Keberagaman Seharusnya Menjadi Nada Indah Kebersamaan
Dinamika masyarakat terkait etnisitas dan fundamentalisme agama mencuat di Jawa Barat. Seluruh pihak harus berhati-hati dan menyikapinya dengan bijak dengan mengedepankan nilai keberagaman.
Sejumlah pihak khawatir terhadap pudarnya nilai keberagaman dengan munculnya orasi Maklumat Sunda di Subang hingga Deklarasi Negara Islam Indonesia atau NII di Garut, Jawa Barat. Padahal, nilai saling menghargai dalam keberagaman menjadi harmoni dalam menciptakan kebersamaan bangsa.
Kekhawatiran ini tergambar dalam pertemuan sejumlah tokoh Sunda di Gedung Pascasarjana Universitas Pasundan, Kota Bandung, Sabtu (5/2/2022). Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil ada bersama lebih dari 20 tokoh hadir untuk mendiskusikan dinamika tersebut.
Secara garis besar, para inohong (tokoh) ini mendiskusikan fenomena kehidupan kemasyarakatan yang memprihatinkan. Meskipun tertutup, di balik kaca jendela tergambar mimik muka serius dari setiap peserta diskusi yang dimulai sekitar pukul 11.00 ini.
Baca juga: Dari Bumi Priangan untuk Dunia
Setelah dua jam lebih berdiskusi, mereka pun sepakat dan mengeluarkan pernyataan sikap yang dibacakan Ketua Umum Pengurus Besar Paguyuban Pasundan Didi Turmudzi. Dua isu besar yang mereka soroti adalah orasi Maklumat Sunda dan Deklarasi Negara Islam Indonesia.
Didi menyatakan, nilai-nilai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara tercabik-cabik atas kepentingan dan egoisme kelompok sehingga memunculkan etnosentrisme hingga fundamentalisme agama.
Narasi terkait Maklumat Sunda ini muncul di tengah masyarakat dalam beberapa pekan terakhir. Sejumlah pihak mengadakan pertemuan di Subang dan mendeklarasikan Provinsi Sunda dengan alasan agar rakyat Sunda sejahtera.
”Dalam Maklumat Sunda ada yang menyampaikan terkait penggabungan tiga provinsi yang menjadi Provinsi Sunda Raya. Orasi ini hanya ilusi dan romantika sejarah yang tidak berdasar,” papar Didi.
Ketiga provinsi ini antara lain Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat. Menurut Didi, ketiga provinsi ini masih mampu menjalankan otonomi daerah dengan baik sehingga tidak ada dasar kuat menggabungkan tiga wilayah tersebut.
”Harapan dan aspirasi masyarakat di tatar Sunda yang riil dan rasional sesungguhnya bukan meminta otonomi khusus, melainkan pemekaran yang akan berdampak bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat,” ujar Didi.
Ridwan Kamil pun angkat bicara terkait hal tersebut. Dia menyatakan, pihaknya dan para tokoh Sunda yang hadir pada saat itu menolak berdirinya Provinsi Sunda.
”Terkait deklarasi itu, para inohong juga ketua organisasi masyarakat tidak menyetujui penggabungan tiga provinsi menjadi Provinsi Sunda. Yang kami lebih perjuangkan itu pemekaran,” ujarnya.
Jika merunut lebih jauh, isu terkait identitas kesukuan, terutama Sunda, ini mencuat di tengah masyarakat setelah seorang anggota DPR, Arteria Dahlan, memprotes salah satu rapat di lingkungan kejaksaan tinggi yang menggunakan bahasa Sunda.
Meskipun Arteria telah meminta maaf, pernyataannya kadung menyinggung sejumlah pihak, terutama masyarakat Sunda. Tidak lama setelah itu muncullah Maklumat Sunda dengan narasi etnis tersebut terpinggirkan di tanah sendiri.
Permasalahan kebangsaan terkait identitas lainnya juga bisa dilihat dari deklarasi Negara Islam Indonesia (NII) di media sosial dalam beberapa waktu terakhir. Kepolisian telah menangkap tiga tersangka dan menunjukkan barang bukti bendera berwarna merah dan putih dengan bulan sabit serta bintang di tengahnya.
