Kuda Kepang nan Merakyat di Kota Tambang
Kesenian rakyat dari tanah Jawa ini merakyat dan digemari oleh berbagai kalangan dan beragam etnis masyarakat di Kota Sawahlunto.

Pertunjukan kesenian kuda kepang dari Kelompok Seni Jaranan Reog Subur Budoyo di halaman Kantor Desa Muaro Kalaban dan Kantor Camat Silungkang, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Minggu (23/1/2022). Kesenian Jawa ini dibawa para pekerja tambang batubara Ombilin ke Sawahlunto sejak masa penjajahan Belanda.
Gerakan maju-mundur tiga pasang penari kuda seketika berubah saat tempo musik ditingkatkan. Pukulan kenong dan alat musik pengiring lainnya semakin cepat. Enam penari kuda kepang atau kuda lumping itu berlari membentuk lingkaran. Dua barongan menyusul gerakan penari kuda.
Lari melingkar semakin cepat, penari semakin larut dalam alunan musik. Satu penari kuda dan satu penari barong roboh dan kehilangan kesadaran. Keduanya mulai masuk dalam fase trans atau kesurupan. Penari kuda dan barong masing-masing bertingkah layaknya kuda dan macan.
Kesurupan itu seperti menular. Berangsur-angsur penari lainnya ikut kehilangan kesadaran, baik karena ditarik penari kesurupan ataupun terlarut sendiri dalam alunan pukulan kenong, gamelan, kendang, dan gong. Tidak hanya penari, penonton pun ada yang ”tertular” saat ditarik oleh penari yang telah trans.
Dibawa para pekerja tambang sejak era penjajahan Belanda, kesenian kuda kepang terus dilestarikan dan berkembang di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat.
Penari yang kesurupan kebal terhadap benda tajam dan tak gentar melakukan adegan berbahaya. Mereka tak kesakitan saat kaki dicambuk berulang kali. Begitu pula saat melahap bara dan mengupas sabut kelapa dengan gigi. Kadang mereka juga mengamuk dan segera ditenangkan pawang. Adegan Kelompok Seni Jaranan Reog Subur Budoyo pada, Minggu (23/1/2022), ini menarik perhatian penonton.
Pertunjukan digelar di halaman Kantor Desa Muaro Kalaban dan Kantor Camat Silungkang, Sawahlunto. Kelompok ini tampil untuk memenuhi permintaan anggota Subur Budoyo yang sebagian berasal dari desa ini.
”Anak-anak (anggota) minta tampil di desa mereka. Sekaligus untuk promosi kantor desa dan kantor camat yang baru,” kata Marjadi (61), pawang kuda kepang sekaligus Ketua Kelompok Seni Jaranan Reog Subur Budoyo, seusai pertunjukan.

Anggota Kelompok Seni Jaranan Reog Subur Budoyo menunggang kuda kepang dalam keadaan kesurupan dalam pertunjukan kesenian kuda kepang di halaman Kantor Desa Muaro Kalaban dan Kantor Camat Silungkang, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Minggu (23/1/2022).
Subur Budoyo adalah salah satu dari tujuh kelompok seni kuda kepang di Sawahlunto. Kelompok yang tergolong baru di Kota Tambang ini didirikan Marjadi pada 20 Desember 2016 di Kelurahan Saringan, Kecamatan Barangin. Selain kuda kepang, Subur Budoyo juga melestarikan kesenian jaran pegon dan reog. Anggotanya sekitar 40 orang dari usia sekolah dasar hingga lanjut usia.
Merakyat
Kuda kepang begitu merakyat di tengah warga Sawahlunto yang multietnis. Begitu musik terdengar, warga segera datang untuk menonton. Minggu sore itu, sekitar seratus orang menonton kuda kepang Subur Budoyo yang digelar di tengah lapangan terbuka. Penontonnya tak terbatas pada warga keturunan Jawa saja.
Roza (36), warga keturunan Minangkabau, mengatakan, ia sering menyaksikan kuda kepang sejak kecil. Menurut dia, pertunjukan ini unik, menegangkan, dan kadang lucu, terutama saat para pemain memasuki fase kesurupan dengan beragam tingkah polahnya. ”Menegangkan iya, lucu iya, aneh iya,” kata Roza, Minggu sore.
Baca Juga: Kesenian Kuda Lumping Harus Berubah
Menurut warga Muaro Kalaban ini, kuda kepang menjadi hiburan warga di kala melepas penat meskipun sejak pandemi Covid-19 sudah jarang. Ia juga mengakui, kuda kepang dan kesenian etnis lainnya yang tumbuh dan berkembang di Sawahlunto telah menjadi milik semua warga. ”Anak saya juga ikut kuda kepang di kelompok lain,” ujarnya.
Marjadi mengatakan, sanggarnya terbuka bagi warga keturunan etnis lain, seperti Minang, Batak, dan Sunda, untuk bergabung. Saat ini, selain keturunan Jawa, anggota Subur Budoyo ada dari etnis Minang. Hal serupa diungkapkan Ketua Kuda Kepang Bina Satria Suji Harmoko (39). ”Pelestarinya tidak memandang etnis. Ada keturunan Jawa, Minang, Batak, dan Sunda,” kata Suji, Selasa (25/1/2022).
Penerimaan masyarakat juga sangat baik. Kuda kepang, kata Marjadi, digandrungi masyarakat Sawahlunto dan sekitarnya. Selain acara Pemkot Sawahlunto, kelompok kuda kepang biasanya juga diudang untuk tampil pada acara pesta pernikahan dan sunatan. Undangan itu tidak terbatas dari warga keturunan Jawa, ada juga dari keluarga Minang dan etnis lainnya.

