Kasus-kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi kian mencuat, misalnya yang sedang ditelusuri di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Kasus serupa diakui terjadi di Universitas Negeri Surabaya.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
KOMPAS/AGUIDO ADRI
Koordinator Pelayanan Hukum Lembaga Bantuan Hukum Apik Jakarta Uli Pangaribuan (kiri) bersama rekan-rekannya di Kantor LPSK, Jakarta, Rabu (17/7/2019). Mereka mengapresiasi putusan kasasi MA dan berterima kasih atas bantuan masyakarat luas sehingga kasus pelecehan seksual yang menimpa Jo (14) dan Ji (7) bisa mendapatkan keadilan.
SURABAYA, KOMPAS — Universitas Islam Negeri Sunan Ampel atau UINSA, Surabaya, Jawa Timur, tengah menelusuri informasi dugaan kekerasan seksual yang mencuat dan viral di media sosial. Kampus berjanji memberikan perhatian penuh pada kasus ini.
Informasi itu diunggah akun Instagram @uinsa.garis.lurus. Pantauan pada Selasa (18/1/2022) petang, unggahan terkini akun itu pada bagian terdepan berupa gambar poster dengan tulisan Uinsa Darurat Kekerasan.
Di halaman berikutnya tertulis, ”Kami mencatat, selama 3 tahun (2019-2021) sedikitnya 9 perempuan menjadi korban kekerasan seksual dari hasil attention yang kami post tepat pada tanggal 2 Januari 2021 pekan lalu. Laporan yang kami terima dari 9 penyintas tersebut setidaknya telah tercatat 17 kali kasus kekerasan seksual yang sudah mereka alami … dimana 17 kali kasus tersebut di antaranya terjadi di ranah publik/komunitas yang ada di Uinsa ...”.
Menanggapi informasi itu, Rektor UINSA Prof Masdar Hilmy mengatakan, kampus belum menerima laporan dugaan kekerasan seksual seperti yang diunggah di akun media sosial itu.”Kami telusuri,” katanya.
Menurut Hilmy, kampus tetap berhati-hati menanggapi informasi dugaan kekerasan seksual itu. Kampus akan memberikan atensi penuh dan turut menelusuri informasi dimaksud. Kampus juga, kata dia, siap memberikan jaminan kerahasiaan dan perlindungan bagi korban.
Nurhayati dari bagianHumas UINSA menambahkan, kampus membentuk tim khusus untuk penelusuran kebenaran informasi dugaan kekerasan seksual, seperti yang viral di media sosial. Sejauh ini, kampus telah memiliki mekanisme penanganan pelanggaran etika mahasiswa melalui kode etik yang dikeluarkan pada 2017 dan diperbarui pada 2019.
Secara terpisah, Fadjrudin Fatwa dari Tim Satgas Etika untuk Penelusuran Dugaan Kekerasan Seksual UINSA, mengatakan, kampus siap memberikan jaminan perlindungan, bantuan psikologis, dan menerapkan kebijakan yang pro terhadap korban. Satgas juga menunggu laporan dari korban atau pendampingan Pusat Studi Gender dan Anak UINSA.
”Kami amat berharap agar informasi ini dilaporkan sehingga dapat ditindaklanjuti,” ujar Fadjrudin.
Jika informasi yang viral itu akhirnya benar, kasus-kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi semakin banyak. Sebelumnya, kasus kekerasan seksual dilaporkan sedang ditangani di Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Seorang dosen Ilmu Hukum di kampus itu diduga menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap mahasiswi yang kini berstatus alumnus.
Tangkapan layar dari instagram BEM Unsoed terkait pelecehan seksual di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah.
Peneliti senior Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya Dian Noeswantari mengatakan, akan kian banyak kasus kekerasan bahkan kejahatan seksual di kampus terungkap ke permukaan. Situasi itu akan terjadi jika semakin banyak korban mengungkap serta mendapat jaminan kerahasiaan dan perlindungan keselamatan.
Menurut Dian, kekerasan seksual di kampus bisa dibilang hampir selalu terkait dengan relasi kekuasaan. Korban mayoritas mahasiswi atau mahasiswa dengan pelaku dosen, tenaga pendidik, atau pejabat birokrasi kampus. Korban lainnya, dosen yunior dengan pelaku lebih senior.
”Relasi kuasa dalam kasus kekerasan seksual begitu kuat,” kata Dian. Misalnya, dosen memanfaatkan kekuasaan dalam menentukan nilai akademik atau tugas-tugas untuk tindak kekerasan seksual terhadap mahasiswa atau mahasiswi.