Lahar Hujan Gunung Merapi, Antara Berkah dan Ancaman
Selain awan panas dan guguran lava, Gunung Merapi menyimpan ancaman lain berupa banjir lahar hujan. Perlu upaya mitigasi serius agar lahar hujan itu tak terus menimbulkan korban dan kerugian material.
Selain awan panas dan guguran lava, Gunung Merapi di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah menyimpan ancaman lain berupa banjir lahar hujan. Aliran lahar itu telah memakan korban jiwa dan menimbulkan kerugian material. Perlu upaya mitigasi serius agar tak ada lagi korban akibat banjir lahar hujan.
Sekitar 20 orang berada di lokasi pertambangan pasir di Sungai Boyong, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jumat (4/2/2022) pagi. Sebagian dari mereka sedang mengumpulkan pasir, sementara sebagian lainnya menaikkan batu ke dalam bak truk. Tak tampak kecemasan di wajah para penambang itu meski sehari sebelumnya terjadi banjir lahar hujan dari Gunung Merapi di lokasi tersebut.
Banjir lahan hujan yang terjadi pada Kamis (3/2/2022) sekitar pukul 12.30 itu sempat membuat 24 truk pengangkut pasir terjebak. Kondisi itu terjadi karena ada sejumlah truk yang mengalami patah as sehingga tak bisa meninggalkan lokasi. Karena jalan keluar dari lokasi pertambangan itu sempit, truk-truk lain pun ikut terjebak. Beruntung tak ada korban jiwa dan truk-truk yang terjebak juga telah dievakuasi.
Banjir lahan hujan merupakan banjir yang membawa aliran material vulkanik dari gunung api yang berupa campuran pasir, batu, dan kerikil. Peristiwa itu biasanya terjadi karena adanya hujan deras yang turun di wilayah puncak gunung api. Aliran lahar hujan bisa membahayakan orang-orang yang beraktivitas di sekitar sungai-sungai yang berhulu ke gunung api.
Baca juga: Banjir Lahar Hujan Gunung Merapi, 24 Truk Pengangkut Pasir Sempat Terjebak
Meski bisa membahayakan, banjir lahar hujan di Sungai Boyong pada Kamis kemarin ternyata tak membuat para penambang gentar. Sehari sesudah peristiwa itu, aktivitas penambangan di lokasi tersebut sudah normal kembali. Para penambang kembali beraktivitas mengumpulkan pasir dari alur sungai yang berlokasi di Dusun Ngepring, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, itu.
Salah seorang penambang pasir di Sungai Boyong, Giyanto (43), menuturkan, para penambang sudah terbiasa dengan kejadian banjir lahar hujan dari Gunung Merapi. "Yang pasti kami tetap waspada. Kalau masalah khawatir, kami sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Sementara kami kan juga punya keluarga yang harus dipenuhi kebutuhannya," kata warga Dusun Ngepring itu.
Baca juga: Truk Terjebak Banjir Lahar Hujan Gunung Merapi
Giyanto menyebut, para penambang pasir sudah memahami gejala alam yang bisa menjadi penanda bakal terjadinya banjir lahan hujan. Salah satu penanda itu adalah mendung di area puncak Gunung Merapi. “Kalau misalnya di puncak Merapi mendung atau hujan, kami secara otomatis sudah minggir (berhenti menambang) karena tahu dengan kondisi,” tuturnya.
Untuk mengantisipasi banjir lahar hujan, sejumlah warga setempat juga ditugaskan mengawasi wilayah aliran Sungai Boyong yang berada di atas atau lebih dekat dengan puncak Merapi. Jika terlihat tanda-tanda banjir lahar hujan, para pengawas itu akan memberi tahu para penambang agar segera keluar dari lokasi pertambangan.
Bagi saya, bahaya yang jauh lebih menakutkan dan mengancam adalah bahaya dapur tidak ngebul
Sandaran hidup
Dengan sistem semacam itu, para penambang cukup percaya diri melakukan penambangan pasir di Merapi meski ada ancaman banjir lahar hujan. Apalagi, aktivitas pertambangan pasir di Merapi menjadi sandaran hidup bagi banyak orang.
Menurut Giyanto, jumlah penambang pasir di Sungai Boyong di Dusun Ngepring mencapai sekitar 300 orang. Namun, sebagian dari mereka merupakan penambang musiman yang hanya menambang pasir pada saat-saat tertentu. Mereka melakukan penambangan secara manual, bukan dengan alat berat seperti eskavator.
Giyanto menuturkan, sehari-hari dirinya menambang pasir bersama kakak perempuannya. Dia menyebut, pasir sebanyak 5 meter kubik atau satu truk dijual dengan harga Rp 250.000. Dalam sehari, Giyanto dan kakaknya bisa menjual pasir sebanyak satu hingga tiga truk.
Aktivitas pertambangan pasir itu juga dilakukan di lereng Merapi di wilayah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Seperti di Sleman, pertambangan pasir di Magelang juga berada dalam bayang-bayang ancaman lahar hujan Merapi.
Baca juga: Dua Alat Berat Dikerahkan, Korban Banjir Lahar Merapi Belum Ditemukan
Bahkan, pada 1 Desember 2021, seorang sopir truk pasir terseret banjir lahar hujan di Sungai Bebeng, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang. Korban akhirnya ditemukan dalam kondisi meninggal beberapa hari kemudian. Namun, kejadian itu tak menghentikan aktivitas pertambangan pasir di lereng Merapi.
