Pesepak bola Witan Sulaeman melewati jalan yang tak instan untuk menjadi atlet sukses. Kekuatan tekad dan pengorbanan bagian penting dari narasi karier sepak bolanya.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·6 menit baca
Witan Sulaeman (21), pemain sepak bola Tim Nasional Indonesia, salah satu dari anggota skuad yang menyedot perhatian pada perhelatan ASEAN Football Championship 2020 akhir 2021 dan awal 2022 ini. Ia tampil memukau pada ajang sepak bola bergensi di Asia Tenggara itu. Mengiringi kesuksesannya tersebut, terbentang kisah perjuangan panjang diwarnai pengorbanan.
Humaidi (49) sangat girang menjelang akhir 2021 dan awal 2022 ini. Untuk sejenak, ia menarik napas dari hiruk-pikuk menjual sayur dan air minum isi ulang. Penantiannya pada malam saat putranya Witan Sulaeman berlaga di lapangan hijau mengenakan pakaian kebanggaan Tim Nasional Indonesia lebih besar daripada para pencinta bola se-Tanah Air. Jelas, ia salah satu dari yang paling gembira melihat putranya berlaga pun menyaksikan timnas bermain hingga melaju ke final meskipun akhirnya kalah dari Thailand.
Tak ingin merasakan sendiri kegembiraan, Humaidi dan istrinya, Nurhayati (45), membagi kebahagiaan tersebut dengan menggelar nonton bareng warga sekitar untuk setiap pertandingan timnas di ASEAN Football Championship (AFF) 2020 lalu yang diselenggarakan di Singapura. Gang kecil di Jalan Ganogo, Kelurahan Bayoge, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, riuh selama hampir tiga minggu.
”Tak terbayang dulu Witan jadi seperti ini, tetapi kami memang sudah mengarahkan dia untuk hidup di bola. Alhamdulilah, usaha itu terwujud,” tutur Humaidi pada akhir Desember 2021 tentang kiprah putranya.
Witan yang lahir di Palu, 8 Oktober 2001, memang sudah akrab dengan bola sejak belia. Sering bermain di halaman Masjid Agung, Palu, waktu masih kanak-kanak, ia lalu bergabung dengan klub sepak bola di masjid besar itu. Witan bersama teman-temannya berlatih bola di halaman masjid yang luasnya seperti lapangan sepak bola.
Dari situ, Humaidi sudah melihat tanda. Anaknya suka bola, meskipun soal masa depan masih misteri.
Untuk mempertajam keterampilan olah bola, Witan yang menjadi raja asis pada AFF 2020 dengan lima asis bergabung dengan Klub Galara yang saat ini menjadi Sekolah Sepak Bola (SBB) Galara sejak kelas III sekolah dasar. Tempat latihan klub berjarak 1 kilometer dari rumahnya. Itu lebih terjangkau ketimbang ke Masjid Agung yang berjarak 5 kilometer. Bakat Witan makin berkembang di Galara dengan sistem pelatihan lebih teratur.
Untuk menjaga kesinambungan, Humaidi memasukkan Witan ke SMP Negeri 2, salah satu sekolah yang memiliki rekam jejak sepak bola bagus di Palu. Di bangku sekolah menengah tersebut, kemampuan Witan ditempa dalam berbagai kompetisi, baik di tingkat kota, provinsi maupun nasional. Ia, misalnya, menjadi anggota tim U-14 Sulteng pada ajang Piala Kementerian Pemuda dan Olahraga, 2015. Witan, yang sejak awal kariernya berposisi sebagai gelandang serang atau penyerang sayap, juga pernah menjadi pencetak gol terbanyak (top scorer) pada kompetisi antarsekolah di Sulteng pada 2015.
Tak terbayang dulu Witan jadi seperti ini, tetapi kami memang sudah mengarahkan dia untuk hidup di bola. (Humaidi)
Lompatan kiprah Witan terjadi saat adanya seleksi pemain Timnas U-14 yang dilakukan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Dia bersama dengan empat orang lainnya dari Palu lolos dalam seleksi tersebut. Mereka mengikuti pelatihan terpusat selama enam bulan di Jakarta.
Karena besarnya keinginan untuk bermain bola dan berkat rekomendasi PSSI Kota Palu, Witan melamar dan diterima di Sekolah Khusus Olahragawan (SKO) NasionalRagunan, Jakarta. Di sekolah khusus untuk talenta olahraga itu, Witan makin berkembang. Di sekolah yang melahirkan mantan pesepak bola Bambang Pamungkas tersebut, Witan bertemu pesepak bola Egy Maulana Vikri yang juga bagian dari Timnas Indonesia pada Piala AFF 2020 lalu. Bersama anggota skuad dari SKO Ragunan, Witan makin sering diuji dalam berbagai kompetisi.
