Bertaruh Nyawa Demi Mimpi Hidup yang Lebih Baik
Demi mimpi memperbaiki hidup, banyak warga NTB memutuskan bekerja keluar negeri. Tetapi tidak sedikit yang memilih jalan non prosedural yang justru membuat mereka harus bertaruh nyawa.
Di tengah klaim keberhasilan berbagai program yang selalu mendapat embel-embel “gemilang”, setiap tahun, ribuan warga NTB diam-diam berangkat menjadi pekerja migran Indonesia non prosedural. Mereka bertaruh nyawa dengan mimpi hidup yang lebih baik. Banyak yang selamat dan bertahan, tapi tidak sedikit pulang tinggal jenazah.
Makam Julia Ningsih (19) tampak paling baru di antara ratusan makam di Tempat Pemakaman Umum DesaDasan Borok, Kecamatan Suralaga, sekitar sembilan kilometer timur laut Selong, Ibu Kota Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Jumat (21/1/2022) sekitar pukul 15.00 Wita.
Gundukan tanahnya yang dikelilingi susunan batu-batu, masih tinggi. Dua misan juga tampak masih bersih, belum berlumut. Hanya sisa lumpur di bagian bawahnya. Bunga segar bertabur di atas makam itu.
Hampir sebulan lalu, tepatnya Sabtu (25/12/2021), Julia Ningsih bersama calon buah hati yang baru seminggu dikandungnya dimakamkan di sana.
Julia Ningsih adalah salah satu salah satu warga Lombok Timur, yang turut menjadi korban meninggal dunia dalam kecelakaan kapal pengangkut pekerja migran Indonesia ilegal di perairan Johor, Malaysia, pertengahan Desember 2021 lalu.
“Dia memang menantu saya. Tetapi rasanya sudah seperti anak kandung sendiri. Kalau ingat dia, saya selalu sedih. Pengin mengangis,” kata Supriani (46) yang bersama keluarga berziarah ke makam Julia Ningsih, Jumat sore itu.
Supriani menuturkan, meski telah dilarang, namun Julia Ningsih bersikeras untuk menemani suaminya Junaidi (26) berangkat ke Malaysia. Junaidi selamat, tetapi saat ini masih menjalani proses hukum di Malaysia.
Menurut Supriani, menantunya mungkin tidak akan menjadi korban jika mau menuruti permintaannya untuk tidak ke Malaysia. “Saya tidak rela membiarkan dia ke Malaysia. Saya larang berkali-kali, berminggu-minggu, tetapi tidak mau,” kata Supriani.
Supriani mengatakan, anaknya juga sudah melarang istrinya ikut. Tetapi Julia Ningsih bergeming. Berbekal uang kiriman kakak ipar di Malaysia dan bekal dari keluarga, pasangan itu berangkat pada awal Desembear. Mereka ke Batam terlebih dahulu.
Sesampai di Batam, mereka tidak langsung berangkat. Tetapi tinggal di sebuah penampungan. Selama di Batam, Supriani dan keluarga masih terus membujuk Junaidi dan Julia Ningsih itu untuk pulang ke Lombok. Apalagi selama di Batam, mereka sudah berkali-kali batal berangkat ke Malaysia karena cuaca buruk. Bekal mereka juga menipis.
“Junaidi sempat bilang akan kembali ke Lombok setelah mengetahui sering ada kecelakaan kapal. Tetapi istrinya tidak ingin pulang, bahkan sempat kabur dari penampungan,” kata Supriani.
Meski berat, namun Junaidi akhirnya tetap mengajak Julia Ningsih berangkat pada Selasa (14/12/2021). Naas, kapal yang mereka tumpangi bersama 62 orang lain, terbalik pada Rabu dini hari. Junaidi selamat, sementara istrinya meninggal dan jenazahnya tiba di Lombok pada Sabtu (25/12/2022) lalu.
Saat ini, salah satu yang bisa mengobati kesedihan keluarga Supriani adalah Junaidi bisa segera pulang. “Saya memohon kepada KJRI atau pemerintah di Malaysia agar Junaidi bisa segera pulang. Apalagi sampai sekarang belum ada kabar. Kami takut dia sedih, takut dia gila karena berbagai musibah yang dia terima,” kata Supriani.
Jeratan utang
Berbeda dengan Junaidi pernah ke Malaysia dan pulang pada 2014 silam, Julia Ningsih baru sekali berangkat. Menurut Hidayatul Amni (22), adik Junaidi, kakak iparnya yang belum lama ini lulus sekolah tingkat SMA, bersikeras berangkat karena ingin memperbaiki nasib.
