Dalam Senyap, Tili Menyelamatkan Buaya Berkalung Ban di Sungai Palu
Setelah berbagai upaya dalam enam tahun terakhir, ban yang melilit leher buaya muara di Kota Palu, Sulteng, akhirnya bisa dilepaskan. Tangan Tili membebaskan nestapa buaya itu.
Buaya muara berkalung ban di Sungai Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah, akhirnya bisa diselamatkan. Ban telah dilepas setelah buaya dijerat pada Senin (7/2/2022) malam. Dalam tiga minggu, Tili, ”sang penyelamat”, beraksi dalam senyap.
Teriakan bahagia dari kerumunan menggelegar setelah seorang laki-laki paruh baya selesai menggergaji ban. ”Yeah….yeah…”, begitu teriakan mereka. Mereka berteriak senang seolah beban merekalah yang lenyap.
Itu sepenggal rekaman video yang beredar luas di platform percakapan pada Senin (7/22/2022) malam. Kerumunan orang histeris senang di tepi Sungai Palu dekat Jembatan II, Kelurahan Tatura Selatan, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, menyusul dilepaskannya ban dari leher buaya muara (Crocodylus porosus). Ban tersebut sudah hampir 6 tahun ”mencekik” leher buaya betina yang diperkirakan memiliki panjang 4,5 meter itu. Selama ini, kondisi buaya menjadi perhatian warga sehingga ketika ban berhasil dilepas orang-orang senang.
Salah satu di tengah kerumunan tersebut Tili (35). Dialah yang berhasil menjerat buaya berkalung ban tersebut sehingga bannya bisa dikeluarkan. ”Saya dari awal niatnya untuk menyelamatkan buaya. Saya yakin bisa melakukannya dan ternyata bisa,” ujar pria Kelahiran Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, itu saat ditemui di rumahnya di Desa Tinggede, Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi, Sulteng, Selasa (8/2/2022). Tinggede berada di perbatasan Kota Palu dan Kabupaten Sigi.
Buaya berkalung ban di Sungai Palu tersebut terdeteksi pada pertengahan 2016. Sejak saat itu, berbagai upaya untuk mengeluarkan ban dari leher buaya dilakukan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulteng, termasuk dengan keterlibatan dua ahli satwa luar negeri, tetapi tak membuahkan hasil.
BKSDA Sulteng menyebutkan ban di leher buaya tersebut kemungkinan besar masuk secara tak sengaja. Ban yang terbawa air masuk ke leher saat buaya berenang di sungai.
Instansi itu juga menyebutkan, ada puluhan buaya muara di Sungai Palu dan Teluk Palu. Buaya sering muncul dan dalam beberapa kasus menggigit warga yang berenang di teluk. Buaya muara berstatus satwa dilindungi.
Baca Juga: Jatuh Bangun demi Sang Buaya ”Berkalung” Ban
Tili awalnya tak mengetahui cerita buaya berkalung ban di Sungai Palu. Ia yang baru lima bulan tinggal di Palu-Sigi datang mengadu nasib dengan membeli, memelihara, dan menjual berbagai jenis burung, antara lain murai dan jalak. Pada pertengahan Januari, seorang tukang yang mengerjakan bangunan tambahan rumahnya bercerita tentang buaya berkalung ban. Dia lalu menanyakan detail lokasi buaya sering muncul. Didapat informasi salah satu titiknya di tepi alur Sungai Palu yang membentuk delta di dekat Jembatan II, sekitar 4 kilometer dari rumahnya.
”Saya lalu pergi ke situ dan kebetulan buaya berkalung ban itu ada. Saya lihat dan langsung niat saya jadi kuat untuk menyelamatkan buaya,” katanya.
Ia lalu menyiapkan peralatan untuk menyelamatkan buaya berkalung ban tersebut. Ia membeli tali dengan berbagai jenis ketebalan dan ukuran. Ada tali yang panjangnya sampai 300 meter. Tali tersebut dirangkainya menjadi dua jerat utama yang berbentuk lingkaran. Ia juga menyiapkan umpan berupa ayam, bebek, dan tekukur. Semua barang tersebut dibeli dari koceknya dengan taksiran Rp 4 juta.
Ia memasang jerat dengan jarak sekitar 2 meter dari delta tepi sungai. Dua jerat lingkar dia pasang dengan umpan ayam, bebek. dan burung. Ujung jerat diikat pada pohon di pinggir jalan. Hampir setiap sore ia datang untuk melihat jerat tersebut. ”Saya pernah melihat sendiri buaya berkalung ban memakan umpan, tetapi dia memakan dengan curi-curi sehingga tidak masuk dalam jerat. Buaya ini pintar,” katanya.
Kesabaran Tili akhirnya berbuah hasil pada Senin. Buaya melahap dua ayam dan satu bebek. Buaya itu masuk dalam jerat. Ia lalu menarik jerat. Dua jerat mengikat buaya di bagian perut dan dekat dua kaki depan. Tali jerat ia kencangkan di pohon. Buaya lalu diseret ke darat tepi sungai. ”Buaya tidak berontak. Dia tenang. Dia mungkin memang ingin diselamatkan,” katanya sambil tertawa.
Setelah buaya terjerat, orang-orang lalu berkerumun. Warga pun menggergaji ban yang berdiameter sekitar 50 sentimeter tersebut. Sejumlah orang lalu menelepon petugas Penyelamatan dan Pemadam Kebakaran Kota Palu untuk penyelamatan selanjutnya hingga buaya dilepas ke sungai. ”Karena niatnya untuk menyelamatkan, buaya kami lepas ke sungai. Hanya ban yang saya simpan. Kalau ada yang mau beli saya kasih harga Rp 100 juta,” kata Tili sambil terkekeh.
