Hakim dan Panitera Kena OTT KPK, Integritas PN Surabaya Tercemar
Integritas lembaga Pengadilan Negeri Surabaya tercemar ulah hakim dan panitera yang terkena operasi tangkap tangan KPK. Mereka diduga mendapat suap terkait perkara.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Integritas dan citra lembaga Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, tercemar oleh ulah tercela hakim dan panitera yang terlibat kasus suap persidangan dan terkena operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi. Padahal, belum lama ini para pegawai lembaga pemerintah tersebut menandatangani pakta integritas antikorupsi.
Lembaga antirasuah menempuh operasi tangkap tangan terhadap hakim Itong Isnaeni Hidayat dan panitera Mohammad Hamdan di Surabaya antara Rabu (19/1/2022) malam dan Kamis (20/1/2022) dini hari. KPK juga menangkap seorang pengacara bersama Itong dan Hidayat yang diduga terlibat suap penanganan perkara.
Kemudian, tim penyidik KPK pada pukul 05.00-05.30 mendatangi PN Surabaya. KPK menyegel ruang hakim Itong di lantai 4 gedung PN Surabaya. Martin Ginting dari Humas PN Surabaya, Kamis siang, membenarkan kedatangan tim penyidik KPK ke kompleks peradilan di Jalan Arjuno tersebut. KPK kemudian menyegel ruang Itong, tetapi diperkirakan tidak menggeledah dan menyita barang bukti.
”Kasus (OTT) yang melibatkan anggota kami mencederai integritas hakim, panitera, sebagai bagian dari penegakan hukum serta institusi PN Surabaya,” kata Martin.
Padahal, menurut Martin, seluruh aparatur di PN Surabaya pada awal tahun atau belum genap tiga pekan lalu menandatangani pakta integritas, terutama terkait prinsip antikorupsi sebagaimana diperintahkan Ketua Mahkamah Agung. Penangkapan terhadap Itong dan Hamdan jelas mencederai institusi PN Surabaya.
”Kemungkinan besar Mahkamah Agung tidak memberikan pendampingan atau perlindungan hukum terhadap kedua oknum itu,” ujar Martin. Pasalnya, upaya memberikan pendampingan atau perlindungan terhadap anggota yudikatif yang terlibat korupsi tidak bermanfaat. Tindak pidana luar biasa itu jelas melenceng dan menodai etika profesi.
Di sisi lain, lanjut Martin, perkara yang sedang ditangani Itong akan dialihkan ke hakim lain di PN Surabaya. Penangkapan terhadap Itong dan Hamdan tidak sampai menghambat penanganan perkara di pengadilan meski pada Kamis suasana di kompleks itu sempat sepi. ”Kami tetap memberi pelayanan, tidak terhambat,” katanya.
Belum genap tiga pekan lalu kami menandatangani pakta integritas, terutama terkait prinsip antikorupsi sebagaimana diperintahkan Ketua Mahkamah Agung. Penangkapan terhadap Itong dan Hamdan jelas mencederai institusi PN Surabaya. (Martin Ginting)
Martin mengatakan tidak mengetahui kronologi penangkapan Itong, Hamdan, dan pengacara oleh KPK. Padahal, ia dan ketua PN Surabaya mendengar selentingan penangkapan sehingga bersiap di PN Surabaya sejak pukul 02.00. ”Ternyata tidak ada apa-apa sampai kedatangan KPK sekitar pukul 05.00. Penangkapan terjadi di luar kompleks PN Surabaya dan bukan jam kerja,” ujarnya.
Berdasarkan penelusuran Kompas, Itong sebelumnya bertugas di PN Bale Bandung. Selain menjabat hakim di PN Surabaya, Itong merangkap Humas Pengadilan Hubungan Industrial Surabaya. Itong pernah menjalani hukuman skors dari MA karena pelanggaran kode etik. Pelanggaran itu terjadi saat Itong bertugas di PN Tanjungkarang, Lampung. Itong membebaskan bekas Bupati Lampung Timur Satono, terdakwa kasus korupsi 2011 senilai Rp 199 miliar, dan bekas Bupati Lampung Tengah Andy Achmad Sampurna Jaya, terdakwa korupsi senilai Rp 28 miliar. Di tingkat kasasi, Satono dikenai hukuman 15 tahun penjara dan Andy 12 tahun penjara. Dari peristiwa itulah Itong mendapat skors sampai masa hukumannya pulih dan bertugas kembali.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Pusat Studi Antikorupsi dan Demokrasi Universitas Muhammadiyah Surabaya Satria Unggul Wicaksana Prakasa mengatakan, peristiwa OTT terhadap hakim dan panitera PN Surabaya serta pengacara kian memperlihatkan potensi korupsi dalam dunia peradilan. Apalagi jika hakim yang tertangkap diyakini pernah dihukum terkait pelanggaran kode etik. ”Ini saatnya memperkuat Komisi Yudisial untuk pengawasan dan penanganan kasus-kasus pelanggaran hakim,” tegas Satria.
Selain itu, dia mendorong agar MA lebih berani membuka diri dalam hal rotasi, mutasi, serta penindakan internal terhadap hakim. Sepatutnya, hakim yang diduga terlibat kasus atau melanggar kode etik dijatuhi hukuman berat dan tegas dengan pemberhentian hingga larangan beperkara. ”OTT itu sangat memprihatinkan sekaligus membuktikan bahwa pakta integritas tidak dijalankan segenap unsur di PN Surabaya,” jelas Satria.