Salah seorang penambang di Magelang, Heru (48), mengaku tidak terlalu khawatir dengan potensi bahaya lahar hujan dari Merapi. Secara berkelakar, Heru mengaku lebih khawatir jika tak mendapat pemasukan untuk menafkahi keluarganya. “Bagi saya, bahaya yang jauh lebih menakutkan dan mengancam adalah bahaya dapur tidak ngebul,” ujarnya.
Heru mengaku telah bekerja sebagai penambang pasir sejak usia belasan tahun. Sehari-hari, Heru menambang pasir bersama tiga hingga empat penambang lain. Untuk satu muatan truk pasir, masing-masing penambang mendapatkan upah Rp 100.000.
Penambang pasir lainnya, Yudi (51), menuturkan, informasi tentang ancaman bahaya dari Merapi biasanya akan langsung tersebar luas di kalangan penambang dan sopir truk pasir. Selain itu, pada musim hujan, para penambang biasanya menghindari menambang setelah pukul 12.00. “Di musim hujan, kami sengaja menambang mulai dini hari hingga siang hari saja untuk menghindari hujan,” tuturnya.
Sopir truk pengangkut pasir di Magelang, Wawan (43), mengaku selalu membawa alat komunikasi handy talkie (HT) untuk memantau informasi terkait Merapi. Apalagi, Wawan biasa bekerja mengangkut pasir dari alur sungai yang berjarak sekitar 3 km dari Gunung Merapi.
“Informasi tentang bahaya di sekitar gunung seperti erupsi atau banjir lahar biasanya langsung tersampaikan lewat HT. Biasanya saya langsung turun saat informasi pertama terdengar,” kata Wawan yang mendapat upah Rp 200.000 hingga Rp 500.000 untuk sekali mengantar pasir.
1 juta meter kubik
Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Hanik Humaida mengatakan, berdasar pemantauan pada Desember 2021, ada sekitar 1 juta meter kubik material vulkanik dari Gunung Merapi yang berada di sejumlah alur sungai. Banyaknya material vulkanik itu karena Merapi sedang dalam fase erupsi sejak 4 Januari 2021. Sejak 5 November 2020, Merapi juga masih berstatus Siaga (Level III).
Fase erupsi Merapi itu ditandai dengan keluarnya awan panas dan guguran lava. Sebagian material awan panas dan guguran lava itu kemudian mengendap di alur-alur sungai yang berhulu ke Merapi. Apabila terjadi hujan di area puncak Merapi, material vulkanik itu bisa terbawa air menjadi banjir lahar hujan.
“Makanya kalau ada hujan di puncak Merapi, langsung kami informasikan agar ada kehati-hatian dari masyarakat,” kata Hanik.
Baca juga: Radius Bahaya Erupsi Merapi Diperluas, Warga Belum Perlu Mengungsi
Kepala Bidang Logistik dan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sleman Bambang Kuntoro mengatakan, para penambang pasir di lereng Merapi sudah berkali-kali diimbau untuk mewaspadai aliran lahar hujan. Sebagian penambang biasanya juga telah membekali diri dengan HT untuk mengetahui perkembangan terkini aktivitas Merapi.
Oleh karena itu, apabila terjadi hujan deras di wilayah puncak Gunung Merapi, para penambang biasanya langsung mendapat informasi sehingga bisa menyelamatkan diri. “Harusnya ketika hujan lebat mereka dapat informasi dari radio komunikasi sehingga bisa menyingkir,” ujar Bambang.
Para penambang harus "titen" (peka) dengan tanda-tanda hujan di Merapi. Selain itu, BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) kan juga melaporkan prakiraan hujan
Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Magelang Edi Wasono menyatakan, Pemkab Magelang sebenarnya sudah mengeluarkan surat edaran berisi imbauan untuk menghentikan aktivitas penambangan pasir selama Merapi masih berstatus Siaga. Namun, karena hanya bersifat imbauan, surat edaran itu seringkali diabaikan oleh pelaku penambangan.
“Kami hanya bisa mengimbau karena kewenangan atas kegiatan penambangan ada pada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah,” katanya.
Kepala Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada, Agung Harijoko, mengatakan, banjir lahar hujan sangat berbahaya karena tidak hanya membawa air tapi juga material pasir, kerikil, dan batu. Dengan komposisi material semacam itu, kekuatan banjir lahar hujan lebih besar dibanding dengan banjir biasa.
Namun, Agung menilai, aktivitas pertambangan pasir di lereng Merapi sulit dihentikan meski ada ancaman banjir lahar hujan. Hal ini karena pertambangan pasir itu menjadi sumber penghasilan bagi banyak orang. Oleh karena itu, perlu upaya mitigasi agar banjir lahan hujan dari Merapi tidak menimbulkan lagi korban jiwa dan kerugian material.
“Perlu upaya untuk memantau cuaca karena pemicu terjadinya banjir lahar hujan itu kan hujan. Para penambang harus titen (peka) dengan tanda-tanda hujan di Merapi. Selain itu, BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) kan juga melaporkan prakiraan hujan,” ujar Agung.
Apabila mitigasi bisa dilakukan dengan baik, lahar hujan sebenarnya bisa menjadi berkah karena material pasir dan batu yang terbawa bisa ditambang oleh masyarakat. Oleh karena itu, berbagai pihak perlu terus diingatkan untuk melakukan mitigasi dengan baik agar kerugian akibat lahar hujan dari Gunung Merapi bisa dicegah.