Memoles Wajah Kritis Mangrove di Teluk Kendari
Mangrove dulunya menjadi bagian integral dan penting bagi ekosistem di Teluk Kendari. Namun, puluhan tahun habitatnya tergerus pembangunan. Kini, muncul upaya merehabilitasi.
Rimbun pohon mangrove di Teluk Kendari perlahan terganti berbagai bangunan. Tanaman penanda dan penjaga perairan ini kesulitan mencari tempat tumbuh di area teluk yang menjadi milik pribadi atau perusahaan. Langkah awal rehabilitasi penting diiringi dengan regulasi serta upaya kuat semua pihak.
Di sebuah jalan yang membelah Teluk Kendari, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, sejumlah pekerja sibuk membangun jembatan kecil dari kayu. Mereka mengangkat batang kayu dan papan untuk dibuat menjadi anjungan sepanjang 20 meter.
Anjungan ini akan digunakan sejumlah pejabat, baik pusat maupun daerah, untuk menanam mangrove. Daerah ini menjadi tuan rumah pencanangan Rehabilitasi Mangrove Nasional 2022. Acara itu menjadi rangkaian peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2022.
”Ini lokasi yang kami pilih untuk menanam 20.000 bibit mangrove. Luasnya sekitar empat hektar,” kata Kepala Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL) Sampara Sulawesi Tenggara M Azis Ahsoni, Minggu (6/2/2022).
Mangrove yang akan ditanam adalah jenis Rhizophora. Jenis ini memiliki anakan yang banyak dan lebih cepat tumbuh dari jenis lainnya. Sebagian besar mangrove yang tumbuh di pesisir teluk ini adalah jenis Avicennia. Jejeran pohon bakau ini membentang sekitar tujuh kilometer di sisi selatan Teluk Kendari. Sebagian masih rimbun, selebihnya mulai terlihat jarang diganti bangunan.
”Yang susah itu mencari lokasi penanaman mangrove-nya karena semua wilayah pesisir ini sudah ada yang punya. Makanya, kami pilih di sini,” cerita Azis.
Di sepanjang sebelah selatan pesisir Teluk Kendari ini, berbagai plang kepemilikan tanah berdiri di jejeran bakau dan pesisir teluk. Bangunan permanen hingga semipermanen juga berdiri di lahan yang dulunya tambak atau hutan bakau.
Menurut Azis, saat ini luasan mangrove di sekitar Kendari mencapai total 308 hektar. Angka ini terbagi dalam kategori tutupan jarang (9,3 hektar), sedang (154,3 hektar), dan lebat (144,8 hektar). Lokasi mangrove ini mayoritas tersebar di sekeliling pesisir teluk.
Baca juga: Degradasi Parah, Teluk Kendari Kritis dan Terancam Hilang
Sementara itu, ada pula potensi habitat mangrove seluas 160 hektar yang tersebar di sejumlah lokasi. Potensi habitat tersebut saat ini berupa lokasi terbuka, permukiman, mangrove terabrasi, hingga kawasan tambak.
Wali Kota Kendari Sulkarnain Kadir menyampaikan, luasan mangrove di Kendari memang telah berkurang selama puluhan tahun terakhir. Hal itu terjadi karena dampak pembangunan kota yang tidak diimbangi dengan penanaman kembali.
Meski begitu, ia melanjutkan, penanaman telah dilakukan berulang kali di wilayah Kendari. Hanya saja, penanaman tidak difokuskan di wilayah teluk untuk menciptakan lokasi habitat mangrove di beberapa tempat di pesisir Kendari.
”Menjaga mangrove itu menjadi tugas kita bersama karena lingkungan berdampak untuk semua. Rehabilitasi mangrove yang dicanangkan ini bisa menjadi momentum untuk membangun kesadaran bersama,” ucapnya.
Saat ini, ia menambahkan, pihaknya sedang mendiskusikan dengan sejumlah instansi terkait untuk aturan dan konsep pemanfaatan ke depannya. Sebab, kawasan pesisir teluk yang menjadi habitat mangrove telah menjadi milik pribadi atau perusahaan dalam bentuk sertifikat kepemilikan.
Fokus kami agar kawasan yang ada tetap terjaga, tidak rusak, dan tidak berkurang.
