Menempa Asa Menjadi Witan Sulaeman Berikutnya
Pembinaan sepak bola usia dini perlu mendapat perhatian semua pihak di Palu, Sulawesi Tengah, untuk menciptakan bibit pesepak bola hebat, seperti Witan Sulaeman.
Seorang pelatih memberikan instruksi kepada peserta Sekolah Sepak Bola Beringin Putra, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Senin (24/1/2022), saat berlatih sepak bola di lapangan. Palu memiliki bibit sepak bola menjanjikan, terbukti dengan suksesnya pesak bola Witan Sulaeman yang berasal dari Palu.
Sejumlah anak bergairah berlatih sepak bola di sekolah sepak bola Kota Palu, Sulawesi Tengah. Mereka ingin merintis jalan yang pernah dilalui pesepak bola Witan Sulaeman. Namun, banyak rintangan menghadang jalan mereka yang harus menjadi perhatian banyak pihak.
Setelah menerima bola dari sisi kanan di luar kotak penalti, dengan sekali menahannya, Ahmad Gival (15) menendang bola dengan kaki kanan ke sudut kanan gawang lawan. Bola tak bisa dijangkau penjaga gawang. Gelandang serang tersebut merayakan kesuksesannya mencetak gol dengan mengepalkan kedua tangannya di depan dada.
Ahmad, yang saat ini duduk di kelas III sekolah menengah pertama, menjadi salah satu peserta di Sekolah Sepak Bola (SSB) Galara, Kelurahan Bayoge, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulteng. Ia bergabung dengan SSB tersebut sejak 2019. Ia menempuh perjalanan sekitar 8 kilometer dari rumahnya di Desa Binangga, Kecamatan Marawola, Kabupate Sigi, tiga kali seminggu untuk berlatih sepak bola dengan menumpang sepeda motor temannya.
Akhir-akhir ini, semangat Ahmad makin terlecuti. Itu lantaran menjalarnya energi positif setelah menyaksikan pesapak bola asal Kota Palu, Witan Sulaeman (21), berlaga dengan kostum Timnas Indonesia di ajang ASEAN Football Championship (AFF) pada akhir 2021 dan awal 2022 ini. Ia selalu menonton laga timnas selama kejuaraan tersebut yang di setiap pertandingannya Witan selalu turun.
Baca juga: Karut-marut Sepak Bola Usia Muda
”Insya Allah, saya mau seperti Witan. Saat nonton Witan main bola, saya sangat senang dan berharap saya bisa seperti itu suatu saat nanti,” tutur Ahmad saat ditemui seusai latihan pada pertengahan Januari 2022 di Lapangan Galara yang menjadi tempat latihan SSB Galara.
Ahmad ingin menekuni sepak bola. Ia berkomitmen untuk terus berlatih. ”Di luar jadwal latihan di SSB, saya juga berlatih bersama teman-teman di kampung,” ujarnya yang mengaku bapaknya bekerja sebagai tukang ojek.
Gairah sama juga merasuki Andi Dikan (15) di SSB Beringin Putra, Kelurahan Nunu, Kecamatan Palu Barat, Palu. Ia sangat termotivasi menyaksikan Witan berlaga pada AFF 2020. Apalagi, dia ikut nonton bareng di rumah orangtua Witan yang tidak jauh dari rumahnya selama AFF. ”Saya mau kerja keras berlatih bola. Saya sangat semangat setelah menonton Witan main,” ujar siswa SMA Negeri 1 Palu itu yang baru saja pindah SSB.
Baca juga: Nasib Prihatin Pelatih Sepak Bola di Akar Rumput
Ahmad dan Andi, dua dari banyak anak yang saat ini berlatih sepak bola di sejumlah SSB di Kota Palu. Berdasarkan data Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Kota Palu, ada sekitar 15 SSB di Palu dengan masing-masingnya membina calon pesepak bola dari kategori umur 13 tahun (U-13), U-15, dan U-17. Jumlah peserta di SSB tidak bisa dipastikan. Sebagai gambaran, SSB Beringin Putra membina sekitar 70 anak. Dengan gambaran tersebut, tidak kurang dari 1.000 anak saat ini menempa diri di SSB.