Julia Ningsih punya mimpi hidup mandiri. Punya rumah sendiri dan tidak menumpang di rumah mertua. Sejak menikah, ia dan suaminya tinggal di rumah Supriani bersama kedua mertua dan beberapa anggota keluarga lainnya.
Penghasilan Junaidi dari kerja serabutan sebagai tukang bangunan atau jual barang rongsokan yang tak seberapa, dirasa tidak akan cukup untuk mewujudkan mimpi itu. Pada saat yang sama, ada utang keluarga yang harus dilunasi.
“Kami punya sawah 10 are dan sudah digadai Rp 35 juta. Junaidi berangkat ke Malaysia salah satunya untuk melunasi itu,” tutur Supriani yang juga bekerja serabutan.
Junaidi dan Julia Ningsih bukan satu-satunya yang nekat mengambil risiko dan bertaruh nyawa dengan menjadi PMI ilegal. Dalam kejadian di Johor, ada 14 warga NTB yang menjadi korban. Sebanyak sepuluh orang berasal dari Lombok Timur termasuk Julia Ningsih. Sedangkan empat lainnya dari Lombok Tengah.
Semuanya berangkat dengan alasan yang sama. Mimpi memperbaiki nasib keluarga, hidup mandiri, hingga membayar hutang. Sehingga saat ada iming-iming gaji tinggi, mereka tidak berpikir dua kali untuk berangkat.
Mereka lantas mencari cara agar bisa mendapatkan uang untuk berangkat. Ada yang mendapat kiriman dari bos mereka di Malaysia, hingga berhutang ke kerabat seperti Bangsal Udin Basar asal Kawo, Lombok Tengah yang juga menjadi korban meninggal.
Uang itu bukan hanya untuk biaya perjalanan dari Lombok ke Batam atau biaya hidup selama di Batam, juga membayar tekong di sana. Tekong itu akan memfasilitasi keberangkatan mereka ke Malaysia secara ilegal.
“Biasanya ditunggu tekong di Batam. Adik saya, membayar Rp 4,5 juta untuk menyeberang ke Malaysia dengan kapal,” tutur Sayati (47) asal Wakan, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur. Sayati adalah kakak Alwi, salah satu PMI yang turut dalam kecelakaan kapal dan dinyatakan selamat.
Para PMI rata-rata mengetahui jika Malaysia masih tutup. Tetapi desakan ekonomi, membuat mereka nekat. Ada yang berangkat dilepas keluarga, ada juga yang berangkat tanpa sepengetahuan keluarga.
Syech Mulachela (39), korban Meninggal asal Kopang, Lombok Tengah, sebenarnya tengah menunggu untuk kembali dan menghabiskan sisa kontraknya di Saudi Arabia. Ia telah bekerja di sana selama hampir 12 tahun. Tetapi pandemi, membuatnya tidak bisa kembali sementara waktu.
Akibatnya, selama hampir dua tahun sejak 2020, ia berada di Indonesia. Setelah mencoba berbagai pekerjaan di sejumlah daerah, ia kembali dan tinggal di Lombok.
Awalnya Syech meminta izin ke keluarga untuk bekerja ke Bangkabelitung. Ia benar-benar berangkat dan sudah mendapatkan pekerjaan di sana di pabrik timah.
Tetapi ajakan seorang teman yang mengiming-iminginya gaji yang lebih besar daripada di Bangkabelitung, membuat Syech berubah pikiran.
Menurut Laila Mulachela (35), adik Syech, sehari sebelum berangkat ke Batam, kakaknya tiba-tiba meminta dikirimkan uang. Hal itu membuat keluarga curiga karena belum lama, mereka juga sudah mengirimkan uang untuk Syech.
Walakin, Laila tetap mengirimkan uang pada Selasa atau sehari sebelum kejadian. Tanpa sepengetahuan keluarga, Syech bersama temannya kemudian berangkat ke Batam pada hari itu.
Laila dan keluarga baru mengetahui jika Syech turut menjadi korban setelah mendapat telpon dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia. Awalnya mereka tidak yakin karena Syech diketahui berada di Bangkabelitung. Tetapi setelah diperlihatkan ciri-ciri fisik Syech, baru mereka yakin.
“Sampai sekarang, meski sudah ikhlas, tetapi kami masih tidak percaya dengan kejadian ini,” kata Laila.
