Daging Tak Berdaging Menjajal Pasar Negeri Segala Daging
Di Sulawesi Utara, santapan berbahan daging menjadi kegemaran masyarakat. Sebuah produk daging nabati mencoba menyajikan alternatif. Mampukah Green Rebel bersaing dengan segala jenis daging di pasar Manado?

Steik nabati berbahan dasar jamur shiitake, tepung rumput laut, dan kedelai produksi Green Rebel dipamerkan di Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (5/2/2022).
Berdiri di depan sekelompok koki kawakan dan pemilik resor pantai di Manado, Sulawesi Utara, Max Mandias (33) mencetuskan revolusi pangan. Ia membawa manifesto berwujud sepotong steik berwarna coklat yang dikemas dalam sebuah kotak dengan logo ”Green Rebel”. Max menyebutnya beefless steak, secara harfiah berarti steik tanpa daging sapi.
Steik tak berdaging seberat 100 gram itu adalah produk teknologi pangan yang Max ramu di laboratorium Green Rebel di seputaran Ibu Kota. Bahan utamanya adalah jamur shitake yang dipadukan dengan kedelai dan tepung rumput laut. Meski begitu, bentuknya dengan steik daging sapi bagai pinang dibelah dua.
Dengan cekatan Max memotong dadu steik tak berdaging itu di atas talenan, lalu memasukkannya ke dalam wajan teflon yang sudah panas. “Cuma perlu kira-kira satu sendok makan minyak goreng. Masaknya pun hanya perlu dua menit,” kata Max di depan hadirin yang berkumpul di restoran Hotel S-Loft Manado, Sabtu (5/2/2022) malam, itu.
Harum daging menguar ke segala penjuru ruangan, menyusupi indera penciuman penonton yang mulai menelan liur. Max membubuhi potongan-potongan ”daging” itu dengan saus steik yang telah ia siapkan, lalu mengaduknya hingga merata. Karena memang sudah matang dalam kemasan, sesaat kemudian steik itu sudah siap saji.

Pendiri sekaligus Chief Innovation Officer Green Rebel, Max Mandias (kanan), menunjukkan cara memasak daging nabati produksi Green Rebel didampingi pemengaruh dan konsultan makanan dan minuman Haseena Narains Bharata di Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (5/2/2022).
Rampung dengan daging sapi tiruan, Max beralih ke bongkahan daging berwarna krem mirip ayam. Namun, lagi-lagi, itu adalah ayam nabati yang terbuat dari kedelai dan seitan (gluten gandum). Produk itu dinamai grilled chick’n.
Ia memotongnya lagi kecil-kecil, meletakkannya di mangkok, kemudian memasukkannya ke dalam panci pengukus. Ayam kedelai itu matang kurang dari 10 menit dan siap disantap sebagai lauk dalam menu nasi hainan.
Baca juga: Sejoli Sehat
Hadirin pun berkesempatan mencicipi steik dan ayam hainan buatan Max. Dan sungguh, rasanya nyaris tak berbeda dari daging sapi dan ayam sungguhan. Dua varian daging lain juga disuguhkan, yaitu rendang dan sate maranggi berbahan jamur shitake yang tak kalah sedapnya.
Cara memasaknya pun tidak ribet. Rendang nabati, misalnya, sudah berbumbu dalam kemasan sehingga hanya perlu diberi sedikit air ketika dimasak di panci. Rasanya nyaris tak berbeda meski sedikit terlalu asin, sementara tekstur dagingnya berserat seperti daging asli sekalipun jauh lebih lunak.