Pertunjukan kesenian kuda kepang dari Kelompok Seni Jaranan Reog Subur Budoyo di halaman Kantor Desa Muaro Kalaban dan Kantor Camat Silungkang, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Minggu (23/1/2022).
Iswandi dalam artikelnya ”Perkembangan Kesenian di Sawahlunto Minangkabau” di jurnal Ekspresi Seni Volume 14, Nomor 2, November 2012, Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, mengatakan, kondisi masyarakat Sawahlunto yang multietnis justru memicu perkembangan kesenian kuda kepang ke arah lebih baik dan mengokohkan keberadaannya.
Kuda kepang berhasil beradaptasi di lingkungan masyarakat bukan pendukungnya dan berkembang dengan baik. Keberadaannya berhasil menumbuhkan rasa memiliki masyarakat itu. Kuda kepang tidak lagi menjadi tamu, tetapi tuan rumah di tempat ia berkembang. Masyarakat Sawahlunto tidak membedakan kesenian kuda kepang dengan kesenian tradisional asli Minangkabau.
”Dalam kondisi sosial budaya yang berbeda, kesenian tradisional kuda kepang tidak ditinggalkan/dipinggirkan, tetapi secara strata memiliki posisi yang sama dengan kesenian tradisional lain yang ada di Kota Sawahlunto,” kata Iswandi.
Kepala Dinas Kebudayaan Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman Kota Sawahlunto Hilmed mengatakan, kuda kepang adalah salah satu kekayaan dan simbol keberagaman Sawahlunto. ”Keturunan Minang banyak yang ikut sebagai pemain. Akulturasi budaya itu sudah cukup bagus dan tidak ada saling menjelekkan. Kuda kepang tampil selalu ramai penontonnya,” kata Hilmed.
Baca Juga: Kuda Lumping, Engklek, dan Dakon di Halaman Istana