Sulit
Pemerintahan Gubernur NTB Zulkieflimansyah dan Wakilnya Sitti Rohmi Djalillah mengusung visi “Mewujudkan NTB yang Gemilang”. Salah satu misinya adalah NTB sejahtera dan mandiri.
Berbagai upaya untuk melaksanakan misi itu memang telah dilakukan. Bahkan membuat NTB makin dilihat terutama pembangunan kepariwisataan. Sederet gelaran kelas dunia seperti balapan di Sirkuit Mandalika sudah dan akan digelar.
Hanya saja, hal itu belum mampu memberikan harapan hidup yang lebih baik untuk warganya. Sehingga menjadi PMI, meski secara ilegal, masih jadi pilihan.
Sepanjang 2021, Unit Pelaksana Teknis Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) NTB mencatat, dari 26.996 pemulangan, sebanyak 11.974 di antaranya adalah pemulangan PMI non prosedural atau ilegal. Dari 101 orang PMI yang meninggal pada tahun itu, hanya 8 yang menggunakan jalur prosedural.
Jumlah itu tercatat meningkat dibanding 2020. Dari 16.123 pemulangan pada tahun itu, sebanyak 4.379 pemulangan adalah PMI Non Prosedural. Sementara pada 2019, tercatat ada 721 PMI Non Prosedural yang dipulangkan dari total 766 pemulangan.
Kampung-kampung PMI mudah ditemukan. Dasan Borok, kampung Junaidi, termasuk di antaranya. Pada 2017, dari 1400 wajib pilih, 300 orang di antaranya menjadi PMI baik legal maupun ilegal. Bahkan ada dalam satu rumah, seperti keluarga Supriani, hampir seluruh anggota keluarganya pernah menjadi PMI.
Banyaknya warga yang menjadi PMI, membuat desa itu pada 2019, ditetap sebagai salah satu Desa Migran Produktif oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Sebagai gambaran, rumah-rumah besar dan bagus yang kini bisa ditemukan di sana. Menurut Kepala Desa Dasan Borok Angga Sariman, rumah itu adalah hasil dari bekerja di luar negeri. “Rumah-rumah mereka bagus. Tetapi belum tentu punya penghasilan (yang cukup). Kalau uang habis, mereka pergi (lagi) ke Malaysia,” kata Angga.
Menurut Angga yang juga pernah menjadi PMI, sebagian besar warganya bekerja sebagai petani. Tetapi hasilnya belum cukup jika dibandingkan kebutuhan keluarga. Dalam sebulan, pendapatan satu keluarga berkisar antara Rp 500.000 – Rp 700.000. Sehingga banyak yang menjadi PMI.
Secara umum, NTB memang masih tercatat sebagai kantung PMI. Pada 2019, NTB berada di posisi keempat dengan 30.706 orang PMI. Kampung-kampung PMI bisa dengan mudah ditemui di wilayah tersebut.
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) NTB Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTB pada 2021 pada angka 68,65 persen atau tumbuh 0,59 persen dari 2020 yang mencapai 68,25 persen.
Meski ada pertumbuhan, namun secara nasional, angka tersebut menempatkan IPM NTB pada urutan ke-29 seluruh Indonesia atau IPM dalam kategori sedang.
Di NTB sendiri, IPM kabupaten yang menjadi kantung PMI seperti Lombok Timur dan Lombok Tengah juga masuk kategori sedang. IPM Lombok Timur sebesar 66,36 persen, semetara Lombok Tengah 66,72 persen.
Upaya pencegahan PMI ilegal memang terus dilakukan. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi I Gede Putu Aryadi mengatakan, Pemerintah Provinsi NTB saat ini tengah menjalankan program zero unprosedural PMI. Program itu melibatkan berbagai pihak terkait hingga desa dan dusun.
Koordinator Pusat Bantuan Hukum Buruh Migran NTB Muhammad Saleh mengatakan, di tengah geliat pembangunan ditambah klaim mampu menyerap tenaga kerja seperti sektor pariwisata, masih banyak warga NTB yang menjadi PMI non prosedural.
Menurut Saleh, hal itu berarti masih banyak yang belum mendapatkan “roti” pembangunan itu. Jika pun ada yang dapat, hanya kalangan dan kelompok masyarakat tertentu. Bukan warga yang harus memilih menjadi PMI secara non prosedural demi bertahan hidup.
“Kalau bisa dapat pekerjaan di sini, tentu mereka akan lebih memilih tinggal di sini. Berada dekat dengan rumah, juga keluarga sendiri. Juga lebih aman,” kata Saleh.