Sup Arekan Terlezat Se-Asia
Rawon, masakan jawa timuran yang amat digemari warga arek di Surabaya dan Malang dengan narasi sejarah dan cita rasa yang kaya, tidak berlebihan jika dinobatkan sebagai sup terenak se-Asia.
Berdasarkan survei TasteAtlas 2020, situs kuliner Krosia, yang menjaring penilaian kritikus restoran profesional dan 63.400 peserta penyumbang pemilihan suara, rawon dari Jawa Timur dinobatkan sebagai sup atau makanan berkuah terenak di Asia.
Situs yang menyebut rawon sebagai beef black soup itu mengulas hampir 20.000 makanan dari seluruh dunia dengan fokus pada aspek tradisional, lokal, resep otentik, dan ulasan pakar. Tiga makanan Nusantara yang berkuah masuk 12 besar terenak Asia. Rawon teratas lalu gulai cincang ala Minangkabau di urutan ketiga, sedangkan sayur asem (tamarind soup) di urutan kedua belas.
Di Jawa Timur, terutama wilayah arekan atau budaya arek di Surabaya dan Malang sebagai kawasan terkemuka, masyarakatnya menggemari rawon. Menu sup daging sapi dan berkuah hitam dari keluak ini hampir tersedia di seluruh warung, restoran, dan atau depot kuliner jawa timuran. Bahkan, rawon menjadi menu wajib untuk dinikmati seseorang yang mampir ke Surabaya dan Malang.
Menjawab pertanyaan di mana lokasi rawon terenak di Surabaya atau Malang, sekonyong-konyong penulis ingin mengangkat dan menceburkannya ke kolam masakan berkuah itu. Sudahlah, bagi arek, rawon enak bisa dinikmati di mana saja. Yang membedakan adalah lokasi, harga, dan sedikit kreasi penghidangnya. Tips penulis, jangan terpaku pada satu tempat, tetapi carilah dan dapatkan sendiri rawon yang paling ”nyantol” di lidah dan memori.
Di Surabaya, jangan pernah mengidolakan rawon tertentu. Namun, di antara beratus-ratus warung atau depot yang menyajikan rawon, izinkan kami memberi tiga rekomendasi yang meski amat sedikit, tetapi bernarasi. Enak atau amat enak diserahkan kepada individu masing-masing mana yang paling cocok.
Rawon Pak Pangat, peninggalan Supangat dari Wonokromo, masuk dalam rekomendasi penulis. Alasannya, memiliki narasi kedaerahan yang kuat, yakni Wonokromo dan usaha mereka berkembang sehingga memiliki sejumlah kedai cabang di Surabaya dan Sidoarjo. Penulis sempat mencoba rawon ini di kedai di Ketintang (Surabaya) dan Delta Sari (Sidoarjo) di mana masih mendapatkan rasa yang konsisten atau setara. Sedikit kreasi yang unik dari rawon ini adalah tambahan empal suwir yang empuk dan gurih, sesuatu yang tidak banyak ditemui.
Rekomendasi kedua, Depot Sari (dahulu Depot Badjoel) di ujung Jalan Karet yang ke kiri adalah Jembatan Merah (Roode Brug) dan ke kanan Kampung Pecinan Kya-Kya Kembang Jepun. Spanduk yang menutupi bagian atas tirai di teras bangunan berukuran mini itu bertuliskan Depot Sari 1930 Spesialis Sop Buntut/Rawon Merah. Menurut Hanny Hartono, pemilik Depot Sari dari generasi ketiga, sejak dibuka pada 1930, menu utama adalah sop buntut dan rawon merah. Hampir seabad kemudian, rawon merah masih menjadi andalan dan menjadi sasaran pengunjung.
Baca juga: Surabaya Kota Kampung yang Terus Menjaga Cirinya
Untuk rawon merah, bumbu pada kuah ternyata tak memakai keluak, bahan wajib secara ”hukum perkulineran” pada sop atau rawon gaya suroboyan. Depot Sari sangat berani menentang seolah selaras dengan salah satu karakter khas Arek Suroboyo yang nekat. Keluak digantikan dengan ramuan padu cabai merah dan cabai rawit.
Mungkin ini yang membuat kuah rawon nyaris tiada lemak menempel pada mangkuk dan sendok. Jadi, kalau mau menikmati rawon bondo nekat yang berkarakter Surabaya, begitu berani mendobrak bahkan menentang, ya tidak lain inilah tempatnya.
