Di ”Bumi Nyiur Melambai”, Tatapan Sinis Dapat Berbalas Tajamnya Badik
Siapa sangka, sebuah tatapan tajam dapat dibalas dengan senjata tajam yang menembus dan mengoyak daging. Tanpa pandang bulu, suasana penuh persahabatan mendadak bisa berubah jadi baku tikam.
Atmosfer udara di kamar hotel yang RK (18) sewa bersama teman-temannya untuk nongkrong mendadak berubah sejak ketibaan Joni Tahir (24). RK yakin, ada sesuatu yang lain dari cara Joni memandangnya. Sorot matanya begitu tajam bak pucuk tombak yang siap menembus dadanya.
Seperti kucing mengangkat tulang punggungnya di hadapan predator atau musuhnya agar terlihat lebih besar, tangan RK diam-diam meraba gagang pisau badik yang terselip di pinggangnya sambil terus manatap balik Joni penuh waspada.
Tanpa peringatan, sekelebat RK melesat menyerang Joni. Dihunusnya badik itu dari pinggang, lalu ia hunjamkan ke dada pria yang lebih tua enam tahun darinya itu. Ia mencabutnya, lalu menusukkannya lagi ke tangan kanan Joni. Sekali lagi RK tarik badik itu, lalu menikam paha kanan Joni.
Peristiwa Minggu (9/1/2022) malam berdarah di kamar Hotel Emerald, Manado, Sulawesi Utara, itu terjadi begitu cepat. Sesaat setelah melumpuhkan musuhnya, RK segera ambil langkah seribu, menghilang di bawah gelapnya malam. Namun, hanya dalam hitungan jam, tim Kepolisian Resor Kota Manado mencokoknya, Senin (10/1/2022) dini hari.
RK digelandang ke Kepolisian Sektor Wenang dan ditahan, sementara Joni dilarikan ke Rumah Sakit Robert Wolter Mongisidi. Hasil pemeriksaan bikin polisi geleng-geleng kepala. ”Diduga pelaku tersinggung karena ditatap sinis oleh korban,” ujar Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Sulut Komisaris Besar Jules Abraham Abast.
Ya, itulah yang terjadi. Siapa sangka, sebuah tatapan tajam dapat dibalas dengan senjata tajam yang menembus dan mengoyak daging. Tanpa pandang bulu, suasana penuh persahabatan mendadak bisa berubah jadi baku tikam, seperti yang terjadi pada hari pertama 2022 lalu.
Baca juga : Setan Petaka dalam Sebotol Cap Tikus
Dalam peristiwa lain, pada pukul 02.30 Wita, selepas gegap gempita kembang api Tahun Baru, ST (40) masih belum beranjak dari acara minum-minum bersama beberapa temannya di bilangan Bumi Nyiur, Wanea, Manado. Semula semua berjalan baik. Namun, di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam pengaruh alkohol, di sanalah masalah bisa timbul.
Dan benar saja, ST yang sudah teler gara-gara minuman keras terlibat persilatan lidah dengan Marhen Tangel (24), yang juga tak kalah mabuk. Mereka terus berdebat hingga mencapai satu titik, kata-kata Marhen menyayatkan luka di hati ST.
Saat itulah lidah ST berhenti bicara dan menyerahkan tugas membuat argumen balasan pada badik yang tersemat di pinggangnya. ”Pelaku tersinggung, lalu mencabut pisau badik dari pinggangnya, lalu menganiaya korban. Korban mengalami luka sayatan di kepala bagian belakang serta telinga kiri,” kata Jules.
Tak seperti RK, ST lebih jago bersembunyi. Butuh 22 hari bagi tim Polresta Manado untuk dapat menyergapnya. Kini, pria itu mendekam di tahanan Polsek Wanea, sementara polisi masih mencari senjata tajam yang ia gunakan untuk menyayat Marhen.
Hubungan manusia dan senjata tajam pun tak mengenal usia. Di Kelurahan Kamasi, Tomohon, Opa JL (65), seorang petani, ditangkap polisi setelah dilaporkan oleh tetangganya, pasangan Ricky Karouw (50) dan Juliana Lontoh (50), Minggu (23/1/2022) lalu.
Ceritanya, sore itu Opa JL agak mabuk setelah menenggak alkohol, tak dijelaskan jenis apa. Ia kemudian keluar dan membuang sampah di pekarangan yang masih satu petak dengan rumah Ricky dan Juliana. Melihat itu, mereka menegur si Opa, tetap dengan rasa hormat mengingat usianya yang sudah lanjut. Yang ditegur diam saja.
Sekitar pukul 19.10 Wita, Ricky sedang sibuk merapikan kursi di depan rumahnya. Tiba-tiba saja, Opa JL datang dan menendang kursi itu. Ia berteriak dan membentak-bentak Ricky sambil menodongkan sebilah parang, mengancam akan menebas tubuh Ricky.
Untungnya, ancaman itu tak ia nyatakan dalam perbuatan. Namun, Ricky dan Juliana tetap melaporkan Opa JL. ”Saat diamankan di Polsek Tomohon Tengah, JL mengaku telah mengonsumsi miras, lalu mengancam tetangganya. Pelaku menyesali perbuatan itu,” kata Jules.
Baca juga : Kejahatan Jalanan oleh Remaja yang Meresahkan Warga
Januari belum mencapai pengujungnya. Namun, selama satu bulan ini, setidaknya kepolisian di Sulut sudah menindak 10 laporan kejahatan atau ancaman dengan senjata tajam di sejumlah kabupaten/kota. Saking sepelenya, motif para pelaku tak jarang bikin dahi mengernyit, dari tak terima ditatap sinis hingga cemburu melihat pujaan hati digondol lelaki lain. Ada 12 pelaku yang ditangkap, semuanya laki-laki. Rentang usianya pun cukup jauh, yang termuda 16 tahun dan tertua 65 tahun. Rata-rata usia pelaku adalah 28,03 tahun. Adapun korban berjumlah 11 orang, dari yang berusia 16 hingga 50 tahun.