Sepak terjang Witan di SKO Ragunan menarik perhatian Indra Sjafri yang waktu itu melatih Timnas U-19. Ia pun menjadi anak asuh Indra. Pelatih tersebut menjadi salah satu tokoh penting bagi Witan dalam membuka kotak pandora karier sepak bolanya.
Dari situ pula, mantan pemain Radnik Surdulica, Serbia, tersebut memasuki karier profesional. Ia dikontrak Perserikatan Sepak Bola Indonesia Mataram (PSIM) Yogyakarta. Di klub yang saat ini berlaga di Liga 2 itu pula kiprah Witan terus berkilau, mulai dari berlaga untuk klub Serbia, Radnik Surdulica, hingga ke klub Polandia Lechia Gdansk saat ini yang baru-baru dipinjamkan ke FK Senica (Slowakia). Kiprahnya itu pun tak membuat ragu pelatih timnas Shin Tae-yong di ajang Piala AFF 2020 kemarin. Witan menjadi salah satu pemain yang selalu diturunkan Shin Tae-yong di delapan laga bersama timnas Indonesia.
Semua proses menjadi pemain bola profesional hingga menjadi bintang diikuti Witan dengan kekuatan tekad dan ketekunan, di samping bakat dan keterampilan (ilmu) tentang bola. Jika saja kekuatan-kekuatan tersebut tak menjadi elan perjuanganya, bisa saja Witan tak menjadi seperti saat ini. ”Witan contoh pemain yang punya bakat besar. Dipadukan dengan ilmu yang didapat selama pelatihan ditambah kekuatan keinginan menjadi pemain bola tidak heran jika dia terus berkembang. Dia sangat menonjol sejak bersama kami,” kata Husen (45), pelatih di SBB Galara yang sempat mengasuh Witan.
Humaidi juga melihat sejak kecil Witan memang memiliki kemauan tinggi untuk menjadi pemain bola profesional. Jika dia sendiri tak punya modal besar itu, semua proses yang harus dilalui yang cukup menguras tenaga barangkali menguap begitu saja. ”Dia memang ingin hidup untuk dan dari sepak bola,” tutur pria asal Nusa Tenggara Barat yang datang ke Sulteng sebagai transmigran itu.
Witan tidak bisa menyampaikan di jenjang mana dirinya sangat berkembang sebagai pemain bola. Ia melihat semua proses sejak usia dini hingga menjadi pesepak bola profesional rangkaian penting untuk membentuk hidup seorang pemain bola. Bahkan, di luar jadwal latihan formal pun, anak kedua dari tiga bersaudara itu selalu menyempatkan diri bermain bola bersama teman sebaya di lingkungan sekitar rumah, baik di jalan maupun di lahan kosong.
Pengorbanan
Tak ada kesuksesan tanpa pengorbanan. Hal sama pun mengiringi langkah Witan menjadi pemain sepak bola profesional.
Pada 2016, ketika mau berangkat ke SKO Ragunan, Jakarta, Witan membutuhkan biaya yang tak sedikit. Tak mau peluang emas putranya sirna, Humaidi menjual mobil tuanya. Hasilnya terkumpul Rp 20 juta. Uang itu pun belum sepenuhnya bisa mengongkosi perjalanan Witan ke Ragunan. ”Saya hubungi keluarga di Kalimantan dan Nusa Tenggara Barat, mereka bisa bantu sedikit-sedikit,” tutur Humaidi, yang menikah dengan Nurhayati (45) yang berasal dari Kalimantan Timur.
Pengorbanan Humaidi juga tak hanya terjadi di gerbang akhir menuju karier cemerlang Witan. Selama mengikuti latihan di Klub Galara semasa SD-SMP, Humaidi sering rela tak menjual sayur hanya untuk mengantar anaknya ke lapangan dan menyaksikannya berlatih. Hal itu tentu berdampak pada penghasilan keluarga. Namun, itu dijalani Humaidi dan keluarga untuk masa depan Witan yang mencetak dua gol selama AFF 2020.
Seiring kesuksesan Witan, pengorbanan Humaidi berbuah hasil. Bak kacang tak lupa kulit, Witan membalas pengorbanan keluarganya. Pada 2018, Humaidi dan Nurhayati pergi umrah ke Arab Saudi atas biaya Witan. Dari jerih payah Witan pula, Humaidi membeli mobil pikap untuk mendukung usaha penjualan sayurnya. Mobil itu pula yang dipakai menjemput Witan saban dia pulang kampung ke Palu. Witan juga menambah unit usaha keluarganya dengan membangun depot air isi ulang. ”Semua ini dari kerja keras Witan,” tutur Humaidi.
Witan barangkali contoh bagaimana kita memperjuangkan sebuah impian dengan ketekunan, kekuatan tekad, dan pengorbanan orang-orang tersayang menjadi bagian penting dari proses meraih mimpi tersebut. Tentu itu proses yang berliku dan tidak instan.