Suasana panorama Kota Lama Sawahlunto, yang juga pusat pemerintahan kota saat ini, ketika difoto dari obyek wisata Puncak Cemara, Sawahlunto, Sumbar, Rabu (10/7/2019).
Asal mula
Marjadi menjelaskan, kuda kepang serta kesenian Jawa lainnya, antara lain wayang kulit dan wayang wong (orang), dibawa para pekerja tambang dari Jawa. Mereka didatangkan Belanda ke Sawahlunto sebagai pekerja Tambang Batubara Ombilin. ”Kesenian ini ditampilkan untuk menghibur para pekerja tambang,” ujar Marjadi, generasi ketiga keturunan Jawa asal Semarang di Sawahlunto.
Seingat Marjadi, saat ia SD, baru ada dua kelompok kesenian kuda kepang di Sawahlunto. Ia dan kakaknya belajar kepada Mbah Mbung. Kelompok lainnya, yang diisi orang-orang dewasa, terutama karyawan Tambang Batubara Ombilin (sekarang PT Bukit Asam), dipimpin Mbah Bugis.
Sementara itu, Sajiman, seniman senior Kuda Kepang Bina Satria (dalam Iswandi, 2012) mengatakan, kuda kepang dibawa penjajah Belanda dari Jawa Timur melalui pekerja tambang ke Sawahlunto pada 1888. Kuda kepang untuk menghibur para pekerja tambang. Selain kuda kepang, kesenian lainnya yang dibawa antara lain ledhek, wayang kulit, ketoprak, dan wayang orang.
Baca Juga: Kesenian Kuda Lumping
Kesenian itu diwariskan ke keturunan selanjutnya, serta diperkuat dengan gelombang kedatangan perantau Jawa berikutnya, baik sebelum maupun pascakemerdekaan. Suji Harmoko mengatakan, kelompok Kuda Kepang Bina Satria sudah ada sejak 1965. Kelompok ini didirikan para perantau Jawa yang datang ke Sawahlunto seusai meletusnya pemberontakan Gerakan 30 September 1965.
Menurut Suji, kesenian kuda kepang mengisahkan tentang perang pasukan berkuda zaman dahulu melawan musuh yang tidak tampak. Atas bantuan Yang Maha Kuasa, pasukan berkuda itu kesurupan. ”Itulah kekuatan gaib yang diberikan Yang Maha Kuasa untuk melawan musuh. (Penari) memakan api, memakan kaca, dicambuk, tapi tidak apa-apa,” ujarnya.

Pemandu wisata (kanan) menjelaskan kepada para pengunjung terkait Lubang Tambang Mbah Soero, salah satu lubang tambang peninggalan Tambang Batubara Ombilin di Sawahlunto, Sumatera Barat, Sabtu (29/6/2019).
Iswandi menuliskan, ada berbagai versi yang melatarbelakangi lahirnya kesenian kuda kepang yang berkembang di Sawahlunto, mulai dari kisah pasukan berkuda Pangeran Diponegoro, Raden Patah, hingga Wali Songo. Namun, di antara kisah-kisah berbeda itu, ada satu benang merah, yaitu kuda kepang menggambarkan suasana peperangan dengan menggunakan media kuda-kudaan.
”Simbol kuda-kudaan ini diambil dengan pertimbangan kuda sebagai alat transportasi yang ada pada waktu itu dan juga kendaraan yang digunakan untuk peperangan melawan penjajahan Belanda ataupun untuk pengembangan agama Islam,” tutur Iswandi.
Hilmed mengatakan, kuda kepang memang dibawa sejak Belanda mendatangkan para pekerja tambang. Tidak hanya pekerja dari Jawa, pekerja dari suku lain, seperti Batak dan Sunda, juga membawa kesenian masing-masing. Kesenian tersebut tumbuh dan berkembang. Apalagi, kala itu, kata Hilmed, Belanda juga menyediakan tempat pertunjukan seni bagi pekerja tambang.
”Kesenian ini hidup terus karena mereka (pekerja tambang) punya keturunan, tidak pernah dilarang, dan sampai sekarang kami fasilitasi terus. Ini merupakan keberagaman dan inilah kekayaan budaya di Sawahlunto yang multietnis,” kata Hilmed.
Magis
Pertunjukan kuda kepang selalu berkaitan dengan hal magis, dalam hal ini kesurupan. Menurut Iswadi, pertunjukan seni (tarian dan musik) dan nilai magis (kesurupan) tidak bisa dipisahkan. Kedua bagian itu menjadi satu kesatuan dalam pertunjukan sehingga menimbulkan dari tarik tersendiri bagi penontonnya.

