RUU IKN Disetujui DPR, Akademisi Menilai Masih Banyak Pasal Bermasalah
Sejumlah akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, menilai banyak masalah secara formil ataupun materiil dalam RUU IKN yang baru saja disetujui menjadi UU oleh DPR.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Setelah RUU Ibu Kota Negara disetujui menjadi undang-undang oleh DPR, sejumlah akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, berdiskusi untuk mengajukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menilai banyak masalah secara formil ataupun materiil dalam RUU tersebut.
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai, DPR atau pemerintah cenderung memaksakan RUU IKN. Itu terlihat dari waktu pembahasan yang singkat, yakni 43 hari, dan minimnya partisipasi publik dalam pembahasan hingga persetujuan RUU IKN.
”Jadi, opsi soal judicial review memang menjadi salah satu pendiskusian kami,” katanya, dihubungi dari Balikpapan, Rabu (19/1/2022).
Merujuk pada draf RUU IKN yang beredar pada 18 Januari 2022, ia menilai pasal-pasal di dalamnya masih banyak problem. Misalnya, dalam Pasal 10 terkait Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN. Pasal itu menyebutkan, keduanya menjabat selama lima tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Sesudahnya, Kepala Pemerintah Daerah Khusus IKN itu dapat ditunjuk dan diangkat kembali dalam masa jabatan yang sama.
Pasal itu, kata Herdiansyah, tidak membatasi masa jabatan pemimpin otorita IKN. Penunjukan yang hanya bisa dilakukan oleh Presiden juga minim partisipasi publik karena tergantung dengan selera dan penilaian subyektif Presiden.
”Tidak adanya pembatasan masa jabatan akan cenderung bergerak ke arah otoritarianisme. Bukan hanya bagi pejabat yang ditempatkan di pos tersebut, melainkan juga yang memilih, yakni Presiden,” ujar Herdiansyah.
Selanjutnya, Pasal 24 yang mengatur pendanaan pembangunan IKN juga dinilai belum ada pembatasan. Di pasal tersebut disebutkan, IKN dibangun dengan dana yang bersumber dari APBN dan sumber lain yang sah, salah satunya kontribusi swasta.
”Bahayanya, bagi kami, kalau pendanaan itu melibatkan swasta tanpa pembatasan, ada kekhawatiran pembiayaan yang berasal dari swasta akan ditukar dengan kepentingan tertentu pada aspek bisnis,” katanya.
Sebelumnya, FH Unmul telah membuat diskusi daring bertajuk ”Catatan Kritis atas RUU IKN”, Selasa (18/1/2022). Para akademisi menyampaikan analisis terhadap RUU IKN yang saat itu masih dibahas DPR. Diskusi tersebut juga dihadiri anggota Pansus RUU IKN, G Budiarso Djiwandono.
Dalam diskusi tersebut, akademisi FH Unmul, Warkhatun Najidah, menilai ada pasal yang memberikan kewenangan besar terhadap Presiden dalam RUU IKN. Hal itu terlihat pada Pasal 4 dan Pasal 11.
Salah satu poin di Pasal 4 menyebutkan bahwa pengalihan kedudukan, fungsi, dan peran Ibu Kota Negara dari DKI Jakarta ke Ibu Kota Nusantara ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Selanjutnya, dalam Pasal 11 menyebut, struktur organisasi, tugas, wewenang, dan tata kerja badan otorita Ibu Kota Nusantara diatur dalam peraturan presiden.
Menurut Warkhatun, seharusnya kewenangan yang diberikan kepada para penyelenggara negara terkait IKN diatur dalam UU sehingga landasan hukumnya kuat. Namun, dua pasal tersebut memberikan kewenangan yang amat besar kepada Presiden. Risikonya, kata Warkhatun, ketika rezim berganti, peraturan presiden itu bisa saja berubah.
”Karena dalam pembuatan proses regulasi itu ada yang namanya check and balance system (sistem saling mengontrol). Akan sulit DPR ke depan mengontrol jika ini disandarkan pada peraturan presiden,” katanya.
Penolakan
Setelah RUU itu disetujui DPR, datang penolakan dari Koalisi Masyarakat Kaltim Menolak IKN. Koalisi ini terdiri dari organisasi non-pemerintah, yakni Walhi Kaltim, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, LBH Samarinda, dan Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam Kaltim.
Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang menilai, pembahasan dan persetujuan RUU IKN banyak yang cacat prosedural. Legislasi yang akan berdampak besar pada masyarakat ini, kata Rupang, malah minim partisipasi publik. Meskipun sebelumnya pernah dilakukan konsultasi publik terkait RUU IKN, menurut dia, itu dilaksanakan tertutup, terbatas, dan tak melibatkan warga yang terdampak langsung.
”Pemerintah melakukan kesalahan yang sama seperti saat pengesahan omnibus law. Ini mengindikasikan IKN bukan milik rakyat, melainkan milik oligarki. Orientasinya bisnis, melayani investasi,” ujar Rupang.
Dalam draf Rencana Induk IKN tercatat luas wilayah IKN 256.142 hektar, ditambah wilayah perairan laut 68.189 hektar. Wilayah itu saat ini masuk di wilayah Kecamatan Sepaku dan Kecamatan Penajam di Kabupaten Penajam Paser Utara. Sementara wilayah yang termasuk bagian Kabupaten Kutai Kartanegara meliputi Kecamatan Samboja dan Kecamatan Muara Jawa.
Di wilayah itu ada yang disebut sebagai Kawasan IKN dengan luas wilayah lebih kurang 56.180 hektar. Di dalamnya akan terdapat Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) seluas 6.671 hektar. KIPP itu yang nantinya akan menjadi tempat pembangunan istana negara, yang saat ini lahannya masih dikelola PT ITCI Hutani Manunggal, perusahaan hutan tanaman industri.
Sementara itu, Pemprov Kaltim mengapresiasi RUU IKN yang sudah disetujui oleh delapan dari sembilan fraksi di DPR. Sekretaris Daerah Provinsi Kaltim HM Sa’bani berharap pemindahan IKN kelak membawa dampak baik bagi 10 kabupaten dan kota di Kaltim. Saat ini, Pemprov Kaltim masih menunggu arahan dari pemerintah pusat terkait hal-hal apa saja yang perlu dilakukan jika kelak RUU ini sudah sah menjadi UU.
”Ini sebagai pemicu untuk mengakselerasi berbagai pembangunan di Kaltim, baik pembangunan fisik maupun sumber daya manusianya, untuk mengisi pembangunan IKN ke depan,” katanya.
Harapan warga
Saat RUU itu disetujui DPR, Kamri (35) masih mengurus kebun sawit miliknya seluas 1 hektar di Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara. Sebagai warga biasa, ia hanya bisa menerima keputusan itu. Ia cuma berharap kehidupannya semakin baik.
Proses pemindahan IKN yang semakin nyata itu membuatnya khawatir. Sebab, kelak akan ada perpindahan 1,5 juta orang ke tempat tinggalnya. Melalui sambungan telepon, ia bercerita tak pernah mendapat sosialisasi apakah nanti tempat tinggalnya juga terdampak pembangunan.
”Saya enggak ngerti undang-undang. Saya, kan, enggak lulus SD, paling nanti ada kerjaan angkut-angkut. Setelah itu, mungkin kerja biasa lagi. Semoga rumah saya enggak dipindah,” kata lelaki yang tinggal sekitar 1 kilometer dari kawasan inti calon IKN itu.