Yang ketiga dan sudah amat terkenal tentu rawon setan di Jalan Embong Malang. Penulis masih terus ternganga dengan keramaian pengunjung kedai usaha yang dirintis oleh Musiati (almarhum) pada 1953. Tentu sudah banyak yang tahu dijuluki rawon setan karena di awal-awal usaha, Musiati membuka warung mulai pukul 02.00 WIB untuk melayani kalangan pekerja malam dan dini hari.
Ketika usaha diwariskan, rawon setan dibuka lebih awal, yakni pukul 22.00 WIB. Tahun-tahun terakhir ini, saat bisnis berkembang dan sudah punya cabang, rawon setan malah sudah buka sejak pukul 07.00 WIB. Pembeli tidak perlu bergentayangan seolah vampir untuk menikmati sup hitam dalam gulita malam.
Di Kota Malang, pilihan rawon juga beragam meski kami hanya bisa memberikan beberapa rekomendasi. Warung Brintik di Jalan Diponegoro misalnya, adalah salah satu warung rawon legendaris karena mulai beroperasi sejak 1943. Saat itu, Ibu Napsiah, si pemilik warung, masih berjualan di kawasan Petukangan (sekarang bernama Jalan Gatot Soebroto). Disebut rawon Brintik karena rambut Napsiah keriting (dalam bahasa Jawa disebut brintik).
”Saat itu ibu saya berjualan masih di kampung. Namun, pada tahun 1980-an, keluarga pindah berjualan di Jalan Diponegoro ini,” kata Asih, anak Nasipah. Saat ini warung dijalankan Asih, yang merupakan generasi kedua. Rawon Brintik cuma sekitar 3 kilometer dari Taman Tugu. Buka pukul 07.00-14.30 WIB, kedai ini menjadi tujuan kuliner pejabat pemerintahan atau tempat kera ngalam (arek Malang) di perantauan yang saat kembali mengenang masa lalu.
Masakan rawon menempati ruang tersendiri di hati masyarakat Jawa. Di Jawa, rawon atau soto biasanya dihidangkan pada acara hajatan atau selamatan dengan kehadiran banyak orang. Bahkan, meski dikenal hingga sekarang, rawon memiliki sejarah panjang.
Baca juga: Rawon Brintik, Kuliner Legendaris Sejak 75 Tahun lalu
Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya, Malang, Ary Budiyanto menyebut, rawon sudah tercatat dalam Kakawin Ramayana (Walmiki etc, 1980) Sarggah ke-26, bait ke-25, di mana konon ditulis pada masa Mataram Hindu pada masa pemerintahan Dyah Balitung sekitar 820-832 Saka atau 870 Masehi.
Berikut petikan bunyinya: Bring forward and serve them to the monkey heroes. Satisfy their appetite. [And you, my dear guests] when you have almost finished your plate, you may come to the kitchen, and take another plate, as big as a winnow, and fill it up with pork and crisps, steamed arrowroot. Behold how a warawan-dish is prepared.
”Jadi menurut teks kakawin Ramayana, rawon bukanlah makanan khusus raja saja tapi umum disajikan pada bala tentara, dalam hal ini prajurit kera Sri Rama,” kata Ary. Dalam teks Jawa Kuno oleh HIR Hinzler dalam tulisannya Eten en Drinken in Het oude Java (600-1600 M), ditemukan jenis hidangan yang dimasak menggunakan banyak air yang dibuat dari sayuran dan dibuat dari daging (atau ikan). Di mana yang terbuat dari sayuran disebut jejanganan, dan yang terbuat dari daging disebut gulay (gulai/gule) dan rarawwan (rawon). Adapun nama soto, saat itu tidak/belum disebut.
Menurut Ary, secara khusus, rawon dicatat oleh Hinzler dari kakawin Bhomakawya: ”Sungguh sedap rarawwan (rawon), hidangan itu memberikan kepuasan bagi mereka yang dapat menyantap hidangan itu di hadapannya” (Bhomakawya 81, 37d dalam Hinzler, 2005).
Baca juga: Sensasi Mencicip Kuliner Langka Ala Raja Mataram Kuno
“Dari catatan Hinzler dan penelusuran asal-usul gulai di Jawa di atas, kita sekarang tahu bahwa hidangan sup yang telah lama dikenal di Jawa, selain sup sayuran yang disebut jejanganan (gangan), adalah gule dan rawon. Jadi kedua nama hidangan ini ternyata telah ada lebih awal dari istilah soto cina maupun kari India (yaitu abad 11-13),”kata Ary.
Dengan perjalanan panjang dan narasi sejarah amat kaya seperti cita rasanya, tidak berlebihan jika rawon memang pantas menyandang sup terenak se-Asia. Mungkin hanya soal waktu manusia dunia akan mengakui rawon adalah sup terenak sejagat.