Kota Sorong sebagai kota bersama harus terus dijaga agar terus tumbuh dan maju. Semua pihak perlu mengambil peran untuk membangun kesadaran tersebut.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·5 menit baca
Sejak lama, Kota Sorong, Papua Barat, menjadi titik temu orang dari beragam latar belakang. Multikulturalisme menjadi bagian penting dari detak kehidupan di kota berpenduduk 280.000 jiwa tersebut. Semua elemen perlu terus diingatkan untuk menjaga agar kota itu benar-benar menjadi milik semua orang yang hidup damai dalam perbedaan.
Sorong Kota Bersama. Itulah tulisan yang terpampang di Jalan Basuki Rahmat, salah satu pusat kegiatan ekonomi Kota Sorong, Papua Barat, pada Sabtu (29/1/2022). Gugusan kata berwarna putih tersebut ditempel pada plat yang melintang utara-selatan dengan panjang 8 meter dan lebar 30 sentimeter. Tulisan tersebut memang “kalah” silau dengan papan reklame yang menaunginya. Untungnya, papan reklame tersebut masih belum dijejali pesan komersial.
Tulisan sama juga terpampang di tugu dekat pantai di Jalan Yos Sudarso, di sisi barat kota, meskipun cat tugu dan tulisannya mulai pudar. Tulisan tersebut berebut perhatian warga dengan coretan-coretan vandal di tugu tersebut.
Terlepas dari kalah menterengnya tulisan tersebut dengan gambar yang lebih berwarna untuk tujuan komersial di titik lain pusat kegiatan ekonomi, tiga kata tersebut menggambarkan Kota Sorong. Kota di “kepala burung” Pulau Papua itu dihuni warga dengan berbagai latar belakang suku, agama, komunitas, dan lainnya. Kota itu Indonesia mini.
Namun, kedamaian di Kota Sorong sempat terusik karena adanya bentrokan antara dua kelompok warga di sekitar Jalan Maruni, Kilometer 10, Distrik Sorong Timur, pada Senin (24/1/2022). Satu orang tewas karena dibunuh. Akibat kejadian tersebut, satu kelompok warga lalu menyerang dan membakar Diskotek Double O yang berada di pinggir ruas jalan.
Sebanyak 17 orang tewas terbakar karena terjebak di salah satu ruangan lantai dua tempat hiburan malam itu. Mereka lari ke lantai dua untuk menghindari pembakaran, tetapi malah tak bisa keluar dari sana kerena api merembet cepat. Tragedi itu pun sontak menjadi perhatian publik luas, bahkan sampai ke luar negeri.
Sejatinya, Kota Sorong sudah menjadi titik temu berbagai orang dengan beragam latar belakang. Hal itu terbentang dari zaman jauh sebelum Indonesia merdeka.
Sebelum pemekaran menjadi kota administrasif pada 1999, Kota Sorong yang masih bergabung sebagai kabupaten dengan Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Sorong, dan Sorong Selatan, dari dulu sudah majemuk. Pada era sebelum kemerdekaan, penghuni Sorong, seperti Suku Moi di Kota Sorong saat ini dan Suku Salawati di Kabupaten Raja Ampat saat ini, sudah menjalin kontak dengan masyarakat luar yang berbeda suku dan agama.
Hubungan itu, antara lain, dengan Kerajaan Tidore di Maluku Utara dan bahkan Kesultanan Cirebon di Jawa Barat. Kontak itu terjalin dalam hubungan perdagangan (barter), penyebaran agama, dan perkawinan. Itu terjadi sejak abad ke-17.
Jelang era kemerdekaan, migrasi orang ke Sorong terjadi karena adanya pengeboran minyak di lepas pantai oleh Belanda pada 1930-an. Orang dari berbagai daerah datang ke Sorong untuk menjadi pekerja. Mereka berasal dari Papua Barat dan Papua, Maluku, Maluku Utara, dan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Pengeboran minyak masih berlanjut hingga saat ini di wilayah perairan Kabupaten Sorong.
Setelah itu, migrasi orang makin tinggi, termasuk karena berbagai kebijakan politik, seperti masa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 dan transmigrasi yang dimulai pada 1972.