Sejak Witan menjadi pesepak bola profesional dan membuat lima asis dan serta gol pada ajang AFF 2020 lalu, anak-anak di Palu bergairah mengikuti latihan bola di SSB. ”Munculnya Witan di kancah internasional membawa kegairahan kepada anak-anak untuk giat berlatih sepak bola,” ujar Pelatih SBB Beringin Putra Jalaludin Ma’in Lembah, yang juga mantan pemain Arema Malang, Jawa Timur.
Munculnya Witan di kancah internasional membawa kegairahan kepada anak-anak untuk giat berlatih sepak bola. (Jalaludin Ma’in)
Sebelum era Witan, pemain lain asal Sulteng yang berkiprah di timnas adalah penjaga gawang Ferry Rotinsulu dan Djet Donald pada era 2000-an. Sejumlah bakat lain berlaga di klub-klub Liga 1, antara lain Sandi Sute (Arema) dan Fadil Sausu (Bali United).
Asa anak-anak untuk berkiprah seperti Witan nanti masih dihadang sejumlah kendala pembinaan sepak bola usia dini. Dari sisi kompetisi, belum ada kejuaraan yang digelar secara berkelanjutan untuk mengasah keterampilan dan pengalaman bertanding para pemain remaja itu. Saat ini, terdapat kompetisi untuk U-13, U-15, dan U-17 yang digelar oleh pihak swasta dan mulai bergulir pada akhir 2021. Sebelumnya, sempat terjadi kekosongan kompetisi sejak 2016. Padahal, sepak bola tanpa kompetisi yang berkesinambungan sama saja bohong.
Dari segi fasilitas, berdasarkan pengamatan di SSB Galara dan SSB Beringin Putra, latihan berjalan ala kadarnya. Latihan fisik, misalnya, hanya terkait dengan atletik, seperti lari. Tidak ada latihan beban dengan perlengkapan angkat beban sebagaimana di SSB modern umumnya. Hal itu tentu berpengaruh pada kekuatan fisik anak-anak.
Baca juga: Kompetisi Usia Dini Menjadi Fondasi Membangun Tim Nasional
SSB tidak bisa penuhi semua fasilitas latihan karena keterbatasan anggaran. SSB sejauh ini masih bertumpu pada iuran peserta sebesar Rp 2.000-Rp 4.000 per orang setiap latihan. Contoh di SSB Galara, dengan jumlah peserta 50 orang, untuk sekali latihan diperoleh Rp 150.000. Uang yang sama dipakai untuk operasional latihan, seperti membeli air minum, rompi, kas SSB, honorarium para pelatih, dan uang pendaftaran saat mengikuti turnamen.
Ganjalan lainnya adalah ekonomi orangtua anak-anak peserta SSB. Sebagian anak berasal dari keluarga kurang mampu. Selain pengeluaran rutin untuk operasional SSB, seorang anak membutuhkan biaya tak sedikit untuk mewujudkan mimpinya menjadi pesepak bola profesional melalui berbagai seleksi. Untuk ke Sekolah Olahragawan (SKO) Nasional Ragunan, Jakarta, misalnya, butuh biaya cukup besar seperti biaya transportasi dan akomodasi sebelum dipastikan lolos mendalami olahraga di sekolah khusus, seperti jalan yang diambil Witan. Pendidikan di sekolah tersebut memang gratis.
