Pembakaran Kampung di Maluku Seharusnya Bisa Dicegah, Polisi Kewalahan Hadapi Massa
Penyerangan terhadap Kampung Kariuw di Maluku disebut seharusnya bisa dicegah aparat keamanan. Polisi membantah dianggap membiarkan peristiwa tersebut terjadi.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Massa menyerang dan membakar Kampung Kariuw di Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, Rabu (26/1/2022) pagi. Tiga warga dilaporkan meninggal. Warga menyebut kejadian ini seharusnya bisa dicegah aparat keamanan sejak awal. Namun, polisi mengatakan kewalahan meredam aksi ini.
Kampung Kariuw dan Ori berada di Pulau Haruku. Dari Ambon, ibu kota Maluku, pulau itu bisa ditempuh menggunakan perahu cepat selama 15 menit. Pulau itu masuk dalam wilayah hukum Polres Kota Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease yang bermarkas di Ambon. Polda Maluku juga bermarkas di Ambon.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, penyerangan Kampung Kariuw itu dilakukan massa yang diduga berasal dari Kampung Ori, tetangga Kampung Kariuw. Pelakunya diperkirakan puluhan hingga ratusan orang. Pada saat penyerangan, terdengar bunyi tembakan senapan dan ledakan bom.
Sebagian besar warga Kariuw sudah mengantisipasi penyerangan ini dengan mengungsi ke tengah hutan pada Selasa malam. Meski banyak rumah kosong saat aksi terjadi, ada sejumlah warga Kariuw yang terlambat menyelamatkan diri sehingga tertembak. Tiga orang dilaporkan meninggal.
Pada saat peristiwa penyerangan terjadi, ada anggota polisi yang berjaga di lokasi. Namun, karena hanya ada lebih kurang 10 orang, mereka tidak berdaya menghadapi massa. ”Padahal, sejak kemarin sampai malam, kami sudah laporkan ini sampai ke Polres Kota (Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease) hingga Polda (Maluku),” kata DP (60), warga Kariuw.
Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat mengatakan, akar peristiwa itu adalah konflik tapal batas. Ia juga mengakui, gesekan sudah mulai memanas pada Selasa siang, setelah seorang warga Kariuw dibacok warga Ori. Gesekan itu menimbulkan konsentrasi massa. ”Polisi tidak menduga sampai terjadi penyerangan tersebut,” ucapnya.
Menurut dia, pada saat penyerangan, polisi kesulitan meredam massa yang jumlahnya jauh lebih banyak. Terlebih lagi, massa datang membawa senjata api. ”Bahkan, ada anggota kami yang tertembak dan sekarang sedang dalam perawatan,” ujarnya.
Ia membantah penilaian publik bahwa aparat tidak responsif atau bahkan terkesan membiarkan peristiwa tersebut terjadi. Aparat disebut sudah berusaha menghalau massa, tetapi gagal. Berdasarkan video amatir yang diperoleh Kompas, aparat ikut menyelamatkan diri ketika terjadi penyerangan.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Provinsi Maluku Benediktus Sarkol berpendapat, peristiwa itu sebenarnya tidak harus terjadi. Polisi dengan kemampuan intelijen yang kuat tentu sudah mengetahui hal tersebut. ”Kerja intelijen seperti apa? Kan, sudah ada peristiwa sehari sebelumnya,” ujar Benediktus.
Menurut dia, potensi penyerangan semacam itu sudah bisa diprediksi, apalagi daerah itu dan sebagian Maluku lainnya juga rawan. Konflik bernuansa agama yang terjadi pada 1999 sudah seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pimpinan aparat keamanan.
Abidin Wakano, pegiat perdamaian di Maluku, meminta masyarakat tidak terprovokasi isu-isu yang berpotensi merusak perdamaian di Maluku. Menurut dia, banyak video dan foto provokatif yang sengaja disebar lewat media sosial ataupun grup percakapan.
Hingga Rabu sore, Abidin mengatakan sudah berkomunikasi dengan berbagai tokoh perdamaian lintas agama untuk membicarakan langkah dialogis yang akan diambil. ”Semua sudah sepakat untuk melokalisir isu ini jangan sampai merembet ke mana-mana,” katanya.