Didi berharap setiap pemangku kepentingan tidak menggeneralisasi gerakan tersebut dengan label agama Islam sehingga mengidentikkan Islam yang radikal dan teroris. ”Diperlukan sikap arif dan bijaksana dalam menyikapi gerakan dan manuver terkait oknum-oknum yang mengatasnamakan Islam,” ujarnya.
Identitas politik
Rektor Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM) Suryalaya Tasikmalaya Asep Salahudin mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati dalam menanggapi isu terkait identitas politik tersebut. Pemaknaan identitas yang sempit bisa menjadi pemantik pemecah belah di tengah masyarakat yang jauh dari nilai keberagaman.
”Kita harus berhati-hati dalam membaca persoalan identitas politik. Identitas yang diajukan kepada semangat etnisitas bisa mengoyak kekitaan. Padahal, kita sudah selesai dengan isu keberagaman tersebut,” ujarnya.
Karena itu, Asep menyayangkan isu terkait identitas yang mencuat di masyarakat terlalu disikapi tergesa-gesa. Namun, dia juga prihatin dengan adanya tokoh politik yang tidak bijak dalam menyampaikan pendapat dan ternyata menyinggung sejumlah masyarakat.
”Pernyataan seorang anggota DPR itu melambangkan politisi yang belum matang. Tetapi, kita juga perlu berhati-hati, jangan-jangan di luar sana ada banyak orang yang mirip dia dalam artikulasi politik dan sebagainya. Ini adalah fenomena gunung es,” ujarnya.
Isu keberagaman ini telah rampung saat Sumpah Pemuda dikumandangkan hampir seabad lalu. Asep mengingatkan, kala itu, tahun 1928, pemuda dari latar belakang agama dan suku melepas atribut identitas mereka dan bersatu dalam bangsa, tanah air, dan bahasa yang satu, Indonesia.
”Dalam sumpah pemuda itu, yang diucapkan adalah bangsa, tanah air, dan bahasa. Mereka tidak pernah berbicara satu etnis atau agama. Para pendahulu, dengan bekal imajinasi yang kuat, bisa merekatkan keindonesiaan sehingga kita terus berproses menuju kemerdekaan,” ujarnya.
Asep juga mengingatkan seluruh pihak untuk mewaspadai gerakan NII. Untuk menangkal hal tersebut, masyarakat perlu diingatkan kembali tentang kesepakatan yang tertuang untuk bersatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
”NII itu bukan hanya fantasi. Kita harus melakukan kontra narasi sehingga masyarakat kembali ke lajur keagamaan dan kebangsaan yang lapang dan inklusif. Ingatkan kembali tentang perjuangan para founding father kita, bagaimana mereka legowo dalam menanggalkan eksklusivitas,” ujarnya.
Keberagaman sebagai nada
Direktur Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian Institut Nawangwulan Wawan Gunawan berpendapat, permasalahan terkait keberagaman ini harus disikapi dengan bijak. Apalagi, keberagaman dan multikulturalisme di Indonesia adalah sebuah keniscayaan.
Menurut Wawan, budaya merupakan sebuah akal budi, sistem kearifan yang menyesuaikan dengan kondisi di setiap wilayah yang bertumpu pada akal sehat. Kebudayaan sebuah daerah dikonstruksi oleh lingkungan dan ruang geografis dan berimbas terhadap perbedaan antara satu suku dengan lainnya.
Baca juga: Menyemai Benih Toleransi dan Kepemimpinan dari Pesantren di Bandung
”Keberagaman ini adalah kekayaan, voice (suara), yang butuh didengar, bukan noise (kebisingan). Ini bisa menjadi orkestrasi sehingga menjadi lagu yang baik dan nada yang indah. Semua punya potensi yang beragam,” ujarnya.
Karena itu, lanjut Wawan, literasi kebudayaan dan pendidikan multikultural itu dibutuhkan agar setiap orang saling mengerti dan menghargai. Masyarakat akan melihat dari sudut pandang yang positif jika ada pendidikan keberagaman.
”Saya melihat transformasi nilai-nilai kebudayaan itu ada di pendidikan. Jadi, pendidikan multikultural ini jantung yang penting untuk memelihara keberagaman di antara masyarakat,” ujarnya.
Jika masyarakat bisa saling menghargai di dalam keberagaman, tidak akan ada nada sumbang karena salah satu pihak menganggap diri lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya. Semuanya akan menjadi harmoni dalam nada persatuan demi kemajuan bangsa.