Di era kini, orang-orang dari berbagai daerah datang ke Sorong untuk merantau atau mencari pekerjaan. Sorong menjadi tempat bertemunya banyak orang dari berbagai suku, antara lain, suku-suku dari Provinsi Maluku dan Maluku Utara, Pulau Flores (Nusa Tenggara Timur), Sumatera (Batak dan Minang), Jawa (Jawa dan Sunda), dan suku-suku dari daratan Papua Barat dan Papua.
Jean Toisuta (41), warga Kota Sorong, ingat betul saat ia menginjakan kaki di kota dengan penduduk 284.000 jiwa itu pada 1995 ciri multikultural itu sudah terasa jelas. “Sudah dari dulu Sorong ini beragam orangnya. Kota ini titik temu dan semuanya berjalan dalam kedamaian, hidup bersama berdampingan. Kita harus melanjutkan semua warisan kedamaian itu,” ujar guru di sebuah sekolah swasta itu.
Hal senada disampaikan tokoh masyarakat Melkianus Osok (56). Sebagai putra daerah, ia merasakan sudah sejak lama Sorong menjadi titik temu orang dari berbagai penjuru Indonesia untuk membangun kehidupan yang lebih baik. “Dari dulu semua orang di Sorong hidup aman dan rukun, meskipun berasal dari berbagai latar belakang. Tidak ada yang lebih indah dari hidup rukun,” kata tokoh masyarakat Moi, salah satu suku di Papua Barat yang mendiami Sorong.
Dosen sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Sorong Bustamin Wahid menyatakan, dalam masyarakat multietnis, kearifan sosial harus dijunjung tinggi. Kearifan sosial merujuk pada hubungan baik antarindividu atau kelompok sosial di masyarakat. Kearifan sosial adalah bagian dari peradaban bersama. Tekanan hidup dan pertarungan merebut ruang hidup pasti tak terelakan. Namun, jika kearifan sosial kuat, semua dinamika berjalan dengan tertib.
Karena itu, ia menambahkan, pemberdayaan masyarakat pada level bawah penting untuk selalu memperkuat kearifan sosial. “Semua lapisan bergerak, dari tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh intelektual, sampai organisasi kepemudaan,” ujarnya.
“Kemajemukan atau 'Sorong Kota Bersama' jangan hanya slogan politik.
Selain pertemuan rutin para tokoh masyarakat lintasetnik dan agama, menurut Bustamin, salah satu langkah jangka panjang untuk memelihara ingatan akan kemajemukan di daerah multikultural seperti Kota Sorong yakni dengan mengembangkan ruang-ruang perjumpaan simbol kemajemukan. Setiap kelompok budaya diberi ruang untuk berekspresi sekaligus diperkenalkan sebagai bagian dari wajah kota.
Hal itu, misalnya, bisa dilakukan dengan membangun taman budaya. Penciptaan ruang ekspresi multikultural itu penting sebagai simbol untuk membangun kesadaran bersama tentang keberagaman dan apresiasi atasnya. “Kemajemukan atau 'Sorong Kota Bersama' jangan hanya slogan politik,” ucapnya.
Model ruang ekspresi budaya tersebut bagian dari kearifan hidup suku-suku di wilayah Sorong (Kota Sorong, Kabupaten Sorong, Raja Ampat, dan Sorong Selatan) pada zaman dahulu untuk mewariskan nilai-nilai kehidupan yang disebut kambik. Dalam “sekolah” tersebut, tetua suku mengajari warganya, termasuk generasi muda, pengetahuan praktis tentang pengobatan, hidup selaras alam, dan membangun relasi sosial yang baik antarinvidu dalam masyarakat.
“Kita semua yang ada di Sorong ini ingin membangun peradaban, bukan ekonomi semata,” ujarnya.
Kota Sorong telah lama menjadi daerah multikultural. Kebersamaan dan hidup berdampingan dalam perbedaan justru menjadi kekuatan besar untuk membangun Kota Sorong yang lebih maju ke depannya. Peran aktif tokoh masyarakat dan menghadirkan ruang ekspresi lintas budaya bisa menjadi langkah strategis agar Sorong tetap menjadi kota bersama, kota semua orang.