Maria Agustina, Merajut Kehidupan dengan Jarum Tangan
Maria memulai usaha menjahit dengan satu jarum tangan tanpa mesin. Kini ia sudah melatih ribuan orang di NTT dan mempekerjakan kaum difabel.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Sebuah jarum tangan yang dipakai menjahit sehelai daster sekitar 29 tahun silam membawa Maria Agustina Tjung ke fase yang tak pernah dibayangkan. Ia melahirkan ribuan penjahit dan membangun usaha menjahit dengan mempekerjakan kaum difabel. Ia terus menapaki jalan takdir meraih mimpi yang belum terwujud.
Maria menjahit daster dengan jarum tangan itu kala dirinya tak punya uang membeli daster baru. Bahan daster pun dirajut dari dua baju bekas yang dibongkar. Maklum, di awal pernikahan, ia bersama suami benar-benar kesulitan keuangan. Saat itu, mereka mengontrak rumah di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Melihat daster yang dikenakan Maria yang kala itu tengah hamil, tetangganya tertarik dan menanyakan tempat ia membeli daster berwarna hijau itu. Saat itu, tahun 1993, model daster yang dikenakan Maria belum banyak dijumpai di Kota Kupang. Maria menjelaskan proses pembuatan daster tersebut yang membuat sang tetangga kagum.
Tetangganya itu lantas meminta Maria menjahit dua kebaya untuk digunakan pada acara wisuda. Ia tidak mempersoalkan Maria menjahit dengan jarum tangan. Saat itu, Maria belum punya uang untuk membeli mesin jahit, yang di Kota Kupang harganya berkisar Rp 150.000 sampai Rp 200.000.
Dalam hal menjahit, Maria yang tak lulus sekolah menengah pertama itu punya pengalaman. Saat merantau di Surabaya, Jawa Timur, sejak 1987 hingga 1990, ia pernah bekerja di sebuah butik sambil belajar menjahit. Ia kemudian bekerja di perusahaan garmen di Denpasar, Bali, mulai 1990 sampai 1993.
Tak heran, dua helai kebaya yang dikerjakan Maria dengan jarum tangan pun mendapat pujian saat dikenakan tetangganya saat wisuda. Keluarga yang hadir dalam acara itu kemudian memesan lima helai kebaya. Berkah mulai datang. Uang hasil pesanan lima kebaya Maria gunakan untuk membeli sebuah mesin jahit manual.
Mesin itu menjadi modal awal Maria membuka usaha. Ia dan suami memutuskan pindah tempat tinggal ke pusat kota agar lebih mudah mendapat order. Mereka tinggal di rumah dua kamar, yang oleh Maria dikategorikan gubuk. Dindingnya reot dan atapnya yang terbuat dari seng banyak bolongnya. Lantai masih berupa tanah.
”Waktu itu saya hanya punya satu mesin jahit. Tak ada tempat, makanya saya simpan di kamar tidur. Saya kerja sambil jaga anak yang masih bayi. Prinsip saya, jangan mengeluh dan selalu menunggu bantuan dari pemerintah. Lakukan apa yang bisa kita lakukan dengan apa yang kita miliki,” tuturnya.
Usaha menjahit itu terus tumbuh meski tantangan yang datang tidak mudah. Tahun 2005, ia menjalankan usaha kecil itu sendiri. Belum lagi, ia harus mengongkosi pendidikan tiga anaknya di sekolah menengah atas, sekolah menengah pertama, dan sekolah dasar.
Harapan kaum difabel
Suatu ketika, ia mengikuti kegiatan yang digelar Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Kota Kupang. Melihat keterampilannya yang menonjol, dia diutus mengikuti pelatihan menjadi pelatih menjahit di Bandung, Jawa Barat. Dengan pengalaman itu, ia mendapat sertifikat melatih di sejumlah daerah di NTT hingga ke pelosok desa.