Kendati begitu, 10 kasus yang dipublikasikan Polda Sulut hanyalah puncak dari gunung es. Menurut Jules, setiap hari di kantor kepolisian sejumlah daerah di Sulut, kasus kejahatan atau ancaman kejahatan dengan senjata tajam termasuk sering dilaporkan. Sepanjang tahun, jumlahnya mungkin bisa ratusan.
Seperti budaya
Lalu, mengapa kejahatan atau ancaman kejahatan dengan senjata tajam begitu kerap terjadi? Mengapa orang seolah-olah bebas membawa pisau atau badik di pinggangnya ketika sedang mabuk-mabukan, atau ketika sedang kebut-kebutan di jalan sambil menggeber gas hingga knalpot sepeda motornya meraung-raung?
Jules sendiri belum punya jawabannya. Namun, ia menilai penikaman atau kekerasan dengan senjata tajam sudah menjadi kebiasaan di Sulut. ”Ini seolah-olah menjadi sesuatu yang kultural. Tersinggung sedikit, ambil pisau, tebas atau tikam orang, ditangkap polisi,” ujarnya.
Di kalangan residivis, lanjutnya, riwayat dicokok polisi bahkan menjadi bahan kebanggaan. ”Ada yang bahkan merasa lebih disegani karena sudah pernah bunuh orang. Itu pola pikir yang aneh,” katanya.
Tak jarang, di Sulut, pemuda bergaul dengan mabuk-mabukan. Saat mereka mabuk, masalah-masalah ini bisa terjadi.
Bagi sosiolog kriminal Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Suprapto, kemungkinan kriminalitas memang bisa lebih tinggi setelah seseorang mengonsumsi miras, termasuk hasil racikan sendiri oleh masyarakat, seperti Cap Tikus asal Minahasa yang begitu tersohor. Dugaan ini tentu tak salah, mengingat tujuh dari 10 kasus terlapor selama Januari 2022 melibatkan pelaku yang mabuk.
”Minuman sejenis cenderung tak terkontrol kandungan alkoholnya. Saat seseorang mabuk karenanya, produksi adrenalin meningkat sehingga dia berani marah hingga menyakiti,” kata Suprapto ketika dihubungi lewat telepon.
Adapun dosen Ilmu Sosiologi Universitas Sam Ratulangi, Manado, Jeffrey C Paat, menilai masalah ini paling banyak melibatkan anak muda. Dari 12 pelaku kekerasan dengan senjata tajam yang tertangkap selama Januari 2022, lima orang berusia 16-18 tahun.
Hal ini bisa dipicu oleh berbagai hal, seperti informasi yang beredar di media sosial. Namun, alasan yang lebih penting adalah pencarian jati diri serta aktualisasi diri remaja. ”Di sinilah faktor pergaulan juga harus dipertimbangkan. Tak jarang, di Sulut, pemuda bergaul dengan mabuk-mabukan. Saat mereka mabuk, masalah-masalah ini bisa terjadi,” kata Jeffrey.
Karena itu, kriminalitas dengan senjata tajam yang mendera kalangan pemuda harus diatasi bersama-sama oleh berbagai pihak. Pemerintah, misalnya, harus menyediakan ruang aktualisasi diri bagi pemuda dengan kegiatan-kegiatan yang mengembangkan karakter, seperti kesenian atau olahraga. ”Saat ini fasilitas itu kurang sekali di Manado ataupun Sulut,” lanjutnya.
Jeffrey juga berharap kepolisian bisa menindak tegas para pelaku sekaligus menjemput bola dengan sosialisasi di tingkat terendah. Upaya ini bisa dikerjakan bersama-sama dengan tokoh agama, masyarakat, hingga orangtua.
Jules sepakat. Meski belum mengetahui akar masalahnya, kepolisian tetap berusaha menata strategi pencegahan (preventif dan preemtif). Razia senjata tajam, terutama di kalangan pemuda yang beraktivitas larut malam atau terlibat aktivitas lain, seperti kebut-kebutan, mulai ditingkatkan.
Dari kegiatan itu, diharapkan masyarakat sadar bahwa penggunaan senjata tajam untuk maksud-maksud jahat menjadi perhatian kepolisian. ”Tetapi, ada juga yang tidak membawa (senjata tajam) saat dirazia. Nanti saat ada masalah, baru dia pulang ke rumah untuk ambil senjata tajam, dan dia cari orang yang membuat dia tersinggung untuk ditikam,” katanya.
Karena itu, tindakan represif tetaplah esensial dalam menangani tindak kekerasan dengan senjata tajam. ”Kasus yang sudah terjadi tetap kami proses sampai selesai. Ini supaya memberi rasa takut dan efek jera kepada pelaku dan calon pelaku,” ujar Jules.
Baca juga : Menyulap Cap Tikus Menjadi ”Hand Sanitizer”
Kendati begitu, dalam jangka panjang, diperlukan kerja sama multipihak untuk mengatasi masalah ini. Menurut Jules, salah satu caranya adalah dengan membuat forum diskusi dengan para cendekiawan.
”Di Sumba, Nusa Tenggara Timur, ada fenomena serupa. Masyarakat menggunakan parang Sumba untuk menikam atau menebas orang-orang yang menyinggung atau menyakiti mereka hanya karena masalah sepele. Tetapi, parang Sumba memang kerap dibawa masyarakat ke mana-mana. Kami butuh pandangan dan solusi dari akademisi, pemerintah, dan media untuk mengatasi itu,” pungkasnya.