Seniman kuda kepang mengupas kulit kelapa dalam keadaan kesurupan saat pertunjukan kesenian kuda kepang dari Kelompok Seni Jaranan Reog Subur Budoyo di halaman Kantor Desa Muaro Kalaban dan Kantor Camat Silungkang, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Minggu (23/1/2022).
Marjadi mengungkapkan hal serupa. ”Di sinilah (kesurupan) daya tarik kuda kepang, selain tariannya. Mabuk itu datang dari kita. Apabila tubuh kita menjiwai seni, dia datang sendiri seiring alunan musik. Penari yang mabuk kadang-kadang akan ngamuk jika musik dirasa kurang enak, minta diperbaiki,” kata pensiunan pegawai PT Bukit Asam (Persero) Tbk Unit Pertambangan Ombilin ini.
Kata Marjadi, tidak semua penari kuda kepang bisa memasuki fase kesurupan. Semuanya tergantung penjiwaan terhadap pertunjukan itu. Kadang-kadang penari yang kesurupan juga mengajak penari lainnya dan penonton untuk sama-sama main. Penonton yang pernah bermain kuda kepang dan pernah mencapai fase kesurupan biasanya juga akan ikut ”mabuk”.
Baca Juga: Agar Kuda Lumping Turonggo Jati Tetap Lestari
Dalam fase kesurupan, penari dirasuki arwah leluhur. Arwah yang masuk tidak terbatas jarak dan waktu. Kata Marjadi, ada arwah kakek penari, ada pula arwah leluhur zaman kerajaan tempo dulu. Pada fase ini, keberadaan pawang dan para asistennya sangat penting untuk mengontrol serta menyadarkan penari saat pertunjukan berakhir.
Minggu sore, misalnya, beberapa penari yang kesurupan sadar sendiri. Namun, ada pula yang susah disadarkan dan berkali-kali kesurupan. Satu penari kuda kesurupan arwah kakeknya. Penari itu hendak berangkat ke kuburan sang kakek yang belum pernah ia kunjungi seumur hidup. ”Kakeknya berpesan agar cucunya berziarah ke kuburannya,” ujar Marjadi.

Salah satu penari barongan dari Kelompok Seni Jaranan Reog Subur Budoyo memasuki fase kesurupan dalam pertunjukan kesenian kuda kepang di halaman Kantor Desa Muaro Kalaban dan Kantor Camat Silungkang, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Minggu (23/1/2022).
Pelestarian
Hilmed mengatakan, dinas kebudayaan terus melakukan pembinaan terhadap seluruh kelompok seni yang ada di Sawahlunto. Saat ini, ada 38 kelompok aktif dan tercatat di dinas kebudayaan, baik kesenian Minang, Jawa, Sunda, Batak, maupun kelompok band anak muda.
Menurut Hilmed, dinas tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap kelompok tersebut. Semuanya diperlakukan adil. Sebab, itulah yang membuat keberagaman dan kerukunan terus terjaga di kota yang memiliki warisan dunia Tambang Batubara Ombilin ini, begitu pula dengan keseniannya yang tetap lestari.
Hilmed menjelaskan, dua tahun terakhir, sejak pandemi Covid-19, upaya pembinaan memang tersendat. Kegiatan berkumpul dibatasi, pun kunjungan ke kelompok. Namun, pada tahun-tahun sebelumnya, dinas rutin melakukan pembinaan manajerial dan teknis ke setiap kelompok. Tahun 2022, pembinaan langsung ke kelompok-kelompok akan diadakan lagi.

Anggota Kelompok Seni Jaranan Reog Subur Budoyo berlatih kesenian kuda kepang di Lapangan Bantingan, Kelurahan Saringan, Kecamatan Barangin, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Sabtu (22/1/2022).
Selain pembinaan manajerial dan teknis, pemkot juga memfasilitasi ruang dan akomodasi penampilan untuk kelompok-kelompok tersebut. Setiap akhir tahun semua paguyuban menampilkan kesenian masing-masing dalam festival multikultural dalam rangka HUT Kota Sawahlunto yang diperingati pada 1 Desember. Jika Covid-19 semakin melandai, tahun ini festival akan diadakan kembali.
”Paling tidak sekali setahun, kelompok-kelompok tersebut kami tampilkan dalam satu festival sekaligus untuk memperlihatkan hasil pembinaan dan latihan selama setahun itu. Dengan demikian, semangat mereka bisa diteruskan ke generasi berikutnya dan tidak hilang,” papar Hilmed.
Sementara itu, Marjadi bertekad terus melestarian kuda kepang dan kesenian Jawa lainnya. Regenerasi terus dilakukan agar ada yang melanjutkan kesenian ini. Ia tidak ingin kuda kepang bernasib seperti wayang wong yang sudah punah di kota kelahirannya ini.