Kota Sorong, ”Etalase” Kemajuan Papua Barat
Kota Sorong menjadi etalase kemajuan Provinsi Papua Barat. Kemajuan harus terus dijaga dan dipacu untuk mengurangi sejumlah masalah, seperti kemiskinan dan keamanan.
Kota Sorong berkembang menjadi pusat perekonomian Provinsi Papua Barat. Letaknya yang strategis menjadi magnet bagi banyak orang mengadu nasib dan membangun kehidupan di kota itu. Namun, ketimpangan ekonomi dan isu keamanan bisa menjadi ganjalan kemajuan di kota multietnis tersebut.
Dari dua ruangan, nyanyian samar-samar terdengar menembus dinding. Hanya suara nyanyian dari dua ruangan itu yang terdengar. Ruangan-ruangan lain di lantai dua tempat karaoke itu sepi. Malam itu, seperti tiga malam sebelumnya, tempat hiburan tersebut sepi pengunjung.
Demikian kondisi salah satu tempat karaoke keluarga di Kota Sorong, Papua Barat, Jumat (28/1/2022). Saking sepinya, petugas memilih berbaring di sofa bar.
Sejak peristiwa pilu pada Senin (24/1/2022) malam, karaoke di Jalan Basuki Rahmat, salah satu kawasan bisnis Kota Sorong, itu hanya mendulang Rp 2 juta-Rp 4 juta per malam. Padahal, biasanya, tempat hiburan itu bisa mengantongi hingga Rp 15 juta per malam. ”Mungkin karena orang masih takut,” kata Fatma (26), kasir karaoke.
Ketakutan yang dimaksud Fatma terkait dengan pembakaran Diskotek Double O di Jalan Sungai Maruni, Kilometer 10, Distrik Sorong Timur, Senin (24/1/2022) malam. Pembakaran tersebut menyebabkan 17 pekerja diskotek tewas karena terjebak di dalam ruangan di lantai dua. Diskotek dibakar menyusul adanya bentrokan antardua kelompok warga yang menewaskan satu orang sebelumnya.
Tempat hiburan malam hanyalah satu sisi dari banyak segi perkembangan ekonomi dan sosial di Kota Sorong. Tempat hiburan malam adalah salah satu yang membuat kehidupan di kota ”Kepala Burung” itu terus berdenyut seperti halnya aktivitas lain pada siang hari.
Kota Sorong yang ditetapkan menjadi kota administratif pada 1999 memiliki luas 1.105 kilometer persegi dengan populasi 284.410 jiwa (2020). Kota itu bagian dari daratan ”Kepala Burung” Pulau Papua. Sebelum menjadi kota administratif, Sorong merupakan bagian kabupaten yang daerahnya kini meliputi Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Sorong, dan Kabupaten Sorong Selatan. Kota Sorong berjarak sekitar 500 kilometer dari Manokwari, ibu kota Papua Barat.
Menggeliatnya ekonomi Kota Sorong gamblang terlihat dari tiga pusat bisnis, yakni Jalan Basuki Rahmat, Jalan Ahmad Yani, dan Jalan Soedirman. Di tiga ruas jalan itu, rumah toko, kantor, restoran/warung, dan hotel berjejer di kedua sisi jalan. Di kawasan itu pula berdiri megah tiga pusat perbelanjaan modern atau mal.
Ritel modern jejaring nasional pun hadir di Kota Sorong bersanding dengan toko dan kios warga. Pun warung kopi dan kafe ditemukan di banyak titik di tiga kawasan bisnis tersebut. Di kawasan itu pula bank-bank besar dan lembaga pembiayaan nasional nongol. Kantor-kantornya berupa bangunan besar nan mentereng. Mendukung perputaran uang, mesin anjungan tunai mandiri juga tersebar di banyak titik kota.
Hiruk-pikuk kendaraan di kawasan bisnis tersebut terlihat dari pukul 06.00 hingga pukul 23.00 WIT saban hari. Sepeda motor, mobil, angkutan umum, dan truk menderu di jalanan tiga kawasan bisnis tersebut.
