Nelayan Berperan Cegah Perdagangan Orang di Perairan Perbatasan
Nelayan di pesisir timur Pulau Bintan, Kepulauan Riau, mendeklarasikan penolakan terhadap kejahatan perdagangan orang. Sindikat sering memanfaatkan nelayan untuk menyeberangkan pekerja migran tanpa dokumen ke Malaysia.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Nelayan di pesisir timur Pulau Bintan, Kepulauan Riau, mendeklarasikan penolakan terhadap kejahatan perdagangan orang. Dua bulan terakhir terjadi lima insiden perahu pengangkut pekerja migran tanpa dokumen tenggelam di perairan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia.
Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Bintan Syukur Hariyanto, Senin (31/1/2022), mengatakan, nelayan rawan dimanfaatkan sindikat perdagangan orang untuk menyelundupkan pekerja migran di perairan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Sejumlah kecelakaan perahu pekerja migran di Selat Malaka mengungkap kerawanan itu.
Salah satunya adalah insiden tenggelamnya perahu pengangkut pekerja migran di perairan Pontian, Johor, Malaysia, yang terjadi pada 18 Januari lalu. Belakangan, polisi mengungkap pengemudi perahu itu adalah dua nelayan yang berasal dari Pulau Terong, Batam, Kepulauan Riau.
Nelayan juga mengalami kesulitan ekonomi selama pandemi. Namun, kami tidak ingin ada lagi nelayan yang terlibat dalam bisnis perdagangan orang.
Selain Batam, sindikat perdagangan orang juga sering memanfaatkan pesisir Bintan untuk menyeberangkan pekerja migran tanpa dokumen ke Malaysia. Hal itu terungkap setelah pada 15 Desember 2021, perahu pengangkut 64 pekerja migran karam di perairan Tanjung Balau, Johor.
Dalam dua bulan terakhir terjadi lima insiden perahu pengangkut pekerja migran tanpa dokumen tenggelam di perairan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Sedikitnya 37 pekerja tewas dan 48 orang hilang.
”Sudah terlalu sering pekerja migran meninggal karena tenggelam saat menyeberang ke Malaysia secara tidak resmi. Hal itu sangat menyedihkan,” kata Syukur saat dihubungi dari Batam.
Jalur tak resmi
Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menyatakan, Malaysia belum membuka penempatan pekerja migran. Karena impitan ekonomi yang makin kuat selama pandemi, semakin banyak calon pekerja migran berangkat melalui jalur tidak resmi. Salah satunya, menyeberang lewat Selat Malaka menggunakan perahu fiber atau perahu kayu milik nelayan.
”Nelayan juga mengalami kesulitan ekonomi selama pandemi. Namun, kami tidak ingin ada lagi nelayan yang terlibat dalam bisnis perdagangan orang,” ujarnya.
Oleh karena itu, KNTI Bintan mengajak nelayan tradisonal di pesisir timur Pulau Bintan untuk mendeklarasikan penolakan terhadap kejahatan perdagangan orang pada 28 Januari lalu. Diharapkan nelayan sadar bakal dihukum berat apabila mereka terlibat bisnis perdagangan orang.
Perahu petugas Bea dan Cukai serta perahu Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai menyergap perahu penyelundup pekerja migran dalam simulasi yang digelar di perairan Batam, Kepulauan Riau, Rabu (19/1/2022).
"Hal ini akibatnya fatal. Kami sering diperiksa aparat Malaysia saat sedang melaut di perairan perbatasan karena dicurigai menjadi bagian dari penyelundup orang atau barang,” ucap Syukur.
Merespons hal itu, Syukur dan sejumlah nelayan di pesisir timur Pulau Bintan sepakat bekerja sama dengan aparat untuk melaporkan segala kegiatan yang mencurigakan di perairan perbatasan. Dengan begitu, diharapkan ruang gerak sindikat perdagangan orang dapat dipersempit.
”Kami minta aparat mendirikan pos-pos penjagaan di wilayah pesisir yang rawan supaya mudah bila kami akan melapor. Kami akan mendesak BPPD (Badan Pengelola Perbatasan Daerah) Kepulauan Riau untuk mewujudkan hal ini,” katanya.
Secara terpisah, Kepala BPPD Kepulauan Riau Doli Boniara menyatakan, dalam waktu dekat bakal membahas persoalan penyelundupan pekerja migran bersama instansi dan lembaga terkait. Salah satunya juga soal pelatihan nelayan untuk mengawasi perairan perbatasan.
”Para nelayan bisa menjadi ujung tombak dalam upaya mengatasi masalah di perairan perbatasan,” ujar Doli secara tertulis.