Provinsi Jateng diminta mengevaluasi hal tersebut dan segera menyusun pola-pola komunikasi yang bisa diterima masyarakat.
Hal itu diungkapkan Wakil Ketua Komisi III Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Keamanan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Desmon Junaidi Mahesa di sela-sela kunjungan ke Markas Kepolisian Daerah Jateng, Jumat (11/2/2022). Sebelumnya, Desmon dan rombongan sudah berkunjung ke Wadas, Kamis (10/2) untuk menemui warga dan pihak-pihak terkait.
”Persoalan dasarnya adalah komunikasi yang belum nyambung secara maksimal antara masyarakat dan orang-orang yang ditugaskan melaksanakan proyek tersebut. Ke depan akan dievaluasi dengan pola-pola pendekatan yang semoga bisa diterima, baik oleh masyarakat yang pro maupun kontra pembangunan. Harapannya, semua bisa senang,” ujar Desmon.
Menurut Desmon, Pemerintah Provinsi Jateng juga perlu memastikan kebutuhan lahan yang akan ditambang. Hal itu untuk melihat cukup atau tidaknya penambangan dilakukan di tanah warga yang pro pembangunan saja. Jika memang cukup di tanah warga yang pro pembangunan saja, pemerintah tidak perlu memaksa membeli tanah warga yang tidak setuju.
Desmon menambahkan, dirinya mendapatkan informasi dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bahwa tidak perlu ada izin tambang batu andesit di Wadas karena pengelola tambangnya adalah pemerintah. Kendati demikian, Desmon meminta supaya kajian kelayakan lingkungan dilakukan sesuai persyaratan dan prosedur yang semestinya.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menyatakan, pihaknya akan mengkaji ulang metode pendekatan dan dialog kepada masyarakat. Selain itu, hal-hal teknis terkait pembangunan tambang juga akan dikaji dengan melibatkan para pakar.
”Masukan dari Komisi III DPR RI tadi bagus, terkait apakah kebutuhan (material pembangunan) harus diambil dari sana semua. Seandainya (lahan warga) yang sudah setuju itu dipakai, apakah sudah mencukupi atau belum,” ucap Ganjar.
Pemerintah Provinsi Jateng juga perlu memastikan kebutuhan lahan yang akan ditambang. Hal itu untuk melihat cukup atau tidaknya penambangan dilakukan di tanah warga yang pro pembangunan saja. (Desmon Junaidi Mahesa)
Tambang
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Jateng, hingga 2019, ada 91 izin usaha pertambangan andesit yang tersebar di sejumlah kabupaten. Dari total pertambangan, 12 tambang berada di Purworejo.
Adapun 12 tambang batu andesit di Purworejo tersebut seluas 236 hektar dengan total produksi mencapai 808.935 meter kubik. Kapasitas produksi 91 tambang andesit di Jateng yang memiliki luasan 740.273 hektar sebanyak 1,4 juta meter kubik.
Dihubungi terpisah, Pejabat Pembuat Komitmen Bendungan I Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak M Yushar Yahya Alfarobi menuturkan, kebutuhan andesit untuk pembangunan Bendungan Bener diperkirakan 8,5 juta meter kubik. Adapun potensi andesit di Desa Wadas sekitar 40 juta meter kubik.
”Selain memadai, batuan andesit di Desa Wadas itu spesifikasi bantuannya paling cocok untuk membuat bendungan. Dari segi jarak, tambang ini merupakan yang terdekat dari lokasi calon bendungan,” kata Yushar.
Menurut Yushar, penambangan akan dilakukan selama tiga tahun. Sebelum ditambang, humus di atas tanah tambang tersebut akan dipindahkan. Setelah Bendungan Bener selesai dibangun, pihaknya akan melakukan reklamasi. Humus yang diambil sebelumnya akan dikembalikan agar tanah bekas tambang bisa kembali dimanfaatkan warga.
”Setelah pembangunan bendungan selesai, penambangan itu ditutup. Saya tegaskan, tidak akan ada penambangan selanjutnya di Desa Wadas,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Sebelas Maret Surakarta Suryanto mengatakan perlu waktu panjang untuk pemulihan lahan pascapenambangan. Tak hanya itu, penambangan juga berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan yang memicu bencana tanah longsor dan kekeringan.
”Kalau ketergantungan terhadap alamnya cukup tinggi, masyarakat menjadi semakin rentan miskin. Secara teori, masyarakat bisa diberdayakan melalui kegiatan ekonomi produktif nonpertanian, tapi secara praktik sulit dilakukan karena masyarakat memiliki kemampuan terbatas, tingkat keterampilan terbatas, dan telah memiliki kebiasaan yang sulit untuk diubah,” kata Suryanto.
Dia menambahkan, agar masyarakat tetap produktif di sektor pertanian, pemerintah bisa membeli lahan pertanian di sekitar Desa Wadas, khususnya yang tak terdampak pembangunan. Tanah itu kemudian dipinjamkan kepada masyarakat untuk digarap selama lahan pertaninan yang semula mereka garap ditambang.