Ia juga melatih untuk kelompok disabilitas, komunitas ibu rumah tangga, biarawati, dan warga binaan di lembaga pemasyarakatan. Sering kali ia memberikan pelatihan gratis. ”Saya dulu belajar menjahit itu dari buku punya orang. Saya belajar sembunyi-sembunyi karena takut ketahuan pemilik buku. Sekarang saya tidak mau orang mengalami seperti saya. Ilmu harus dibagi. Jangan pelit dengan ilmu,” katanya.
Tahun 2008, ia membangun tempat pelatihan menjahit yang berlokasi sama dengan tempat usaha menjahit. Mereka menggunakan teras rumah. Setelah cukup modal, ia mendirikan bangunan dua lantai untuk rumah tinggal dan tempat pelatihan.
Sejumlah lembaga pemerintah sering menggunakan tempat itu. Secara berkala ia juga mengadakan pelatihan gratis untuk mereka yang tidak mampu, kemudian mengajak mereka magang. Ada yang memilih bekerja di tempat usaha Maria, ada yang membangun usaha mandiri di Kota Kupang atau kampung-kampung di pedalaman.
Yanti Sela (39), penyandang tunarungu, menjadi salah satu karyawan. Sudah 15 tahun, Yanti bekerja dengan Maria. Yanti kini menjadi penjahit paling produktif di antara semua karyawan, termasuk mereka yang normal secara fisik. Dalam satu hari Yanti bisa menjahit hingga enam celana. Ia sangat cekatan.
Dengan bahasa isyarat, Yanti mengatakan ia sangat bersyukur dilatih dan diterima bekerja di tempat itu. Dengan bekerja, ia menafkahi suaminya yang juga penyandang disabilitas dan anaknya. Selain Yanti, ada juga seorang tunurungu yang bekerja di sana dari total 18 karyawan.
”Yanti kerja paling cepat, makanya dia bisa pakai mesin jahit yang kecepatannya tinggi. Memang setiap orang punya keterbatasan, tetapi juga punya talenta masing-masing. Intinya mau berusaha,” kata Yuliana Mado (45), karyawan lain yang juga belasan tahun bekerja di tempat itu.
Raih penghargaan
Konsistensi mengembangkan bisnis menjahit dan berbagai kegiatan sosial membawa Maria meraih sejumlah penghargaan di level lokal maupun nasional. Ia pernah meraih Sidhakarya Provinsi NTT tahun 2018 kategori usaha kecil. Penghargaan itu untuk kualitas dan produktivitas.
Setahun kemudian, ia meraih Paramakarya, penghargaan kualitas dan produktivitas tingkat nasional. Dalam setahun, usaha kecil bernama Citra Busana itu menghasilkan lebih kurang 5.000 produk. ”Penghargaan ini menjadi motivasi bagi kami untuk terus bekerja menghasilkan produk terbaik dan menjadi tempat belajar bagi semua orang, terutama dari kelompok yang tidak mampu,” kata Maria.
Di atas segala pencapaian itu, masih ada beberapa mimpi Maria yang belum terwujud. Di antaranya ia ingin memiliki industri garmen dengan separuh pekerjanya adalah kelompok difabel. Ia juga ingin memiliki budidaya serat rami sebagai pengganti kapas. Langkah awal, ia sudah menyiapkan lahan.
Daniel Hurek, mantan Wakil Wali Kota Kupang, menilai, Maria adalah sosok perempuan pekerja keras. Ia tahu betul perjalanan usaha Maria. Daniel sering terlibat mendampingi kelompok usaha kecil sejak menjadi anggota DPRD Kota Kupang hingga menjadi wali kota. ”Semangat yang ditunjukkan Maria harus dicontoh. Tidak tamat SMP, tetapi karyanya luar biasa,” kata Daniel.
Jarum tangan yang dipakai untuk merajut sehelai daster telah membawa Maria sampai ke titik yang jauh, titik yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Jarum itu ternyata tak hanya merajut kain, tetapi juga merajut harapan hidup untuk mereka yang tidak mampu.