Membebaskan Derita Buaya Berkalung Ban
Enam tahun lamanya buaya itu terlilit ban di lehernya. Dengan niat baik dan keyakinan teguh, Tili berhasil membebaskan buaya yang hidup di Sungai Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah, itu.
Seorang pria yang baru lima bulan berada di Kota Palu dan Kabupaten Sigi, Sulteng, sontak menjadi pujaan warga sejak Senin (7/2/2022). Tak disertai kehebohan, dia secara mengejutkan berhasil menyelamatkan buaya muara berkalung ban di Sungai Palu. Tili, nama pria tersebut, seolah mengikuti panggilan alam ke Palu untuk menyelamatkan buaya yang enam tahun terlilit ban.
Setelah 2,5 jam menunggu, Tili (35) mulai tersenyum. Ia melihat buaya perlahan masuk dalam dua jerat yang dipancang pada bambu untuk menyantap dua ayam dan satu bebek. Dari satu jerat, buaya itu lalu masuk ke jerat yang kedua. Tili masih membiarkan buaya itu melahap umpan. Setelah mendapatkan momen yang tepat, ia perlahan menarik dua jerat yang telah ditambatkan pada pohon untuk dikencangkan pada bagian sekitar perut dan satu lagi di bagian belakang kaki depan buaya.
Buaya muara (Crocodylus porosus) yang sudah terjerat itu hanya berguling di permukaan air. Satwa itu tak memberontak. Tili bersama temannya, Nurdin (62), menambah dua jerat lagi. Ditopang bambu, mereka berhasil memasukkan jerat di sekitar mulut buaya. Kedua jerat tersebut juga diikat pada pohon. Satwa dilindungi itu tetap bergeming.
Saat keduanya berjibaku sekitar pada Senin (7/2/2022) pukul 18.30 Wita, warga di pinggir Sungai Palu sekitar Jembatan II, Kelurahan Tatura Selatan, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, berdatangan membantu. Mereka lalu menarik buaya tersebut ke darat di pinggir sungai. Buaya itu masih tak memberontak. Tili lalu menutup muka buaya dengan kain.
”Dia mungkin memang mau dibantu,” kata Tili saat ditemui di rumahnya Desa Tinggede, Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi, Kamis (10/2/2022). Tempat tinggalnya berjarak 4 kilometer dari lokasi penangkapan buaya.
Karena buaya sudah ditaklukkan, Tili bersama warga yang berkerumun menggergaji ban pada leher buaya. Agar tak melukai buaya, kayu diletakkan di antara ban dan leher. Pemotongan dengan gergaji hanya sekitar satu menit. Begitu ban terputus, kerumunan berteriak mengalahkan deru kendaraan di di jembatan. Semua kegirangan karena ban berdiameter 50 sentimeter itu akhirnya lepas dari leher buaya.
Tak menunggu lama, jerat-jerat yang melilit badan buaya diputus. Buaya lalu dilepas ke sungai. Pemotongan dan pelepasan ban turut disaksikan petugas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kota Palu serta Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulteng.
Buaya muara itu pun merangkak untuk mencebur lalu menghilang dalam Sungai Palu. Ia pergi merayakan kebebasan setelah sekitar enam tahun lehernya dililit ban.
Saya juga selalu berkata-kata dalam batin. Buaya, saya temanmu yang mau bantu. Saya tidak bermaksud untuk menyakitimu.
Tili adalah fenomena. Pria kelahiran Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, itu tak punya ambisi untuk menyelamatkan buaya saat dia menginjakkan kaki di Palu dan Sigi. Ia baru lima bulan pindah dari Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, ke Palu dan Sigi.
Ia sebenarnya ingin merantau ke Kalimantan Timur hanya ada kendala adminstrasi sehingga tertahan sama kenalannya di Pantoloan, Kecamatan Tawaeli, Kota Palu. Tili baru saja pindah ke rumah di Desa Tinggede, Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi, awal Januari. Pada awal kedatangan, dia tak tahun-menahu ihwal buaya berkalung ban.
