Selama Pandemi, Pengiriman Ilegal Pekerja Migran Kian Marak dari Sumut
Pengiriman pekerja migran Indonesia secara ilegal selama pandemi kian marak dari pantai timur Sumatera Utara. Belum sebulan kapal pengangkut pekerja migran tenggelam, ditemukan lagi kapal pengangkut pekerja migran.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
NIKSON SINAGA
Direktur Kriminal Umum Polda Sumut Komisaris Besar Tatan Dirsan Atmaja menunjukkan tersangka dan barang bukti perdagangan orang terhadap pekerja migran Indonesia, di Medan, Kamis (13/1/2022).
MEDAN, KOMPAS – Pengiriman pekerja migran Indonesia secara ilegal selama pandemi Covid-19 kian marak dari pantai timur Sumatera Utara khususnya Kabupaten Batubara, Asahan, dan Kota Tanjung Balai. Belum satu bulan kapal pengangkut pekerja migran tenggelam di Malaysia, sudah ada lagi kapal pengangkut pekerja migran yang ditangkap petugas.
“Pantai timur Sumut ini mejadi pengiriman pekerja migran ilegal selama pandemi Covid-19. Tidak hanya pekerja migran dari Sumut, tetapi juga dari berbagai daerah di Indonesia,” kata Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Sumut Siti Rolijah, Sabtu (22/1/2022).
Siti mengatakan, selama pandemi Covid-19 dalam dua tahun ini, pengiriman pekerja migran dari Indonesia ke Malaysia dengan jalur resmi masih ditutup sementara. Meski demikian, banyak pekerja migran Indonesia yang pergi ke Malaysia melewati jalur ilegal tanpa dokumen keimigrasian dan ketenagakerjaan.
“Para calon pekerja migran tetap nekat meskipun sudah beberapa kali kapal yang membawa mereka tenggelam,” kata Siti.
Siti mengatakan, ada jaringan yang merekrut dan menyiapkan pemberangkatan para pekerja migran dari berbagai daerah di Indonesia. Jaringan itu juga terhubung dengan kelompok di Malaysia yang mengatur penempatan kerja secara ilegal.
Pengiriman pekerja migran secara ilegal terungkap setelah kapal kayu yang mengangkut 45 pekerja migran dan tiga awak kapal tenggelam di perairan Malaysia, Sabtu (25/12/2021). Sebanyak 10 orang ditemukan meninggal dan 31 orang berhasil diselamatkan nelayan. Mereka berangkat dari pelabuhan tikus di Kabupaten Batubara bersama satu kapal lainnya yang membawa 61 pekerja migran dan tiga ABK.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Lokasi penyelundupan pekerja migran melalui pelabuhan tikus di Kelurahan Tanjung Uncang, Kecamatan Batu Aji, Batam, Kepulauan Riau, Rabu (19/1/2022).
Tenggelamnya kapal tersebut pun tidak membuat niat pekerja migran surut dalam menempuh jalur ilegal. Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Tanjung Balai Asahan menangkap sebuah kapal yang mengangkut 17 pekerja migran yang baru pulang dari Malaysia. Mereka tidak dilengkapi dokumen keimigrasian.
Siti mengatakan, jalur ilegal tidak saja membahayakan nyawa pekerja migran selama menyeberang melalui Selat Malaka. Mereka juga tidak dilindungi selama bekerja di Malaysia karena penempatan kerjanya secara ilegal. Jika mengalami permasalahan ketenagakerjaan selama di Malaysia, hampir tidak terpantau dan tidak bisa dilindungi.
Maraknya pekerja migran yang menempuh jalur ilegal, kata Siti, antara lain karena minimnya sosialisasi tentang pekerja migran kepada masyarakat. Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, sosialisasi itu seharusnya dilaksanakan pemerintah daerah.
“Namun, hal ini masih sangat minim. Di Sumut, misalnya, dalam setahun hanya ada sekitar empat kali sosialisasi dengan peserta hanya sekitar 25 orang dalam satu kegiatan. Ini masih sangat tidak cukup,” kata Siti.
PANDU WIYOGA
Sebanyak 29 pekerja migran ilegal asal Nusa Tenggara Timur diselamatkan Polda Kepulauan Riau di Pelabuhan Kijang, Bintan, Kepulauan Riau, Senin (26/8/2019).
Penegakan hukum
Direktur Kriminal Umum Kepolisian Daerah Sumatera Utara Komisaris Besar Tatan Dirsan Atmaja mengatakan, setelah kasus tenggelamnya kapal yang membawa pekerja migran dari Batubara, mereka melakukan penyelidikan secara menyeluruh untuk membongkar sindikat pengiriman pekerja migran ilegal.
“Sindikat ini bekerja sangat rapi. Mereka merekrut, menyiapkan keberangkatan, hingga menempatkan pekerja migran secara ilegal. Jaringannya ada di dalam negeri ada juga di Malaysia,” kata Tatan.
Tatan mengatakan, sudah delapan orang tersangka yang mereka tangkap yang terkait dengan pemberangkatan kapal pembawa pekerja migran ilegal dari Batubara. Empat orang otak pelakunya pun masih buron hingga saat ini.
Tatan menyebut, jaringan mereka terputus-putus dan hanya bekerja sesuai perannya masing-masing. Mereka pun dikoordinasikan oleh otak pelaku. Ada yang bertugas merekrut, menyiapkan penerbangan dari berbagai daerah ke Sumut, menyiapkan penyeberangan dengan kapal laut, hingga penempatan di luar negeri.
KOMPAS/Abdullah Fikri Ashri
Keluarga menunjukkan foto Nenah, pekerja migran Indonesia asal Majalengka, di rumahnya di Desa Ranji Wetan, Majalengka, Senin (24/5/2021). Nenah terancam hukuman mati di Arab karena dituduh membunuh sopir majikannya.
Setiap orang pekerja migran yang ingin berangkat ke Malaysia pun mereka kutip Rp 11 juta. Beberapa calon pekerja migran yang berhasil digagalkan berangkat ke Malaysia bahkan tidak punya paspor dan dokumen keimigrasian lainnya.
Komandan Lanal Tanjung Balai Asahan Letnan Kolonel Laut (P) Robinson Hendrik Etwiory mengatakan, mereka memperketat penjagaan mengingat semakin banyaknya kapal yang mengangkut pekerja migran dari Sumut. “Patroli dan pemeriksaan pun terus dilakukan terhadap kapal-kapal yang dicurigai,” katanya.
Menurut Robinson, para pekerja migran nekat menyeberang dengan kapal nelayan. Mereka biasanya dipindahkan ke kapal lain setelah tiba di perairan Malaysia. Panjangnya garis pantai dan terbatasnya personel pun menjadi tantangan dalam mencegah pengiriman pekerja migran secara ilegal dari jalur laut.