Memori gempa dan tsunami pada Sabtu 12 Desember 1992 selalu melekat dalam ingatan warga Pulau Babi. Hari Sabtu pada bulan Desember seperti lonceng penanda ketakutan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Gempa dengan magnitudo 7,4 di Laut Flores pada Selasa 14 Desember 2021 mendorong rasa ingin tahu saya mengenai kondisi pulau-pulau kecil yang berada di dekat pusat gempa. Menuju Pulau Babi, pulau yang hancur akibat gempa diikuti tsunami 29 tahun lalu, menjadi pilihan.
Pada Sabtu (18/12/2021) pagi, dari Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, saya memacu sepeda motor ke arah timur menuju Desa Nangahale sejauh lebih kurang 40 kilometer. Di sana akan lebih mudah mengakses Pulau Babi. Banyak perahu motor bisa disewa kapan saja. Juga tentu lebih cepat dan ongkosnya lebih murah ketimbang sewa dari Maumere.
Di pesisir pantai saya berjumpa dengan Roni (46) yang sedang membersihkan perahunya. Saat mendengar permintaan sewa perahu ke Pulau Babi, Roni sejenak terdiam. ”Kenapa sekarang? Apalagi hari ini hari Sabtu,” ujarnya.
Namun, saya belum memahami secara utuh maksud Roni. Yang saya tangkap adalah barangkali Roni masih takut dengan gempa empat hari sebelumnya. Ia khawatir akan terjadi gempa besar berpotensi tsunami di perairan yang kami lewati, sebagaimana kabar bohong yang sedang beredar. Roni termakan hoaks itu.
Namun, yang membuat saya bingung adalah kalimat kedua yang dilontarkan, ”apalagi hari ini hari Sabtu”. Saya pun menanyakan maksud ucapan itu. Ia menepuk pundak saya sembari mengajak ke sebuah pondok di tepi pantai.
”Sabtu 12 Desember 1992 siang...,” Roni mengawali cerita. Kala itu ia sedang berenang di pesisir Pulau Babi. Ia merasakan ada yang aneh. Suhu air laut tiba-tiba memanas. Ia kemudian naik ke darat. Belum sempat duduk, tiba-tiba terjadi gempa besar. Tanah berayun ke kiri dan kanan, kemudian naik turun.
Pesisir tak jauh dari tempat Roni berdiri tiba-tiba terbelah dan ambruk. Air laut pun surut. Tak berapa lama, dari kejauhan terlihat gulungan gelombang. Roni yang masih berusia belasan tahun saat itu berteriak meminta warga berlari ke bukit. Ia berteriak sambil berlari.
Air laut merangsek masuk dan menyapu permukiman, menyeret bangunan serta warga yang terlambat bergerak. Roni ikut terserat. Beruntung ia menemukan sebatang kayu. Air laut mentok di kaki bukit sejauh lebih kurang 300 meter dari pinggir pantai. Dalam sekejap, semua yang berdiri rata dengan tanah.
”Sekitar 700 orang lebih meninggal, termasuk keluarga saya. Makanya saya takut sekali. Setiap kali bulan Desember apalagi pas hari Sabtu, kami selalu waspada. Gempa barusan itu, kan, pas Desember juga. Kami takut,” kata Roni.
Roni dan warga lain yang selamat direlokasi pemerintah ke Nangahale dengan alasan Pulau Babi tidak layak dihuni. Sejak lahir hingga 17 tahun, Roni tinggal di Pulau Babi. Saya pun memahami trauma Roni. Saya juga tahu bahwa bulan Desember, terutama pada setiap Sabtu, adalah hari keramat bagi mereka.
Saya lalu menjelaskan tentang teori gempa susulan yang energinya lebih kecil dibandingkan dengan gempa pertama. Saya tunjukkan pula siaran pers Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Roni menyimak dan mencoba memahami, sebelum kemudian berujar, ”Ayo kita jalan.”
Bentuk seperti Babi
Mesin berderu, propeler berputar mendorong perahu dengan panjang 9 meter dan lebar 3 meter itu bergerak. Laut Flores pagi itu teduh tak bergelombang. Perahu pun menjauh dari pesisir, melewati pulau-pulau kecil. Beberapa titik yang kami lewati berupa perairan dangkal. Karang dan ikan terlihat jelas dengan mata telanjang.
Satu jam kemudian, Pulau Babi yang sebelumnya masih samar tampak jelas. Pulau dengan luas sekitar 5,6 kilometer persegi itu dikelilingi pasir putih. Di tengah pulau terdapat bukit menyerupai babi. Itulah alasan penamaan pulau tersebut. ”Akibat gempa 1992, bentuk babinya sudah agak miring,” ujar Roni.
Tepat satu setengah jam, perahu kami sandar di pesisir Pulau Babi. Deretan rumah panggung berdiri mulai dari pesisir hingga ke tengah daratan. Jumlahnya lebih kurang 20 unit. Beberapa warga sibuk membersihkan pukat dan ada pula yang membuat perahu. Ke tengah kampung tampak kandang kambing dan ayam.
Saya berjumpa dengan Sahar (47), penghuni pulau itu. Ia juga penyintas gempa dan tsunami 1992. Ketika gempa, ia sedang berada di kebun. Saat pulang, ia melihat kampungnya rata dengan tanah. Ibu kandungnya ditemukan tak bernyawa di bawah reruntuhan, terseret sekitar 100 meter dari rumah mereka. Sahar dan banyak warga Pulau Babi berasal dari Sulawesi Tenggara.
Lebih dari satu jam, saya menyusuri jejak pilu tsunami. Bekas fondasi masjid dan fondasi rumah tertutup rumput liar. Satu-satunya benda yang masih utuh adalah bak penampung air dari beton. Bak itu hanya bergeser beberapa meter saat disapu tsunami. Ada juga beberapa makam tak jauh dari kaki bukit. Juga makam massal.
Sahar menuturkan, mereka yang tinggal di Pulau Babi saat ini memiliki rumah di Nangahale. Keberadaan mereka di Pulau Babi untuk menangkap ikan dan beternak. Hasilnya mereka jual ke Maumere. Pulau Babi ibarat ladang mereka. ”Juga ada makam keluarga di sini. Kami tidak bisa mengosongkan pulau ini,” katanya.
Seperti yang dikisahkan Roni, Sahar dan warga di pulau itu juga selalu waswas ketika bulan Desember tiba. Apalagi pada hari Sabtu. Tak jarang mereka mendengar tangisan dan teriakan orang di malam hari. Teriakan seperti ketika tsunami datang 29 tahun silam. Sahar menyadari, gempa 14 Desember 2021 datang memberi peringatan keras kepada mereka.
Seperti diberitakan Kompas, sumber gempa di Laut Flores sejak dahulu sudah beberapa kali membangkitkan gempa besar dan memicu tsunami. Tsunami di daerah itu pernah terjadi tahun 1818, 1820, 1836, 1855, 1896, 1897, 1927, 1961, 1982, 1989, 1991, dan 1992.
Gempa dan tsunami bisa datang kapan saja. Tak hanya pada bulan Desember seperti kekhawatiran warga setempat. Kewaspadaan sepanjang waktu adalah mutlak. Namun, alangkah lebih baik bila pulau itu dikosongkan sebelum jatuh korban kedua kalinya.