Produk-produk daging nabati Green Rebel dihidangkan di Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (5/2/2022).
Dengan berakhirnya demo memasak itu, Max memungkas pula ”pidato” revolusinya. Steik, ayam, rendang, dan sate maranggi itu adalah empat dari 14 varian produk Green Rebel—artinya Pemberontak Hijau—yang ia ajukan sebagai bahan pangan alternatif demi Manado, Sulut, dan Indonesia yang lebih sehat.
Green Rebel pun resmi mengisi pasar bahan pangan di ”Bumi Nyiur Melambai”. Ada empat kategori penganan berbahan nabati yang ditawarkan Green Rebel. Pertama, ayam nabati yang mencakup Chick’n Fillet, Chick’n Katsu, dan Sate A’yum. Kedua, sapi nabati berbentuk steik dan potongan seperti rendang dan sate maranggi.
Ini revolusi pangan cara Indonesia.
Ketiga, protein sayur utuh dalam bentuk bakso dan patty burger dari jamur. Terakhir, keju nabati yang berbahan beras organik, kentang, dan kacang mete. Produk-produk itu sudah tersedia di setidaknya dua toko swalayan serta dihidangkan sebagai menu di lima restoran di Manado.
Bagi Max, Green Rebel bukan sekadar komoditas dagang. ”Ini revolusi pangan cara Indonesia. Ada alternatif (bagi daging hewani) yang lebih sehat, tetap tinggi protein tetapi tanpa kolesterol,” ujar pendiri sekaligus Chief Innovation Officer Green Rebel itu.

Produk-produk daging nabati Green Rebel dipamerkan di Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (5/2/2022).
Alasan Max berbasis data. Pada tahun 2018, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan membuktikan Sulut adalah provinsi dengan jumlah penderita obesitas terbanyak di Indonesia, yaitu 30,2 persen dari populasi dewasa. Angka ini jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional, 21,8 persen.
Sulut juga menempati peringkat tertinggi penderita hipertensi dengan proporsi penderita dewasa sebesar 13,2 persen. Pada saat yang sama, warga Sulut, terutama di daerah Minahasa Raya, terkenal menggemari tak hanya daging babi dan ayam, tetapi juga daging hewan-hewan liar yang tak umum di daerah lain, seperti ular, tikus pohon, kelelawar, dan biawak.
Baca juga: Ketika Tikus Mengalahkan Sapi di Pasar Tomohon
Mampukah daging tak berdaging dari Green Rebel bersaing dengan segala jenis daging di pasaran Manado? Max cukup optimistis. ”Enggak perlu ada yang berubah dari menu makanan orang Manado. Kami hanya memberi alternatif. Tetap bisa bikin tinorangsak, ayam woku, dan sebagainya, tetapi daging babi dan ayamnya diganti daging nabati,” katanya.
Helga Angelina, yang mendirikan Green Rebel bersama Max, mengatakan, daging nabati buatan mereka jauh lebih sehat. Jika dibandingkan, kandungan kalori beefless steak Green Rebel 30 persen lebih rendah ketimbang daging sapi asli. Kandungan protein memang hanya setengah protein daging asli, tetapi bebas kolesterol dan tinggi serat.

Produk-produk daging nabati yang menyerupai daging sapi dan ayam buatan Green Rebel dipamerkan di Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (5/2/2022).
”Produk ini sangat baik buat kesehatan, kaya zinc (seng) dan serat yang sangat kurang dalam daging. Tren hijau mengonsumsi daging nabati berbasis tumbuhan ini juga sedang tumbuh secara global. Empat puluh dua persen konsumen mulai mengonsumsi daging nabati. Tidak hanya kalangan vegan dan vegetarian, tetapi juga flexitarian,” kata Helga.
Menurut konsultan makanan dan minuman sekaligus pemengaruh (influencer) media sosial, Haseena Narains Bharata, seorang flexitarian yang fleksibel memilih makanan nabati ataupun hewani, Green Rebel membuka kesempatan bagi konsumen untuk makan enak, tetapi tetap sehat. ”Saya pribadi memilih apa yang baik bagi tubuh saya,” katanya.
Ia pun yakin Green Rebel, yang ia dukung (endorse) secara sukarela, dapat sukses di pasar Manado dan Sulut. Setidaknya, daging-daging nabati bisa mempertemukan berbagai orang dengan tipe diet berbeda dalam satu meja makan. ”Kalau semakin banyak restoran, hotel, atau bahkan warung yang menjual makanan sehat, akan sangat baik,” katanya.
Hampir semua bahan yang kami gunakan adalah produksi lokal.
Kendati begitu, kata Helga, untuk sementara Green Rebel masih menarget pasar kelas menengah ke atas. Sekotak rendang nabati 300 gram yang berisi enam potong daging, misalnya, dibanderol Rp 75.000. Kalangan yang disasar adalah generasi Z dan milenial yang sadar kesehatan dan peduli lingkungan atau orang yang sekadar ingin mencoba daging nabati.
Adapun dalam kehidupan sehari-hari orang Minahasa yang beragama Kristen, daging babi adalah lauk sehari-hari yang dijual di warung-warung makan. Dengan harga Rp 22.000, misalnya, seseorang bisa mendapatkan sepiring nasi dengan olahan daging babi, sayur, sup kacang merah, dan rica alias sambal.
Pada 2020, Sulut adalah produsen daging babi terbanyak keempat di Indonesia. Konsumsi daging lain biasanya meningkat pada berbagai perayaan, dari Natal, pengucapan syukur (thanksgiving ala Minahasa), hingga kedukaan. Begitu pula daging hewan (liar) lainnya. Tak ada data rata-rata konsumsi daging babi per hari di Sulut, tetapi data prevalensi penyakit dalam Riskesdas cukup memberikan gambaran.

