Adaptasi Perubahan Iklim di NTT Lemah, Warga Rentan Paling Terdampak
Adaptasi pada dampak perubahan iklim di NTT masih lemah. Kalangan petani dan nelayan paling terdampak. Semua pihak diharapkan berkolaborasi untuk menghadapi kemungkinan dampak terburuk di masa mendatang.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Perubahan iklim terjadi di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia, dan diprediksi kian memburuk, Hal ini hendaknya diantisipasi dengan langkah mitigasi dan adaptasi menyeluruh. Di Nusa Tenggara Timur, upaya tersebut tampak masih lemah. Kelompok rentan, terutama pada strata ekonomi lemah, kian tidak berdaya.
Direktur Eksekutif Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (Pikul) Torry Kuswardono, dalam diskusi membahas isu perubahan iklim, di Kota Kupang, Selasa (18/1/2022), mengatakan, dampak itu mulai terasa dalam 20 tahun terakhir. Salah satunya adalah intensitas hujan dan panas.
Ia mencontohkan siklus La Nina dan El Nino mulai berubah. La Nina adalah kondisi saat curah hujan berlebihan, sedangkan El Nino adalah kekeringan berkepanjangan. ”La Nina terjadi dalam dua tahun berturut-turut, yakni 2020 dan 2021. Padahal, sebelum tahun 2000, siklus itu biasanya terjadi dalam tujuh tahun,”jelasnya.
Menurut Torry, perubahan siklus ini berdampak pada produktivitas pertanian, terutama di lahan tadah hujan. Pasalnya terjadi pergeseran waktu hujan. Sementara itu, banyak petani di NTT belum melakukan penyesuaian musim tanam sehingga produksi tanam berkurang, bahkan sampai gagal panen. Di NTT belakangan semakin sering terjadi kasus rawan pangan akibat gagal panen.
Menurut dia, penyesuaian musim tanam saja tidak cukup, tetapi mesti dibarengi perubahan kualitas benih sesuai kondisi iklim. Di daerah lahan kering dengan hari hujan minim, misalnya, perlu pengadaan benih tahan panas. ”Di sini keterlibatan pemerintah dibutuhkan. Jadi, pemerintah tidak hanya bicara tentang produktivitas, tetapi perlu intervensi dari awal,”tambah Torry.
Ia juga mengingatkan bencana alam seperti badai Seroja pada April 2021 diprediksi kembali terjadi dengan siklus lebih cepat dan dampak lebih parah. NTT pernah dilanda badai besar dengan siklus hingga puluhan tahun. Badai Seroja merupakan yang terbesar dalam catatan sejarah bencana badai di NTT.
Bencana itu mengakibatkan 181 orang meninggal dan 49.512 jiwa lainnya terdampak. Selain itu, 47 orang dinyatakan hilang dan 250 orang luka-luka. Rumah rusak berat 17.124 unit, rusak sedang 13.652 unit, dan rusak ringan 35.733 unit.
Perubahan siklus ini berdampak pada produktivitas pertanian, terutama di lahan tadah hujan. Pasalnya terjadi pergeseran waktu hujan. (Torry Kuswardono)
Harapan masyarakat
Muhamad Mansur Dolen, nelayan di Oesapa, Kota Kupang, mengatakan, pesisir itu kini sering dilanda gelombang pasang. Hanya beberapa perahu yang dapat disembunyikan di balik gugusan mangrove, tetapi sebagian besar berlabuh begitu saja lantaran keterbatasan luasan mangrove. Akibatnya, banyak kapal dan perahu nelayan rusak diterjang gelombang.
”Setiap musim gelombang tinggi, selalu ada saja perahu atau kapal yang rusak. Padahal, untuk membangun satu kapal butuh waktu lama dan biaya besar,”tutur Mansur. Ia berharap pemerintah membangun infrastruktur yang mendukung kerja nelayan seperti tembok pemecah ombak.
Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Kosmas D Lana mengatakan, pemerintah daerah sudah mempunyai target program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Program ini dikolaborasikan dengan tingkat kabupaten/kota.
Menurut dia, warga NTT dengan beragam budaya sudah memiliki kearifan lokal tersendiri untuk menghadapi dampak perubahan iklim. Di sini perlu dukungan pihak terkait, seperti lembaga swadaya masyarakat, untuk memberi penguatan dan pendampingan kepada masyarakat.