Kehadiran Bandara Domine Eduard Osok, yang tak jauh dari tiga kawasan bisnis tersebut, menjadi penanda lain pesatnya ekonomi Kota Sorong. Bandara tersebut merupakan yang tersibuk di antara bandara lain di Papua Barat. Salah satunya juga didorong perkembangan pariwisata di Raja Ampat, yang membuat Sorong menjadi penghubung utama ke kepulauan cantik tersebut.
Baca juga: Tokoh Masyarakat Serukan Jaga Harmoni di Sorong
Pada 2020, Badan Pusat Statistik Kota Sorong mencatat 306.225 orang tiba di bandara tersebut dan 309.758 penumpang berangkat dari bandara. Sementara, frekuensi penerbangan yang tiba dan berangkat masing-masing 4.407 serta 4.516 kali. Jumlah penumpang dan frekuensi penerbangan yang tiba dan berangkat tersebut hampir dua kali lipat dari jumlah kategori sama di Kabupaten Manokwari.
Dari segi fasilitas umum yang menggerakkan ekonomi-sosial daerah, Kota Sorong melangkah jauh dari daerah lainnya. Rumah sakit umum, misalnya, Kota Sorong punya tujuh rumah sakit. Satu rumah sakit dikelola pemerintah, sisanya dimiliki swasta atau lembaga. Jumlah tersebut lebih banyak dari Manokwari yang hanya memiliki lima rumah sakit.
Di sektor pendidikan, kota itu memiliki 11 perguruan tinggi, antara lain, Universitas Muhammadiyah Sorong, Universitas Terbuka, dan Politeknik Kesehatan. Jumlah tersebut melebihi perguruan tinggi yang ada di Monokwari yang sebanyak tujuh kampus.
Mendukung mobilitas orang, Kota Sorong memiliki 30 hotel. Beberapa di antaranya hotel berbintang. Sebagai perbandingan, di Manokwari ada 28 hotel.
Baca juga: Konflik Sebabkan 18 Orang Tewas di Sorong, Kepolisian Janji Tegakkan Hukum
Semua gambaran tersebut terkonfirmasi sejumlah indikator makroekonomi Kota Sorong. Produk domestik regional bruto (PDRB) Kota Sorong pada 2020 sebesar Rp 15,6 triliun atau sekitar 19 persen dari PDRB Provinsi Papua Barat. Angka itu jauh dari daerah-daerah lain di Papua Barat. Hanya Kabupaten Teluk Bintuni yang melebihi angka tersebut karena sumbangan eksploitasi gas alam cair.
Pertumbuhan ekonomi menggambarkan hal sama. Kecuali pada 2020 yang anjlok seperti daerah-daerah lainnya karena pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi Kota Sorong saat keadaan normal juga melebihi daerah lainnya. Pada 2018, ekonomi tumbuh 6,73 persen. Angka itu lebih tinggi dari Kabupaten Manokwari yang 5 persen.
Secara umum pun, harga barang-barang di Kota Sorong masih sama seperti daerah lain di Indonesia. Harga air minum kemasan dalam botol isi 600 mililiter di warung pinggir jalan, misalnya, Rp 4.000-Rp 5.000 per botol. Harga tersebut masih sama dengan di Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Semua gambaran tersebut menunjukkan kemajuan ekonomi Kota Sorong. Tak berlebihan kalau dikatakan Kota Sorong merupakan pintu gerbang Papua Barat.
Jika dirunut, perkembangan Kota Sorong bermula ketika dimulainya pengeboran minyak di lepas pantai sekitar ”Kepala Burung” sejak sebelum kemerdekaan. Saat itu, perusahaan Belanda mengebor minyak dan perlahan-lahan nama Sorong mengemuka.
Bersama Jayapura (ibu kota Provinsi Papua), Sorong memang kota maju.
Sorong makin menggeliat dengan adanya kebijakan politik era kemerdekaan, seperti program transmigrasi dan transmigrasi lokal pada 1970-an. Meskipun jauh sebelumnya, perjumpaan atau migrasi orang dan budaya dari berbagai daerah, seperti Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Utara, dengan suku-suku di Tanah Sorong sudah terjalin jauh sebelumnya. Kontak tersebut tentu berdampak pada ekonomi-sosial masyarakat.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Papua, Guzali Tafalas, menyampaikan, Kota Sorong memang kota yang tumbuh dan berkembang sejak dahulu. Pada 1990-an pembangunan fisik di Kota Sorong sudah terlihat melebihi daerah lainnya di Papua Barat, termasuk Manokwari. Berbagai bank sebagai salah satu penggerak ekonomi suatu daerah sudah hadir di Kota Sorong setelah krisis moneter pada 1998. ”Bersama Jayapura (ibu kota Provinsi Papua), Sorong memang kota maju,” ujarnya.