Daging nabati menyerupai ayam berbahan dasar seitan dan kedelai produksi Green Rebel dipamerkan di Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (5/2/2022).
Jaga lingkungan
Helga dan Max, yang juga adalah pendiri restoran burger nabati di Jabodetabek dan Bali, Burgreens, juga ingin mengampanyekan penyelamatan lingkungan lewat Green Rebel. Beberapa rantai restoran ternama di Indonesia pun telah bekerja sama dengan Green Rebel, sebut saja Holycow, Ikea, dan Starbcuks.
Menurut Helga, produksi pangan nabati memiliki potensi pemanasan global 90 persen lebih rendah. ”Untuk Green Rebel, hampir semua bahan yang kami gunakan adalah produksi lokal. Dengan mengonsumsi makanan berbasis nabati sekali saja dalam sehari, kita bisa menghemat rata-rata 4.200 liter air,” ujarnya.
Baca juga: "Brunch" ala Manado di Akhir Pekan
Dengan masuknya Green Rebel ke pasar Manado, Max berharap keindahan dan kelestarian alam di Sulut dapat dijaga sehingga sektor lain seperti pariwisata terus berkembang. Ia pun berharap produksi daging nabati Green Rebel, yang kini masih sekitar 20 ton per bulan, dapat mencapai kapasitas maksimal 60 ton berkat perubahan diet warga Sulut yang ia sebut suka berpesta.
Sementara itu, para pegiat kelestarian keanekaragaman hayati di Sulut berharap, Green Rebel juga dapat menekan perburuan satwa liar yang dagingnya begitu digemari warga. Billy Lolowang, Manajer Program Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tasikoki di Minahasa Utara, berharap warga semakin tertarik mencoba daging nabati.

Salah satu jenis daging ular yang dijual untuk dikonsumsi di Pasar Beriman, Kota Tomohon, Sulawesi Utara, Sabtu (10/8/2019).
”Ini harusnya bisa jadi alternatif buat orang Manado (etnis Minahasa) yang terkenal pemakan segala daging. Alternatif ini dari tumbuhan, sehingga orang enggak perlu lagi berburu. Orang Minahasa, kan, suka daging yang ’aneh-aneh’ Nah, daging nabati ini, kan, juga ’aneh’, jadi cobalah,” katanya.
Kendati begitu, ia sadar, dari sudut pandang ekonomis, produk seperti Green Rebel sulit diakses masyarakat pada umumnya. Berburu satwa liar (bushmeat) masih menjadi pilihan yang lebih ekonomis. Namun, ia berharap, tingginya permintaan di Manado nantinya dapat menekan harga daging nabati sehingga lebih banyak warga yang meminatinya.
Baca juga: Makan Lezat atau Makan Sehat?
Caroline Dea Tasirin, dosen luar biasa di Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas Sam Ratulangi, mengatakan, kehadiran daging nabati di pasar pangan Sulut tak akan langsung berdampak pada konsumsi satwa liar. ”Mungkin tidak dalam waktu dekat,” katanya.
Kendati begitu, ia berharap kampanye Green Rebel soal dampak pola makan pada kesehatan dapat menyadarkan masyarakat, setidaknya mulai dari Manado. Menurut dia, warga Manado yang cenderung menyukai hal-hal baru bisa tertarik mengonsumsi daging nabati demi kesehatan. ”Saya harap itu bisa berpengaruh juga ke perburuan hewan liar. Memang prosesnya panjang, tetapi kita berharap saja,” kata Dea.