Ketua PSSI Kota Palu Akram Agus mengakui tidak bisa menghasilkan Witan-Witan selanjutnya jika kompetisi tidak ada dan tidak dikelola dengan baik. Selain mempertahankan liga yang dikelola pihak swasta, pihaknya segera menggulirkan Liga Primer di Palu. Jika liga yang dikelola pihak swasta diikuti SSB dan klub yang berjenjang dari kota/kabupaten dalam empat zona di Sulteng, untuk lalu berkompetisi di tingkat provinsi, Liga Primer diwakili kecamatan. Setiap kecamatan menyertakan dua tim dengan pemain paling tua berumur 19 tahun (U-19).
Untuk keterbatasan anggaran di SSB dan kendala ekonomi keluarga yang anaknya ada di SSB, Akram menyampaikan, hal itu memang butuh perhatian semua pihak yang ingin membangun dunia sepak bola secara khusus dan pembinaan karakter generasi muda secara umum. Selama ini, perhatian tersebut belum tampak. PSSI Kota Palu, misalnya, pada 2021 hanya mengelola anggaran Rp 25 juta.
Di masa depan, kata Akram, klub-klub profesional perlu diatur agar mereka berkontribusi terhadap SSB asal pemain yang mereka rekrut. Itu bentuk tanggung jawab klub terhadap pembinaan sepak bola usia dini.
Sebenarnya anggaran untuk memfasilitasi SSB dan kompetisi tidak menjadi kendala jika melihat aksi simpatik seketika berupa iming-iming hadiah untuk seorang atlet berjaya pada sebuah ajang. Witan, misalnya, dihadiahi satu rumah dengan taksiran harga Rp 200 juta oleh Gubernur Sulteng Rusdy Mastura ketika ia membawa timnas ke final AFF 2020 lalu.
Barangkali, hadiah itu baik untuk memotivasi dan bentuk apresiasi untuk atlet bersangkutan, tetapi seharusnya pembinaan calon-calon atlet sama pentingnya, termasuk yang masih meraba-raba mimpi di SSB. ”Sebaiknya perhatian terhadap atlet, termasuk di sepak bola, dimulai dari usia dini. Ya, ketika mereka di SSB. Jangan hanya saat mereka sudah jadi,” ujar Pelatih SBB Galara Husen, yang mengasuh Witan saat masih usia dini.
Baca juga: Pembinaan Usia Dini Juga Membentuk Kepribadian dan Karakter Anak
Rusdy memastikan pemerintah memperhatikan pembinaan sepak bola, tetapi anggaran terbatas untuk tujuan tersebut. Pemerintah membuka peluang keterlibatan sponsor untuk pembinaan olahraga. ”Untuk itu, induk organisasi, termasuk sepak bola, harus memperbaiki organisasi, memperbaiki kompetisi. Sponsor pasti akan datang,” katanya.
Hadiah yang diberikan kepada atlet, termasuk rumah untuk Witan baru-baru ini, lanjut Rusdy, bertujuan untuk memotivasi calon atlet agar tekun berlatih. Bibit-bibit sepak bola, misalnya, jika mereka berbakat akan direkrut oleh klub, terutama klub lokal yang saat ini berkiprah di liga nasional, seperti Persatuan Sepak Bola Palu (Persipal) yang berlaga di Liga 3. Di klub mereka akan jadi atlet profesional.
Selain Persipal, klub profesional lainnya di Kota Palu adalah Palu Putra FC dan Celebest FC. Keduanya tersisih saat tampil di Liga 3 tahun ini.
Baca juga: Bangun Budaya Baru Sepak Bola
Khusus untuk bibit-bibit sepak bola, Witan berpesan agar mereka serius berlatih dan bertanding selama mengikuti kejuaraan (kompetisi). Itu penting untuk menambah pengalaman bertanding dan pengelolaan mental. ”Sebagai pemain, kita harus siap diri sejak kecil,” katanya.
Witan-Witan masa depan tentu akan muncul terus dengan syarat adanya perhatian besar pada pembinaan sepak bola usia dini. Semua pihak perlu berkontribusi agar harapan anak-anak di SBB saat ini tidak menguap ditelan waktu.