Terbitnya sertifikat tersebut, ia melanjutkan, telah berjalan selama beberapa periode waktu. Ia berharap kementerian terkait tidak lagi mengeluarkan sertifikat karena berpotensi akan mengganggu kawasan mangrove.
”Kepentingan Pemkot Kendari saat ini adalah bagaimana agar menjaga keseimbangan lingkungan agar tidak terjadi masalah ke depannya. Fokus kami agar kawasan yang ada tetap terjaga, tidak rusak, dan tidak berkurang,” ucap Sulkarnain.
Dia menambahkan, pemkot telah memiliki rencana induk pengembangan kota dalam Perda Central Business District di kawasan teluk. Ada kawasan bisnis, lingkungan, rekreasi, dan lainnya. ”Mudah-mudahan berkesinambungan ke depannya,” ujarnya.
Meski telah ada aturan detail tata ruang, sejumlah bangunan telah berdiri di sepanjang pesisir. Kawasan tambak dan tempat tumbuhnya mangrove pun beralih menjadi kawasan bisnis, rumah makan, dan lainnya.
Kepala Seksi Perencanaan Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kendari Wa Ode Murniati menuturkan, meski memiliki sertifikat, semua bangunan yang ada di pesisir teluk tidak memiliki izin membangun. Sejauh ini, pihaknya tidak pernah mengeluarkan izin lokasi atau lingkungan untuk pembangunan di kawasan habitat mangrove tersebut. Terlebih lagi, dalam sertifikat tersebut, diperuntukkan hanya untuk tambak dan perikanan.
Baca juga: Sedimentasi dan Pelanggaran Tata Ruang Rusak Teluk Kendari
Sejauh ini, sejumlah upaya penegakan aturan telah dilakukan oleh dinas terkait. Pembongkaran bangunan permanen yang melanggar mulai dilakukan secara bertahap. Sosialisasi kepada pemilik bangunan juga telah dilakukan dengan sumber daya yang terbatas. ”Semuanya bertahap dan perlu waktu. Tapi, kalau kita bilang, semua bangunan tersebut tidak memiliki izin lokasi,” ucapnya.
Murniati melanjutkan, kawasan mangrove masuk dalam zona rimba kota. Dalam perencanaan induk, nantinya dibolehkan pemanfaatan sebesar 20 persen dari luas wilayah kepemilikan. Pemanfaatan juga telah diatur sedetail mungkin agar tidak merusak habitat yang ada. Sementara itu, sebanyak 80 persen luasan tidak boleh diganggu.
Irvan Ido, akademisi Universitas Halu Oleo, yang fokus meneliti mangrove di Teluk Kendari, menjabarkan, pemerintah harus mengambil langkah konkret dalam menyelamatkan habitat mangrove di kawasan teluk. Sebab, semakin hari kondisi mangrove semakin kritis dan terancam hilang.
Padahal, mangrove adalah penjaga kawasan dari ancaman abrasi, sedimentasi, hingga tempat pemijahan ikan. Pada medio 1970-an, mangrove dan teluk merupakan pusat penghidupan masyarakat di wilayah Kendari. Akan tetapi, penurunan luasan tutupan mangrove terus terjadi. Pada rentang 1990 hingga 2017 saja terjadi penurunan luasan sebesar 116,71 hektar.
Baca juga: Menikmati Hutan Mangrove di Kota Kendari
”Karena itu, saran saya, kawasan mangrove di Teluk Kendari harus ditetapkan sebagai hutan lindung. Semua sertifikat diganti-rugi oleh pemerintah agar tidak terjadi alih fungsi dan penurunan tutupan lagi. Itu pun masih bisa dimanfaatkan, tetapi untuk edukasi, riset, atau wisata sejenis lainnya,” ucap Irvan.
Upaya rehabilitasi yang dicanangkan saat ini, tambah Irvan, merupakan langkah awal yang baik. Akan tetapi, langkah tersebut harus didukung regulasi yang kuat dari pemerintah daerah. Hal itu, misalnya, dengan penetapan kawasan mangrove sebagai kawasan dilindungi dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis.
Di Sultra terdapat 66.000 hektar hutan mangrove. Adapun potensi mangrove mencapai 20.000 hektar. Potensi ini adalah hutan mangrove dan lahan yang cocok untuk mangrove, tapi sebagian sudah beralih fungsi dan sebagian rusak.