Dua ”bom waktu”
Menurut Guzali, sektor penggerak ekonomi Kota Sorong adalah perdagangan, hotel dan restoran, jasa, konstruksi, serta manufaktur. Dengan melihat komposisi sektor tersebut, ekonomi Kota Sorong bertumpu pada peran swasta, bukan belanja pemerintah dari APBD. Hal itu pula yang sedikit banyak membedakan Kota Sorong dengan daerah lain.
Namun, di tengah kemajuan, Kota Sorong menyimpan ”bom waktu” berupa kemiskinan. Pada rentang 2013-2020, jumlah orang miskin tak menurun signifikan. Pada 2013, terdata 41.100 orang miskin (19,27 persen). Jumlah itu hanya berkurang sekitar 2.000 orang menjadi 38.910 pada 2020 (14,99 persen).
Guzali menyatakan, jumlah tersebut tergolong tinggi untuk kota berpenduduk 280.000 jiwa. Pada titik ini, ekonomi Kota Sorong bermasalah pada sisi kualitas pertumbuhannya. Idealnya, pertumbuhan ekonomi yang baik diiringi dengan membaiknya kehidupan ekonomi-sosial masyarakat.
Untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, selain intervensi kebijakan pemerintah, investasi sektor swasta masih diperlukan. Hal itu untuk membuka lapangan kerja agar warga yang terus berdatangan, angkatan kerja yang menganggur dan angkatan kerja baru, terakomodasi. Hal bisa mengurangi kemiskinan.
Syaratnya, ketersediaan infrastruktur dan suasana kondusif daerah. Untuk infrastruktur, Kota Sorong hampir tak mengalami masalah berarti meski perlu meningkatkan sejumlah aspek, seperti keandalan listrik. Suplai listrik selama ini masih belum optimal dengan seringnya terjadi pemadaman.
Syarat lainnya yang tak kalah penting adalah keamanan. Situasi yang aman tentu menjadi iklim yang baik untuk pengembangan ekonomi, termasuk investasi. Namun, keamanan menjadi perhatian dalam dua minggu terakhir dan berpotensi menjadi ”bom waktu” lainnya menyusul bentrokan di antara dua kelompok warga jelang akhir Januari lalu.
Kisruh memang tak berlanjut, tetapi tragedi tersebut bisa menjadi benih konflik lainnya di Kota Sorong yang multietnis. ”Kalau tidak aman, semua susah cari makan. Mari kita jaga keamanan dan kedamaian di Kota Sorong ini,” ujar Ibra (48), pemilik warung makan ikan bakar di Jalan Sungai Maruni.
Ibra sempat menutup warung yang berukuran 30 x 20 meter itu sehari setelah kejadian. Ia kembali membuka warungnya yang beromzet Rp 3 juta-Rp 5 juta per malam itu dua hari setelah kejadian.
Baca juga: Harapan di Balik Tragedi untuk Kedamaian Sorong
Harapan sama juga diutarakan Arief (19), yang baru bekerja empat bulan di salah satu hotel di Kota Sorong. ”Saya merantau ke sini untuk mencari nafkah dan berharap mengubah hidup. Saya pikir semua orang di Sorong juga berpikiran sama. Mari kita jaga baik-baik Sorong ini sebagai tempat kita mencari nafkah,” kata pemuda asal Provinsi Maluku itu.
Kota Sorong akan terus berkembang ke depan. Hal itu makin menarik animo orang untuk mengadu nasib di daerah itu. Kota itu memiliki modal untuk terus melesat. Tentu, hal itu harus diiringi pemecahan masalah kemiskinan dan menjaga suasana kondusif agar tetap terwujud Kota Sorong yang maju, beradab, dan milik bersama.