Bujangan itu baru tahu keberadaan buaya terjerat atau berkalung ban ketika seorang tukang yang mengerjakan bagian beton halaman rumahnya menceritakan fenomena langka tersebut pada pertengahan Januari 2022. Dari orang itu pula, Tili mendapatkan informasi upaya penyelamatan buaya muara yang berstatus dilindungi tersebut sudah sering dilakukan, termasuk melibatkan ahli satwa liar Australia Matt Wright dan pakar biologi Amerika Serikat Forrest Galante pada awal 2020, tetapi usaha itu sia-sia.
Tili, anak bungsu dari empat bersaudara, penasaran. Ia lalu pergi melihat seperti apa buaya berkalung ban tersebut. Sesuai dengan informasi yang didapat, ia menyurvei lokasi seringnya buaya berkalung ban muncul, yakni di seputar potongan beton di Sungai Palu tak jauh dari Jembatan II. Semesta menyambut. Saat baru pertama melihat, buaya tersebut muncul di sekitar onggokan beton di utara jembatan. Tili membatin itu pertanda buaya tersebut ingin ditolong.
Baca juga: Dalam Senyap, Tili Menyelamatkan Buaya Berkalung Ban di Sungai Palu
Pertanda lainnya juga muncul. Setelah Tili melihat buaya berkalung ban, satwa itu sering muncul dalam mimpi pria kelahiran 12 Maret 1987 tersebut. Bersama buaya lainnya, buaya berkalung ban jadi bunga tidur Tili di beberapa malam. ”Buaya hanya muncul, tidak berkata apa-apa. Saya yakin buaya itu memang ingin dibantu, ingin diselamatkan, sampai muncul dalam mimpi saya,” ujar anak pasangan Toto (almarhum) dan Wakinem (67) itu.
Tili juga tak lupa memperkenalkan diri kepada buaya berkalung ban. Ia meminum sedikit air di sekitar lokasi buaya tersebut muncul agar ”menyatu” dengan satwa tersebut. Dengan cara itu, Tili yakin buaya melihatnya sebagai teman, bukan musuh.
”Saya juga selalu berkata-kata dalam batin. Buaya, saya temanmu yang mau bantu. Saya tidak bermaksud untuk menyakitimu,” begitu batin Tili.
Dengan niat dan keyakinan tersebut, Tili mulai menyiapkan perlengkapan penyelamatan. Ia membeli tali nilon berbagai ukuran dan ketebalan. Umpan juga ia siapkan. Ada ayam potong, bebek, dan burung tekukur. Semua biaya persiapan tersebut dari sakunya sendiri dengan total pengeluaran Rp 4 juta.
Tili yang dibantu temannya Laoding (72) dan Nudin lalu memasang jerat. Mereka membuat dua jerat berbentuk lingkaran yang diikat pada bambu dengan masing-masing berjarak 50 sentimeter. Umpan disimpan pada tali yang tersambung dengan mata jerat. Saat buaya memakan umpan, jerat otomatis mengecil sehingga masuk tubuh buaya.
Sebelum berhasil menjerat buaya yang memiliki panjang 5,20 meter dan lebar 93 cm itu, Tili berkali-kali diberi harapan palsu. Ada kalanya buaya itu sudah masuk, tetapi jeratnya lepas lagi. Beberapa kali buaya melahap umpan, tetapi mulutnya tak masuk dalam jerat.
Sejumlah orang yang bertemu dengannya di pinggir sungai pun ragu dengan upaya Tili. Mereka yakin Tili takkan bisa menyelamatkan buaya tersebut karena sekelas ahli satwa dari luar negeri saja tak berkutik.
Tili yang mengaku tidak menyelesaikan pendidikan sekolah dasar itu tak patah semangat. Ia yakin bisa menyelamatkan buaya tersebut. Ia pun sering melewatkan waktu pada sore hari untuk menjual burung di sekitar Pantai Talise, Teluk Palu. Ia bersama Laoding dan Nurdin menunggu sampai buaya terjerat. ”Saya niatnya cuma ingin bantu. Saya selalu yakin setiap niat baik akan direstui. Dan ternyata betul,” katanya.
