Nenek ”Arsitek” Peredam Tsunami di Sikka (4-habis)
Anselina Nona dan almarhum suaminya menanam mangrove hingga seluas 20 hektar di pesisir utara Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Mereka mulai menanam setelah daerah itu hancur diterjang tsunami.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Perjalanan menyusuri jejak tsunami dari Maumere hingga Pulau Babi di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, membawa saya pada satu kesimpulan: mitigasi bencana di daerah itu lemah. Bilamana terjadi gempa besar dan diikuti tsunami, bakal banyak korban berjatuhan.
Betapa disayangkan, ternyata gempa diikuti tsunami pada 12 Desember 1992 yang menelan lebih kurang 2.500 korban jiwa tak jua membuat penghuni wilayah pesisir sadar pada risiko bencana. Gempa dengan magnitudo 7,4 pada 14 Desember 2021 juga tak memberi kewaspadaan berarti. Mereka bergeming. Pascagempa tak banyak yang berubah.
Sebagian besar pesisir yang dulu disapu tsunami kini kembali berdiri permukiman padat. Hutan mangrove yang dulu menjadi perisai kala tsunami kini hilang tanpa bekas berganti hutan beton: rumah penduduk, hotel, dan restoran. Belum lagi konstruksi bangunan yang abai pada prinsip tahan gempa.
Potret itu memberi bukti lemahnya aspek mitigasi bencana. Dalam obrolan santai, saya menyinggung bahaya itu kepada sejumlah warga dan juga pejabat setempat, salah satunya Remugius Nong, pemuda Maumere. Saya memilih menyampaikan kepada Nong karena ia termasuk penggerak yang aktif di berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat.
Hari terakhir petualangan pada Minggu (19/12/2021), Nong mengajak ke luar kota Maumere. Kami menyisir lintas utara Pulau Flores dari Maumere ke Kabupaten Ende. Dengan sepeda motor, kami menuju daerah Magepanda. Belum sampai beberapa menit, saya tersihir dengan bentang alamnya. Jalan membelah pesisir pantai di sisi kanan dan tebing di sebelahnya.
Di tebing bukit itu tumbuh rumput hijau. ”Jangan mimpi lihat yang hijau kalau lewat di sini pas musim kemarau,” ujarnya. Wilayah Flores dan Nusa Tenggara Timur pada umumnya memasuki musim hujan mulai Desember hingga April. Selebihnya adalah musim kemarau, bahkan kemarau ekstrem. Rumput di bukit itu berubah coklat dan sering terbakar hampir setiap tahun.
Saya benar-benar terpesona dengan keindahan alam itu sehingga tidak sadar saat Nong membelokkan sepeda motor masuk ke sebuah hutan mangrove. Sepeda motor pun terhenti tak jauh dari seorang nenek yang tengah merapikan anakan mangrove dalam polybag. Senyum ramahnya menyambut kami.
Nenek berusia 71 tahun itu bernama Anselina Nona. ”Ini pemilik hutan mangrove,” ujar Nong mengenalkan nenek itu. Ternyata Nong membawa saya ke tempat itu untuk menunjukkan bahwa masih ada wilayah pesisir utara Flores yang ditumbuhi hutan mangrove.
Namun, yang membuat saya belum paham adalah atribut ”pemilik” yang dilekatkan pada nenek itu. Membaca kebingungan saya, nenek itu menerangkan bahwa dia dan suaminya, almarhum Viktor E Rayon, yang menanam hutan mangrove itu. Kini, luasnya mencapai 20 hektar. Luar biasa!
Nenek Anselina mengajak saya menyusuri hutan mangrove. Kami melewati jalan layang dari kayu dan bambu yang dibangun membelah hutan rapat itu. Mangrove dengan tinggi hingga 6 meter menaungi jalan layang sepanjang sekitar 500 meter itu. ”Di kaki jembatan ini sekarang sudah banyak kepiting, siput, dan udang. Ikan juga mulai banyak. Kera juga ada,” tuturnya.
Penyintas tsunami
Ide menanam mangrove ini datang dari almarhum suami Anselina. Mereka mulai menanam tahun 1993 atau setahun setelah daerah itu dilanda gempa dan tsunami. Tempat tinggal mereka tidak luput dari amukan tsunami. Ketika terjadi tsunami 1992, keluarga Anselina selamat, tetapi harta benda mereka ludes.
”Sekitar 500 pohon kelapa siap panen roboh. Sekitar 15.000 ekor bandeng juga hilang dibawa tsunami. Itu alasan almarhum suami mati-matian mau tanam mangrove,” ujarnya. Hutan mangrove sengaja dibuat dengan tujuan sebagai perisai bilamana terjadi tsunami di kemudian hari.
Mereka lalu mencari biji mangrove di sepanjang pesisir. Biji-biji itu disemai ke dalam polybag. Tiga bulan pertama tumbuh tunas, kemudian daun mulai kelihatan pada bulan keenam. Selanjutnya, anakan ditanam pada musim hujan agar bertahan. Jika ditaman pada musim kemarau, terik matahari selama berbulan-bulan akan membunuh anakan.
Setiap kali musim hujan mereka selalu menanam, memperluas, dan mempertebal hutan. ”Kami dicibir masyarakat sekitar. Kami dibilang kerja gila, tetapi kami tidak peduli. Anak-anak kami juga kami ajak untuk tanam bahkan sampai cucu,” ujar nenek dengan 6 anak, 13 cucu, dan 1 cicit itu.
Keberadaan hutan mangrove itu kini dijadikan tempat wisata dan sumber belajar tentang ekosistem pesisir. Sudah banyak peneliti yang menyelesaikan tugas akhir dengan menjadikan hutan itu sebagai lokasi dan bahan penelitian. Juga pernah dijadikan tempat shooting film. Sesuatu yang tidak pernah dibayangkan Anselina dan almarhum suaminya.
Kerja keras membentengi wilayah pesisir membawa Anselina dan almarhum suami ke Jakarta pada tahun 2009. Mereka mendapat penghargaan Kalpataru dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ”Saat menyerahkan penghargaan itu, Pak Presiden bilang ke suami saya bahwa Bapak luar biasa,” kata Anselina.
Kendati tidak berpendidikan tinggi dan bukan pengambil kebijakan, Anselina dan suaminya sadar akan bahaya tsunami yang sewaktu-waktu akan datang dari Laut Flores yang berada di hadapan rumah mereka dan warga sekitar. Kini sudah ada hutan mangrove yang menjadi benteng peredam.
Saat gempa bermagnitudo 7,4 pada 14 Desember 2021 yang diikuti peringatan tsunami, Anselina mengaku dirinya tidak takut. Ia juga tidak lari dari rumah menuju ketinggian. ”Saya tidak lari karena saya yakin jika terjadi tsunami pun tidak ada sampai merusak rumah saya karena sudah ada benteng mangrove setebal 20 hektar,” katanya.
Setelah suaminya meninggal tahun 2019, Anselina terus menanam mangrove. Sama seperti suaminya, ia pun akan terus menanam hingga kakinya tak bisa lagi melangkah. Begitulah sepatutnya mitigasi bencana, perlu konsistensi dan pantang menyerah.