Walhi Aceh: Wilayah Pertambangan Rakyat Perlu Diusulkan
Jajaran kepolisian berulang kali berusaha menindak pelaku pertambangan emas ilegal, akan tetapi tetap masih ada yang berani beraktivitas. Hal itu menunjukkan penindakan hukum semata tidak menyelesaikan persoalan.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Aktivitas pertambangan emas tanpa izin di Provinsi Aceh telah memicu kerusakan daerah aliran sungai dan hutan. Pemerintah daerah perlu mempertimbangkan mengusulkan wilayah tambang rakyat agar aktivitas tambang dapat dikontrol.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Ahmad Shalihin, Senin (31/1/2022), mengatakan, tambang emas tanpa izin di Aceh telah berlangsung cukup lama, tapi belum mampu dihentikan. Upaya penghentian melalui seruan pemerintah daerah dan penegakan hukum belum membuahkan hasil. Bahkan, beberapa kali petambang melakukan perlawanan dengan aksi protes dan menghadang aparat penegak hukum.
”Artinya, upaya penegakan hukum belum menjadi solusi dalam menertibkan kegiatan pertambangan emas ilegal di Aceh. Akan tetapi, jika dibiarkan seperti sekarang, kerusakan alam akan semakin serius,” ujar Shalihin.
Hasil kajian Walhi Aceh, pertambangan emas tanpa izin di Aceh tersebar di enam kabupaten, yakni Aceh Barat, Nagan Raya, Pidie, Aceh Tengah, Aceh Jaya, dan Aceh Selatan. Sebagian besar tambang itu ada di hutan lindung. Diperkirakan ada sekitar 20.000 hektar hutan yang menjadi area tambang ilegal.
Tambang ilegal dilakukan secara serampangan, seperti mengeruk aliran sungai dan menumbangkan pohon-pohon. Di beberapa lokasi, tambang ilegal juga menggunakan merkuri, zat kimia berbahaya, untuk memproses bijih emas.
Shalihin mengatakan, jika tidak mampu dihentikan, lebih baik Pemprov Aceh mengusulkan wilayah pertambangan rakyat (WPR). WPR diusulkan oleh Pemprov Aceh dan ditetapkan oleh Kementerian Energi Sumber Daya Mineral bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. WPR perlu diusulkan agar dapat dimasukkan dalam wilayah pertambangan dalam rencana tata ruang nasional. Setelah adanya WPR, warga baru dapat mengajukan izin pertambangan rakyat (IPR).
”Selama belum ada penetapan WPR, warga tidak dapat mengajukan IPR. Akibatnya, aktivitas tambang sekarang melanggar aturan dan harus ditindak,” kata Shalihin.
Kepala Bidang Humas Polda Aceh Komisaris Besar Winardy mengatakan, jajaran kepolisian berulang kali berusaha menindak pelaku pertambangan emas ilegal, tetapi tetap masih ada yang berani beraktivitas. Hal itu menunjukkan penindakan hukum semata tidak menyelesaikan persoalan. ”Apakah karena persoalan ekonomi atau kesulitan memperoleh izin sehingga membuat warga berani melawan hukum. Butuh kerja sama lintas instansi untuk mengkaji lebih jauh penyebabnya,” katanya.
Selama 2021, kepolisian di Aceh menangani 10 kasus tambang ilegal dengan jumlah tersangka sebanyak 43 orang. Mereka adalah petambang, operator alat berat, dan pemodal. Pelakunya sudah ada yang divonis bersalah dan sebagian lain masih menjalani persidangan.
”Selama ini, penindakan hukum terus kami lakukan, kami tidak diam. Namun, perlu keterlibatan semua pihak untuk menangani persoalan tambang di Aceh," kata Winardy.
Sebelumnya, kepada Kompas, Bupati Pidie Ahmad Roni mengatakan, penghentian tambang emas ilegal di Geumpang harus dilakukan perlahan agar tidak timbul konflik horizontal. Forum pemerintah daerah telah mengeluarkan surat imbauan agar para petambang menghentikan aktivitasnya, tetapi mereka masih belum mau berhenti.