Ia bersyukur karena selama beraksi jarang warga berkerumun. Sesekali ada warga atau pengendara yang melintas mendatangi lokasi penjeratan, tetapi tidak menimbulkan keributan berarti. Kondisi tak mengganggu buaya. Buaya seperti satwa liar lainnya sangat sensitif dengan keributan atau kehadiran banyak orang.
Tili yang ”gaptek” itu tak mengumbar aksi penyelamatan buaya ke media sosial. Ia tak memiliki akun media sosial. Telepon genggam pintar pun tak ada. Barangkali wujud totalitas seorang Tili yang akhirnya disambut baik si buaya yang terdeteksi terlilit ban sejak pertengahan 2016 itu.
Sejak mendengar cerita buaya muara berkalung ban, Tili dengan tetap rendah hati berkeyakinan dirinya bisa menyelamatkan satwa tersebut. Ia memiliki keterampilan dalam menjerat satwa. Sejak umur 8 tahun di kampung halamannya di Sragen, ia sudah mulai menjerat satwa, terutama burung. Dia dengan gampang bisa menjerat tekukur, merpati hutan, dan ayam hutan. Sesekali ia bahkan bisa menangkap ular langsung dengan tangannya.
Di Mamuju pun ia masih sempat menjerat burung yang bisa diperdagangkan. Terkadang ia diminta menjerat hewan peliharaan warga yang lepas dari kandangnya.
Meskipun menjerat buaya baru pertama kali dilakukan, Tili menerangkan pada prinsipnya membuat jerat untuk satwa berbeda sama saja. ”Saya hanya menyesuaikan bulatan jerat, ukuran, dan jenis tali yang digunakan sesuai dengan sasaran,” ucapnya.
Saya dari awal niatnya cuma satu, yaitu menyelamatkan buaya. Apa yang saya terima setelah itu, ya, saya bersyukur.
Tili selama ini berprofesi menjual dan membeli burung yang bisa diperdagangkan, seperti murai batu (Copsychus malabaricus) dan jalak suren (Sturnus contra). Di rumahnya di Tinggede, ia membangun kandang untuk penangkaran/peternakan burung. Laoding dan Nurdin yang bersamanya menjerat buaya selama ini membantu dia dalam aktvitasnya itu.
Namun, ada juga burung yang dilindungi yang perdagangannya dibatasi, seperti cucak ijo (Chloropsis sonnerati). Tili tak mengetahui status burung tersebut. Ia mengaku ingin mengajukan izin peternakan atau penangkaran ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulteng.
Apresiasi
Dalam beberapa hari belakangan, apresiasi untuk Tili berdatangan. Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kota Palu telah memberikan piagam penghargaan atas upaya Tili menyelamatkan buaya berkalung ban pada Rabu (9/2/2022). Wali Kota Palu Hadianto Rasyid juga telah menyampaikan apresiasi dengan mengundang Tili ke kantornya.
BKSDA Sulteng pun berencana memberikan piagam penghargaan untuk kategori pencinta satwa atau pemerhati konservasi. Sejumlah instansi dan korporasi juga menyatakan niatnya mengapresiasi aksi heroik Tili.
Tili juga diundang ke berbagai forum untuk menceritakan aksi penyelamatan buaya berkalung ban. Telepon genggam monoponiknya selalu berdering. Orang-orang ingin bertemu dengan Tili.
Terkait rupa-rupa apresiasi tersebut, Tili mengungkapkan terima kasih. Ia tak menyangka upaya penyelamatan buaya tersebut menjadikannya terkenal dan sesibuk hari-hari ini. ”Saya dari awal niatnya cuma satu, yaitu menyelamatkan buaya. Apa yang saya terima setelah itu, ya, saya bersyukur,” ujarnya.
Dengan jerih payahnya, Tili berhasil menyudahi derita buaya berkalung ban. Buaya itu kembali bebas tak terkungkung seperti halnya puluhan buaya muara lain yang hidup di Sungai Palu dan Teluk Palu.