Tili mengaku dalam menyelamatkan buaya berkalung ban dirinya hanya ditemani Laoding (72) dan Nurdin (62). Laoding seperti Tili adalah penjual burung. Sementara Nurdin kawan baik Laoding. Tili dan Nurdin sering melewatkan waktu untuk menjual burung pada sore hari di sekitar Pantai Talise di pinggir Teluk Palu hanya untuk bisa lekas menyelamtkan buaya. Tak ada orang lain lagi selain ketiganya.
Saya malah ditertawai orang-orang yang melintas bahwa aksi saya tak akan berhasil. Saya diam saja dan terus berupaya
Upaya penyelamatan yang dilakukan Tili dalam tiga minggu terakhir luput dari perhatian warga. Kalangan wartawan juga tak mengetahui adanya upaya penyelamatan tersebut. Pun Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulteng (BKSDA) tak mengetahuinya. ”Saya malah ditertawai orang-orang yang melintas bahwa aksi saya tak akan berhasil. Saya diam saja dan terus berupaya,” katanya.
Aksi senyap Tili kontras dengan dua upaya penyelamaatan yang digelar pada awal 2020. Waktu itu, ahli satwa liar Australia, Matt Wrigth, selama dua minggu berupaya untuk menjerat buaya, tetapi tak berhasil. Penyelamatan bahkan dilakukan dari malam hingga dini hari. Hal sama juga dilakukan ahli biologi Amerika Serikat, Forrest Galante. Upaya tersebut dilakukan bersama dengan BKSDA Sulteng.
Kehadiran dua ahli tersebut menyedot perhatian banyak warga. Setiap upaya penyelamatan dilakukan, warga ramai-ramai mendatangi lokasi. Sering kondisi itu membuat upaya penyelamatan tak berjalan efektif.
Tak hanya ramai di jagat nyata, Wrigth dan Galante selalu memberi tahu kepada warga jagat maya (media sosial) terkait perkembangan aksi mereka. Keduanya sering melakukan siaran lansung (live) di platform media sosial. Keduanya memang selebritas satwa liar.
Tili tak bisa melakukan itu. Ia tak memiliki telepon genggam pintar. Ia bahkan tak cukup cakap untuk berselancar di dunia maya.
Namun, lebih dari itu ia paham penyelamatan satwa liar, termasuk buaya, harus dilakukan dengan tenang. Sebisa mungkin tak ada kebisingan atau teriakan yang bisa mengusik buaya. ”Intinya memang tak boleh ada yang ribut. Tidak boleh ramai. Biar buayanya tenang makan umpan dan masuk jerat,” kata pria yang lima bulan lalu pindah ke Palu dari Mamuju, Sulawesi Barat.
Terampil menjerat
Tili sudah lama memilik keterampilan menjerat satwa. Ia dari dulu bekerja mencari dan menjerat burung yang tak dilindungi di hutan untuk dijual, baik saat masih di Sragen maupun di Mamuju. Bahkan, sesekali ia menjerat ternak yang terlepas dari kandang pemiliknya. ”Saya memang baru kali ini menjerat buaya dan beruntung berhasil. Saya pakai semua ilmu yang saya miliki selama ini untuk membuat jerat yang cocok,” ujarnya.
Selain yakin dengan keterampilan menjerat binatang yang dimilikinya, Tili yang lahir pada 12 Maret 1987 itu percaya pada pertanda. Saat memutuskan untuk menyelamatkan buaya berkalung ban, ia sering bermimpi didatangi banyak buaya, termasuk buaya berkalung ban. ”Buaya tersebut tak mengatakan apa-apa dalam mimpi. Hanya saya pikir itu pertanda buaya berkalung ban itu ingin dibantu. Itu menambah keyakinan saya untuk menyelamatkan buaya tersebut,” ujarnya.
Ini menjadi gambaran bahwa masyarakat kita mencintai satwa. Ini yang terus kita tumbuhkan.
Hal lain yang dilakukan Tili ”memperkenalkan” diri kepada buaya berkalung ban. Itu dilakukannya dengan meminum sedikit air sungai palu di titik buaya berkalung ban sering muncul. ”Itu bentuk perkenalan saya agar buaya tak kaget dan lari kalau lihat saya. Malah sebaliknya, dia melihat saya sebagai teman. Wong, saya kan mau bantu dia,” ujar pria yang belum berkeluarga itu.
Iksan (46), warga Kelurahan Tatura Selatan, yang sering melintas di titik penyelamatan buaya, menyatakan senang akhirnya ban dari leher buaya bisa dilepas. ”Kita melihat buaya itu menderita selama ini,” katanya yang turut menyaksikan dilepasnya ban dari leher buaya pada Senin malam.
Saat dihubungi, Kepala Seksi Wilayah I BKSDA Sulteng Haruna Hamma mengapresiasi upaya yang dilakukan Tili. Meskipun selama ini Tili tak berkoordinasi dengan BKSDA, upaya tersebut bentuk kepedulian dan cinta warga terhadap satwa liar yang dilindungi. ”Ini menjadi gambaran bahwa masyarakat kita mencintai satwa. Ini yang terus kita tumbuhkan,” katanya yang mengaku belum sempat bertemu dengan Tili.
Derita buaya berkalung ban berakhir di tangan Tili. Buaya berkalung ban hendaknya cermin untuk perubahan perilaku kita terhadap lingkungan dengan ekosistemnya. Jika benar dugaan ban di leher buaya tersebut dari sampah yang mengalir di Sungai Palu ini momentumnya untuk menyudahi tabiat buruk tersebut. Jika tidak, cerita serupa akan kembali muncul di kemudian hari.