Penyidikan kasus pemaksaan aborsi oleh Randy Bagus Hari Sasongko terhadap Novia Widyasari agar lebih progresif setelah putusan sidang etik profesi bahwa tersangka dihukum pemberhentian tidak dengan hormat dari Polri.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Sidang Kode Etik Profesi di Kepolisian Daerah Jawa Timur, Kamis (27/1/2022), memutuskan Brigadir Dua Randy Bagus Hari Sasongko, tersangka kasus pemaksaan aborsi terhadap Novia Widyasari, bersalah sehingga dipecat atau diberhentikan tidak dengan hormat dari korps Kepolisian RI. Korban ialah mahasiswi Universitas Brawijaya, Malang, yang bunuh diri di samping makam ayahnya di Sooko, Mojokerto, 2 Desember 2021.
Putusan itu dijatuhkan dalam sidang yang digelar tertutup di Polda Jatim. Ajun Komisaris Besar Ronald Purba menjadi ketua komisi persidangan etik profesi. Menurut informasi, Bripda Randy hadir dengan berseragam dan topi dinas.
Menurut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jatim Komisaris Besar Gatot Repli Handoko, Randy terbukti melanggar Pasal 7 Ayat 1 Huruf B dan Pasal 11 Huruf C Peraturan Kepala Polri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri. Tindakan Randy yang memaksa korban untuk aborsi dianggap tercela dan menodai institusi Polri sehingga hukuman dijatuhkan dalam bentuk pemecatan.
”Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai anggota Polri,” kata Gatot.
Dalam pemeriksaan kasus itu, Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Jatim telah memeriksa sembilan saksi. Salah satunya ibunda korban, yakni Fauzun, yang dalam sidang etik profesi hadir sebagai saksi. Dari putusan itu, Polda Jatim segera memproses administrasi pemecatan Randy.
”Kasus pidana dalam penanganan Direktorat Reserse Kriminal Umun, tersangka masih akan ditahan di Polda Jatim,” kata Gatot yang akan menempati posisi baru sebagai Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri.
Secara terpisah, Direktur LBH Surabaya Abdul Wachid Habibullah menyatakan amat menyayangkan digelarnya sidang etik profesi secara tertutup. Sepatutnya, sidang bersifat terbuka meski putusan sesuai dengan harapan, yakni pemecatan tersangka. LBH Surabaya termasuk dalam Tim Advokasi Keadilan untuk Novia Widyasari.
”Untuk kasus pidana, kami mendorong perubahan persangkaan pasal pidana yang dikenakan terhadap Randy menjadi Pasal 347 KUHP di mana korban dipaksa aborsi tanpa persetujuan,” ujar Abdul Wachid. Oleh tim penyidik, persangkaan terhadap tersangka adalah Pasal 348 di mana aborsi dengan persetujuan (korban) dengan ancaman hukuman minimal lima tahun penjara.
Abdul Wachid mengatakan, setelah pemecatan itu, Polda Jatim diharapkan progresif dalam penanganan kasus Randy. Tim penyidik diharapkan membuka peluang pengenaan pasal pidana dengan hukuman yang lebih berat, bahkan maksimal. Sebabnya, tindakan tersangka berhubungan dengan keputusan bunuh diri korban.
”Sehingga memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban yang masih hidup,” kata Abdul Wachid.
Dari penyelidikan tim Polda Jatim, Novia terpaksa aborsi dua kali atas desakan Randy. Sebelumnya, tersangka dan korban saling kenal sejak Oktober 2019, kemudian berpacaran. Dalam masa berpacaran itu, diyakini Randy memerkosa korban sehingga hamil. Namun, korban diminta oleh Randy untuk aborsi. Diketahui bahwa korban terpaksa menggugurkan kandungan pada Maret 2020 dan Agustus 2021.
Selanjutnya, hubungan mereka diputus sepihak oleh Randy. Korban sempat melaporkan tindakan Randy ke Kepolisian Resor Pasuruan, tetapi tidak mendapat tanggapan. Sementara tekanan terus diterima oleh korban dari Randy dan keluarga tersangka ini sehingga mengakibatkan sang mahasiswi depresi. Diyakini tekanan hebat itulah yang memicu Novia bunuh diri.
”Tantangan bagi tim penyidik untuk menemukan keterkaitan atau hubungan kasualitas sehingga bisa menjerat tersangka dengan ancaman hukuman berat,” ujar Abdul Wachid.