Perkara Pelecehan Seksual terhadap Anak di Bireuen Tertahan di Kejaksaan
Proses hukum perkara dugaan pelecehaan seksual terhadap seorang, anak berusia empat tahun Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh, tertahan di kejaksaan setempat. Penyelesaian kasus tersebut menggunakan Qanun Jinayat.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BIREUEN, KOMPAS — Proses hukum perkara dugaan pelecehaan seksual terhadap seorang anak berusia empat tahun di Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh, tertahan di kejaksaan setempat. Penyelesaian kasus tersebut yang menggunakan Qanun/Perda Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat menjadi penghambat.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Aceh Tarmizi Yakub dalam konferensi pers di Banda Aceh, Kamis (10/2/2022), menuturkan, penyidik Kepolisian Resor Bireuen telah menetapkan seorang tersangka atas kasus itu. Yang bersangkutan kini ditahan di polres. Penyidik juga telah melimpahkan perkara tersebut kepada Kejaksaan Negeri Bireuen.
”Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Bireuen tidak mau melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Mahkamah Syar’iyah dengan alasan tidak cukup syarat,” ujar Tarmizi.
Meski Indonesia memiliki UU Perlindungan Anak, khusus di Provinsi Aceh, proses hukum perkara kekerasan seksual terhadap anak menggunakan Qanun Hukum Jinayat. Dengan menggunakan qanun, proses sidang berlangsung di Mahkamah Syar’iyah atau Pengadilan Agama.
Tarmizi mengatakan, ada perbedaan pandangan antara penyidik kepolisian dan jaksa. Penyidik kepolisian menganggap perkara itu memenuhi unsur pidana sehingga penyidik menetapkan satu orang tersangka dan mengajukan berkas kepada kejaksaan. Namun, kata Tarmizi, jaksa menganggap perkara itu tidak memenuhi syarat formil sehingga tidak bisa diajukan ke pengadilan.
Tarmizi menambahkan, penggunaan Qanun Hukum Jinayah membuat syarat formil tidak terpenuhi, padahal jika diproses hukum menggunakan UU Perlindungan Anak, perkara itu memenuhi syarat untuk masuk ke persidangan. ”Alasan JPU pelaku tidak mengaku, kemaluan korban tidak rusak, dan tidak ada saksi yang melihat langsung,” ujar Tarmizi.
Alasan JPU pelaku tidak mengaku, kemaluan korban tidak rusak, dan tidak ada saksi yang melihat langsung. (Tarmizi Yakub)
Tarmizi mengatakan, korban mengalami pelecehan seksual oleh M (22), tetangga korban. Pelaku kerap mengajak korban jalan-jalan dan membelikan korban jajanan.
Korban mengalami luka lecet pada kemaluannya dan merasa perih saat orangtuanya membersihkannya seusai membuang air besar. Setelah digali, korban mengaku telah dilecehkan oleh pelaku. Pada 6 Desember 2022 keluarga korban melaporkan kasus itu kepada polisi.
Tarmizi menuturkan, akibat JPU tidak bersedia mengajukan berkas perkara ke pengadilan, tersangka yang telah ditetapkan kepolisian bakal bebas sebab masa tahanan akan berakhir pekan depan. Menurut Tarmizi, seharusnya kejaksaan memberikan atensi khusus terhadap kasus pelecehan seksual terhadap anak.
Dihubungi terpisah, JPU Kejari Bireuen Maulizar belum dapat memberikan keterangan sebab harus meminta persetujuan kepada atasannya. Maulizar meminta Kompas mengajukan surat permintaan wawancara secara resmi.
Direktur Eksekutif Flower Aceh, LSM fokus pada isu anak dan perempuan, Riswati mengatakan, sudah saatnya Qanun Hukum Jinayah direvisi. Proses hukum kasus kekerasan seksual terhadap anak juga dikembalikan menggunakan UU Perlindungan Anak.
”Dalam UU Perlindungan Anak telah diatur dengan jelas penyelesaian kasus kekerasan seksual pada anak, tidak perlu lagi diatur dalam qanun,” ujar Riswati.